بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)

Meniti Jalan Salaf

product

dzulqarnain.net

Detail | Pencari Ilmu

Tegar Di Atas Sunnah

product

Majalah Salafy

Detail | Profil

Profil Ummu Ulfa

product

Profil Penulis

Detail | da'watuna

CARA, PANDUAN DAN BIMBINGAN SHALAT JENAZAH YANG BENAR SESUAI SUNNAH

Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah 

Shalat Jenazah

Bahasan selanjutnya setelah tatacara memandikan jenazah adalah shalat jenazah. Barangkali sebagian kita telah berulang kali mengamalkannya.

Namun kajian ini insya Allah tetap memiliki nuansa lain karena kita diajak untuk menyelami dalil-dalilnya.

Purna sudah tugas memandikan dan mengafani jenazah. Yang tertinggal sekarang adalah menshalati, mengantarkannya ke pekuburan dan memakamkannya. Untuk mengantarkan ke pekuburan dan memakam-kannya merupakan tugas laki-laki, karena Rasulullah n telah melarang wanita untuk mengikuti jenazah sebagaimana diberitakan Ummu ‘Athiyyah x:

“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah n melarang kami) untuk mengikuti jenazah namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”1

Al-Imam Ibnul Daqiqil ‘Ied t berkata:“Hadits ini mengandung dalil dibencinya wanita mengikuti jenazah, namun tidak sampai pada keharaman. Demikian yang dipahami dari ucapan Ummu ‘Athiyyah x: (namun tidak ditekankan larangan tersebut terhadap kami) karena ‘azimah menunjukkan ta`kid (penekanan).” (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Al-Jana`iz, hal. 199)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani tberkata: “Seakan-akan Ummu ‘Athiyyah xhendak menyatakan bahwa: ‘Beliau n benci bila kami mengikuti jenazah, namun beliau tidak mengharamkannya’.” Al-Qurthubi t berkata: “Yang tampak dari konteks ucapan Ummu ‘Athiyyahxadalah larangan tersebut merupakan nahi tanzih (larangan makruh, bukan haram). Demikian pendapat jumhur ahlul ilmi2.” (Fathul Bari, 3/186).

Download File Kajian Bid ‘ah seputar jenazah zip
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/Lain-Lain/Bid_%27ah-seputar-jenazah.zip

Bid ‘ah seputar jenazah zip Bid ‘ah seputar jenazah Bid ‘ah seputar zip Bid ‘ah seputar Bid ‘ah jenazah zip Bid ‘ah jenazah Bid ‘ah zip Bid ‘ah Bid sepu

Sementara ulama Madinah membo-lehkannya, termasuk Al-Imam Malik t, namun untuk wanita yang masih muda/ remaja beliau memakruhkannya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi 7/5, Ihkamul Ahkam, kitab Al-Janaiz, hal. 200)

Dengan demikian, keutamaan mengikuti jenazah seperti ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairahz3 hanya berlaku untuk lelaki secara khusus (Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani v, hal. 88,90).
Shalat Jenazah

Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah4, karena adanya perintah Nabi n dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadahz, ia menceritakan:

Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah n agar beliau menshalatinya, ternyata beliau n, bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi n bersabda: “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya.”5

Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu:

1. Anak kecil yang belum baligh, karena Nabi n tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika wafatnya sebagaimana diberitakan ‘Aisyahx:

“Ibrahim putra Nabi n meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau n tidak menshalatinya.”6

2. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena Nabi n tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik z mengabarkan:

“Syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dan mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka, juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah.”7

Kedua golongan di atas, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hal ini disyariatkan. Namun pensyariatannya tidaklah wajib. Kenapa kita katakan hal ini disyariatkan? Karena Nabi n pernah pula menshalati jenazah anak kecil seperti tersebut dalam hadits Aisyah x:

“Didatangkan kepada Rasulullah n jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”8

Sebagaimana Nabi n pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:

“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi n . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi n berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi n mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya.

“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.

“Bagian yang diberikan Nabi n untukmu,” jawab mereka.

A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi n, seraya bertanya: “Harta apa ini?”

“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi n .

“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.

Nabi n bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”

Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi n, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.

“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi n.

“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.

“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi n. Kemudian Nabi n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi n dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.”9

Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)

Apakah Disyariatkan Menshalati Janin yang Gugur?

Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud z secara marfu‘:

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”10

Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)

Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah

Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu, dengan dalil:

1. Nabi n senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.

2. Nabi n telah bersabda:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” 11

Namun bila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri maka telah tertunaikan kewajiban, sebagaimana kata Al-Imam An-Nawawi t: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri. Namun yang sunnah, shalat jenazah itu dilakukan secara berjamaah. Karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits masyhur yang ada dalam kitab Ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijma’ kaum muslimin dalam masalah ini.” (Al-Majmu’, 5/172)

Semakin banyak jamaah yang menshalati jenazah tersebut, semakin afdhal dan ber-manfaat bagi si mayat12, karena Nabi n bersabda:

“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan syafaat kepada si mayat, melainkan mayat tersebut disyafaati.”13

Bahkan jumlah yang kurang dari 100 pun bermanfaat bagi si mayat, dengan syarat mereka yang menshalatinya itu dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid dengan tidak mencampurinya dengan kesyirikan sedikit pun). Seperti tersebut dalam sabda Nabi n:

“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikit pun menshalati jenazahnya, melainkan Allah memberikan syafaat mereka itu terhadapnya.”14

Disunnahkan makmum yang ikut shalat jenazah tersebut membentuk tiga shaf atau lebih di belakang imam15, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Umamah t, ia berkata:

“Rasulullah n pernah shalat jenazah bersama tujuh orang, maka beliau menjadikan tiga orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam satu shaf dan dua orang yang tersisa dalam satu shaf.”16

Yang afdhal pelaksanaan shalat jenazah itu di luar masjid, di tempat yang memang khusus disiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana hal ini dilakukan di masa Nabi n (Ahkamul Jana`iz, hal. 135).

Masbuq dalam Shalat Jenazah

Ibnu Hazm t berkata: “Bila seseorang luput dari mendapatkan beberapa takbir dalam shalat jenazah (bersama imamnya), maka ia langsung bertakbir ketika tiba di tempat shalat tersebut tanpa menanti takbir imam yang berikutnya. Apabila imam telah salam, ia menyempurnakan apa yang luput dari takbirnya, dan berdoa di antara takbir yang satu dengan takbir yang lain sebagaimana yang ia perbuat bersama imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah n terhadap orang yang (terlambat) mendatangi shalat berjamaah (masbuq) agar ia mengerjakan apa yang sempat ia dapatkan bersama imam dan ia sempurnakan apa yang tertinggal….” (Al-Muhalla, 3/410)

Posisi Berdiri Imam

Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin Jundabzyang dikelu-arkan dalam Shahihain17. Samurah berkata:

“Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi n ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi n berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.”18

Abu Ghalib Al-Khayyath t berkisah: “Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik z menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.

Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang yang tsiqah dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata: ‘Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullah n berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”19

Wanita Menshalati Jenazah

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Apabila tidak ada yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut. Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah kewajiban (menshalati jenazah) dengan apa yang mereka lakukan. Dan mereka menshalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun tidak apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah (dengan sesama mereka).” (Al-Majmu’, 5/169)
Tata Cara Shalat Jenazah

Shalat jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang lain, karena shalat ini dilaksanakan tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa duduk, dan tanpa tasyahhud (Al-Muhalla, 3/345). Berikut perinciannya:

1. Bertakbir 4 kali20, demikian pendapat mayoritas shahabat, jumhur tabi‘in, dan madzhab fuqaha seluruhnya.

Download File Kajian D 2010 05 28 B TJ09 Mengangkat tangan pada takbir sholat jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/UD/Dauroh-Cepogo-2010_05_28-30/D-2010_05_28-B-TJ09-Mengangkat-tangan-pada-takbir-sholat-jenazah.mp3

2. Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap) sebagaimana hal ini dilakukan pada shalat-shalat lain. Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan t berkata: “Ulama bersepakat bahwa orang yang menshalati jenazah, ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada takbir yang awal.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/186)

Ibnu Hazm t menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi n melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)

Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Tidak didapatkan dalam As-Sunnah adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan pada selain takbir yang pertama. Sehingga kita memandang meng-angkat tangan di selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat madzhab Hanafiyyah dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaukani t 21 dan lainnya dari kalangan muhaqqiq.” (Ahkamul Jana`iz , hal.148)

3. Setelahnya, berta‘awwudz lalu membaca Al-Fatihah22 dan surah lain dari Al-Qur`an23. Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata: “Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas c, ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjahrkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahr tersebut. Beliau menjawab: “Hanyalah aku menjahrkan bacaanku agar kalian mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah) itu adalah sunnah24 dan haq (kebenaran)25”.

Sebenarnya bacaan dalam shalat jenazah tidaklah dijahrkan namun dengan sirr (pelan), berdasarkan keterangan yang ada dalam hadits Abu Umamah bin Sahl, ia berkata: “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca Al-Fatihah dengan perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.”26

Ibnu Qudamahtberkata: “Bacaan (qira`ah) dan doa dalam shalat jenazah dibaca secara sirr. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ahlul ilmi. Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbas c di atas, maka kata Al-Imam Ahmad t: ‘Hanyalah beliau melakukan hal itu (men-jahrkan bacaan) untuk mengajari mereka’.” (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah)

Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar 4/81)

4. Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi n sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud. (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah, Asy-Syarhul Mumti’, 2/526)

5. Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat secara sirr menurut pendapat jumhur ulama. (Al-Minhaj 7/34) Nabi n bersabda:

“Apabila kalian menshalati mayat, khususkanlah doa untuknya.”27

Kata Al-Munawi t menerangkan makna hadits di atas: “Yakni doakanlah si mayat dengan ikhlas dan menghadirkan hati karena maksud dari shalat jenazah tersebut adalah untuk memintakan ampun dan syafaat bagi si mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan dikabulkan dengan terkumpulnya keikhlasan dan doa dengan sepenuh hati.” (Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hal. 156)

Dalam hal ini, mengucapkan doa yang pernah diajarkan Nabi n lebih utama daripada mengamalkan yang selainnya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/530, At-Ta‘liqat Ar Radhiyyah 1/444).

Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi n untuk jenazah adalah:

“Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.”

“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Lindungilah dia dari perkara yang tidak baik dan maafkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskan/ lapangkanlah tempat masuknya. Basuhlah ia (dari bekas-bekas dosa) dengan air, salju dan es. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahannya sebagaimana engkau mensucikan pakaian putih dari noda. Gantikanlah untuknya negeri yang lebih baik daripada negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya dan pasangan yang lebih baik daripada pasangan hidupnya. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka.”29

“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa utsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan. Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa tudhilnaa ba’dahu.”

“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang sudah meninggal, orang yang sekarang ada (hadir) dan orang yang tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang besar, laki-laki dan wanita kami. Ya Allah siapa yang engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam dan siapa yang engkau wafatkan di antara kami maka wafat-kanlah dia di atas iman. Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”30

Bila mayat itu anak kecil, maka disenangi untuk mendoakan kedua orang tuanya31 agar mendapatkan ampunan dan rahmah seperti tersebut dalam hadits Al-Mughirah bin Syu‘bah z.32

Ulama menganggap baik untuk mengucapkan doa berikut ini:

“Allahummaj’alhu dzukh-ran liwaalidaihi wa farathan wa ajran wa syafii’an mujaaban. Allahumm tsaqqil bihi mawaaziinahuma wa a’dhim bihi ujuurahuma wa alhiq-hu bi shaalihi salafil mukminin. Waj’alhu fii kifaalati Ibraahiima wa qihi birahmatika ‘adzaabal Jahiim…..dst”

Artinya:

“Ya Allah jadikanlah anak ini (si mayat) sebagai pendahulu bagi kedua orang tuanya, tabungan/ simpanan dan pahala bagi keduanya. Ya Allah beratkanlah timbangan keduanya dengan kematian si anak, besarkanlah pahala keduanya. Ya Allah, jadikanlah anak ini dalam tanggungan Nabi Ibrahim33 dan gabungkanlah dia dengan pendahulu yang shalih dari kalangan (anak-anak kecil) kaum mukminin. Lepaskanlah dia dari adzab neraka Jahim dengan rahmat-Mu34. Gantikanlah untuknya rumah/ negeri yang lebih baik daripada rumah/ negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya. Ya Allah, ampunilah salaf kami, orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang mendahului kami dalam keimanan.”35 (Al-Mughni, fashl Ad-Du’a` li Walidayith Thifl Al-Mayyit)

6. Pada takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam dengan dalil hadits Abu Ya‘fur dari Abdullah bin Abi Aufa z ia berkata: “Aku menyaksikan Nabi n (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali, kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat –untuk berdoa–.”36

Al-Imam Ahmad t berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)

7. Kemudian salam seperti salam dalam shalat lima waktu, dan yang sunnah diucapkan secara sirr (pelan), baik ia imam ataupun makmum. (Al-Hawil Kabir 3/55-57, Nailul Authar 4/82)

Demikian yang bisa kami susun untuk pembaca yang mulia. Semoga Allah I menja-dikannya bermanfaat untuk kami pribadi dan orang yang membacanya. Amin.

Kebenaran itu datangnya dari Allah I. Adapun bila ada kesalahan dan kekeliruan maka hal itu semata karena kebodohan kami. Kami istighfar (memohon ampun) karenanya kepada At-Tawwabur Rahim (Dzat Yang Banyak Mengampuni hamba-hamba-Nya lagi Maha Penyayang).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ahkamul Janaiz 00 Muqaddimah mp3

Pembahasan bab Ahkamul Janaiz (pengurusan jenasah dan ziarah kubur) disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Karimah Asykari

http://sthelens.audiop.org.uk/thumbnails/download_large.gifAhkamul Janaiz_Sesi1.mp3

http://sthelens.audiop.org.uk/thumbnails/download_large.gifAhkamul Janaiz_Sesi2.mp3

http://sthelens.audiop.org.uk/thumbnails/download_large.gifAhkamul Janaiz_Sesi3.mp3

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 00 Muqaddimah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-00.-Muqaddimah.mp3

Ahkamul Janaiz Muqaddimah mp3 Ahkamul Janaiz Muqaddimah Ahkamul Janaiz mp3 Ahkamul Janaiz Muqaddimah mp3 Ahkamul Janaiz Muqaddimah Ahkamul Janaiz mp3 Ahka

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 02 Yang Dibolehkan Bagi Keluarga Mayat mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-02.-Yang-Dibolehkan-Bagi-Keluarga-Mayat.mp3

Ahkamul Janaiz Yang Dibolehkan Bagi Keluarga Mayat mp3 Ahkamul Janaiz Yang Dibolehkan Bagi Keluarga Mayat Ahkamul Janaiz Yang Dibolehkan Bagi Keluarga mp3 Ah

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 04 Memandikan Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-04.-Memandikan-Jenazah.mp3

Ahkamul Janaiz Memandikan Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Memandikan Jenazah Ahkamul Janaiz Memandikan mp3 Ahkamul Janaiz Memandikan Ahkamul Janaiz Jenazah mp3]

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 06 Yang Memandikan Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-06.-Yang-Memandikan-Jenazah.mp3

Ahkamul Janaiz Yang Memandikan Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Yang Memandikan Jenazah Ahkamul Janaiz Yang Memandikan mp3 Ahkamul Janaiz Yang Memandikan Ahkamul

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 08 Cara Mengkafani Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-08.-Cara-Mengkafani-Jenazah.mp3

Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani Jenazah Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani mp3 Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani Ahkamul

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 12 Tempat Shalat Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-12.-Tempat-Shalat-Jenazah.mp3

Ahkamul Janaiz Tempat Shalat Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Tempat Shalat Jenazah Ahkamul Janaiz Tempat Shalat mp3 Ahkamul Janaiz Tempat Shalat Ahkamul Janaiz T

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 14 Tata Cara Shalat Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-14.-Tata-Cara-Shalat-Jenazah.mp3

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 16 Melewati dan Memasuki Kuburan mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-16.-Melewati-dan-Memasuki-Kuburan.mp3

Ahkamul Janaiz Melewati dan Memasuki Kuburan mp3 Ahkamul Janaiz Melewati dan Memasuki Kuburan Ahkamul Janaiz Melewati dan Memasuki mp3 Ahkamul Janaiz Melewat

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 18 Memasukkan Mayat Ke Liang Lahad mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-18.-Memasukkan-Mayat-Ke-Liang-Lahad.mp3

Ahkamul Janaiz Memasukkan Mayat Liang Lahad mp3 Ahkamul Janaiz Memasukkan Mayat Liang Lahad Ahkamul Janaiz Memasukkan Mayat Liang mp3 Ahkamul Janaiz Memasukk

Download File Kajian Ahkamul Janaiz 20 Ta ziyah mp3

http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-20.-Ta_ziyah.mp3

Ahkamul Janaiz ziyah mp3 Ahkamul Janaiz ziyah Ahkamul Janaiz mp3 Ahkamul Janaiz ziyah mp3 Ahkamul Janaiz ziyah Ahkamul Janaiz mp3 Ahkamul Janaiz ziyah mp3

________________________________________

1 HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba‘in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘an Ittiba’il Jana`iz

2 Di antara yang memakruhkannya adalah Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, ‘Aisyah, Masruq, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auza’i, dan Ishaq. (Al-Mughni, kitab Al-Janaiz, fashl Yukrahu Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz)

3 Abu Hurairah t berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:

“Siapa yang menyaksikan jenazah sampai dishalatkan (mengikutinya dari tempat keluarga/ rumah si mayat sampai menshalatinya di tempat jenazah tersebut dishalatkan, -pent.), maka ia mendapatkan satu qirath. Dan siapa yang-

menyaksikan jenazah sampai dimakamkan (mengikutinya dari tempat keluarganya hingga selesai pemakamannya, -

pent.), maka ia mendapat dua qirath.” Ditanyakan kepada beliau: “Apakah dua qirath itu?” Beliau menjawab: “Semisal

dua gunung yang besar.” (HR. Al-Bukhari no. 1325, bab Man Intazhara hatta Tudfanu dan Muslim no. 2186 bab Fadhlush Shalah ‘alal Janazah wat Tiba`iha)

Dalam riwayat Muslim (no. 2192) disebutkan: “Siapa yang keluar bersama jenazah dari rumah jenazah tersebut dan menshalatinya, kemudian mengikutinya sampai dimakamkan maka ia mendapatkan dua qirath dari pahala. Masing-masing qirath semisal gunung Uhud. Dan siapa yang menshalatinya kemudian kembali/ pulang (tidak mengikutinya ke pemakaman) maka ia mendapat pahala semisal gunung Uhud.”

4 Al-Hawil Kabir 3/52, Al-Majmu’ 5/169, Al-Minhaj 7/22, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah 1/439, Asy-Syarhul Mumti’ 2/523.

5 HR. An-Nasa`i no. 1960, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.

6 HR. Abu Dawud no. 3187, kitab Al-Jana`iz, bab Fish Shalah ‘alath Thifl, dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abu Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 104, mengikuti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani v dalam Al-Ishabah.

7 HR. Abu Dawud no. 3135, bab Fisy Syahid Yughassal. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan menurutku, di atas syarat Muslim.” (Ahkamul Jana`iz hal. 74)

8 HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.

9 HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Isnadnya shahih, semua rijalnya di atas syarat Muslim kecuali Syaddad ibnul Had. Al-Imam Muslim t tidak mengeluarkan satu hadits pun darinya. Namun ini tidak menjadi masalah, karena Syaddad adalah shahabat Nabi yang dikenal. Adapun ucapan Asy-Syaukani t dalam Nailul Authar yang mengikuti Al-Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ bahwa Syaddad ini seorang tabi‘in, merupakan ucapan yang sangat keliru, maka jangan terkecoh dengannya.” (Ahkamul Jana`iz , hal. 81)

10 HR. Al-Bukhari no. 3208, kitab Bad’ul Khalq, bab Dzikrul Mala`ikah dan Muslim no. 6665, kitab Al-Qadar, bab Kaifiyyatul Khalq Al-’Adami fi Bathni Ummihi…

11 HR. Al-Bukhari no. 631, kitab Al-Adzan, bab Al-Adzan lil Musafirin Idza Kanu Jama‘atan wal Iqamah.

12 Al-Majmu’ 5/172, Al-Muhalla 3/389, Subulus Salam 2/162, Nailul Authar 4/73, Taudhihul Ahkam 3/194.

13 HR. Muslim no. 2195, kitab Al-Jana`iz, bab Man Shalla ‘alaihi Mi`ah Syuffi’u fihi.

14 HR. Muslim no. 2196, pada kitab dan bab yang sama dengan di atas.

15 Al-Majmu’ 5/172, Taudhihul Ahkam 3/195

16 HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (7785) dan Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (3/432), pada sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, sementara beliau ini diperbincangkan. Namun kata Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz (hal. 127-128) haditsnya bisa dijadikan syahid bagi hadits Malik bin Hubairah berikut ini:

Rasulullah n bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu ia dishalati oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan ia diampuni.” (HR. Abu Dawud no. 3166 bab Fish Shufuf ‘alal Jana`iz, dll.)

17 HR. Al-Bukhari no. 1332, bab Aina Yaqumu minal Mar`ah war Rajul dan Muslim no. 2232, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit lish Shalah ‘alaihi.

18 Al-Hawil Kabir 3/50, Al-Majmu’ 5/183, Al-Muhalla 3/345, 382, Fathul Bari 3/257, Asy-Syarhul Mumti’ 2/524, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam 1/372.

19 Kelengkapan haditsnya bisa dilihat dalam riwayat Abu Dawud no. 3194, kitab Al-Jana`iz, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit idza Shalla ‘alaihi.

20 Boleh pula dilakukan 5-9 kali, semuanya ada keterangan dari Nabi n. Namun jumlah 4 kali takbir paling banyak disebutkan dalam hadits (Ahkamul Jana`iz , hal. 141). Adapun pernyataan adanya ijma’ ulama yang menetapkan takbir shalat jenazah hanya 4 kali dan tidak lebih, merupakan anggapan yang batil. Sebagaimana hal ini ditegaskan Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (3/347, 348-351). Sedangkan hadits yang menyatakan:

“Akhir (jumlah maksimal) takbir yang dilakukan Rasulullah n terhadap jenasah adalah sebanyak empat kali.”

yang dijadikan sebagai dalil pembatasan takbir hanya 4 kali adalah hadits yang dha’if. Al Hafizh Ibnu Hajar t berkata dalam At-Talkhish (2/677): “Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu jalan, namun semua jalannya dhaif.”

21 Sebagaimana dalam Nailul Authar 4/83.

22 Tidak disyariatkan membaca doa istiftah, demikian pendapat madzhab Asy-Syafi‘iyyah dan selain mereka. (Catatan kaki Ahkamul Jana`iz, hal. 151)

23 Nailul Authar 4/82, At-Ta‘liqat Ar-Radhiyyah 1/443, Asy-Syarhul Mumti‘ 2/525, Taudhihul Ahkam 3/205.

24 Yakni Sunnah Nabi n dan jalan beliau, bukan sunnah dalam pengertian hukum fiqih yang lima (wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah).

25 HR. Al-Bukhari no. 1335, bab Qira`ati Fatihatil Kitab ‘alal Janazah, An-Nasa`i no. 1987, 1988 bab Ad-Du’a`, dishahihkan Asy-Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih An-Nasa`i.

26 HR. An-Nasa`i no. 1989 bab Ad-Du’a`, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Nasa’i.

27 HR. Abu Dawud no. 3199, bab Ad-Du’a lil Mayyit, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud.

28 Bila mayatnya seorang wanita maka semua dhamir (kata ganti) seperti dalam lafadz: diganti dengan ta`nits (kata ganti wanita) sehingga kita mengucapkan: (Asy-Syarhul Mumti’, 2/533)

29 HR. Muslim no. 2229, 2231, bab Ad-Du’a` lil Mayyit fish Shalah.

30 HR. Ibnu Majah no. 1498, bab Ma Ja`a fid Du’a` fish Shalah ‘alal Janazah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Al-Misykat no. 1675.

31 Nailul Authar 4/85

32 HR. Abu Dawud no. 3180, bab Al-Masy-yu Amamal Janazah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud.

33 Nabi Muhammad r pernah bermimpi melihat Nabi Ibrahim u di sebuah taman yang besar lagi indah, di sekitar beliau ada anak-anak kecil yang meninggal di atas fithrah. (HR. Al-Bukhari no. 7047, kitab At-Ta’bir, bab Ta’birur Ru`ya ba‘da Shalatish Shubh)

34 Bagaimana anak yang belum baligh bisa diadzab sementara ia belum berdosa? Maka dijawab bahwa setiap hamba Allah pasti akan mendatangi neraka sebagaimana dalam ayat:

“Tidak ada seorang pun dari kalian melainkan pasti akan mendatangi neraka, yang demikian itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71)

Dengan demikian, doa seperti itu ditujukan untuk si anak agar Allah I menjaganya dari adzab neraka apabila nanti pada hari kiamat ia mendatanginya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/538)

35 Doa ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Hurairah z. Yang semisalnya juga diriwayatkan oleh Sufyan dari Al-Hasan. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan Al-Baihaqi tersebut isnadnya hasan, dan tidak apa-apa diamalkan dalam hal seperti ini, walaupun haditsnya mauquf. Namun tidak boleh dijadikan sebagai sunnah (yaitu) dengan menganggap bahwa doa itu datang dari Nabi r (padahal tidak demikian). Adapun doa yang aku pilih untuk dipanjatkan ketika menshalati anak kecil adalah doa yang kedua (yaitu doa yang diriwayatkan Ibnu Majah no. 1498, bab Ma Ja`a fid Du’a` fish Shalah ‘alal Janazah), karena di dalamnya ada lafadz:

“…anak kecil di antara kami … Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)

36 Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (4/35) dengan sanad yang shahih, kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 160.

Sumber : http://www.asysyariah.com/sakinah/wanita-dalam-sorotan/1140-shalat-jenazah-wanita-dalam-sorotan-edisi-20.html
http://kaahil.wordpress.com/2011/11/20/terbaru-carapanduan-bimbingan-shalat-jenazah-yang-benar-sesuai-sunnah

No Response to "CARA, PANDUAN DAN BIMBINGAN SHALAT JENAZAH YANG BENAR SESUAI SUNNAH"

جزاك الله خيرا وبارك الله فيكم. “Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog Kami.
thank you