بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)

Meniti Jalan Salaf

product

dzulqarnain.net

Detail | Pencari Ilmu

Tegar Di Atas Sunnah

product

Majalah Salafy

Detail | Profil

Profil Ummu Ulfa

product

Profil Penulis

Detail | da'watuna

SYUKURAN RUMAH BARU



Oleh : Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi

anya:
Mengadakan acara syukuran dan mengundang makan karena menempati rumah baru, apakah itu bid’ah?

Jawab:
Pertanyaan tersebut jawabannya bisa ditemukan pada:
http://dzulqarnain.net/tentang-acara-syukuran.html

Sumber : http://dzulqarnain.net/syukuran-rumah-baru.html






Tentang Acara Syukuran
Pertanyaan:

Ana mau menanyakan bolehkah kita mengadakan tasyakuran dengan mengundang para kerabat untuk membaca surat yasiin bersama yang biasanya diadakan dalam rangka kelulusan ujian atau sedang mendapat suatu nikmat bahkan dalam rangka kita menempati rumah baru? kalau tidak boleh, lantas bagaimana cara kita untuk mengekspresikan rasa syukur kita? Mohon dijawab, dan syukron sebelumnya.

Jawaban:
Untuk pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:
Pertama, kegiatan/acara kegembiraan yang dilakukan dalam rangka kelulusan, kenaikan jabatan, penempatan rumah baru, dan semisalnya tidaklah mengapa selama maksud pelaksanaannya sekadar kegembiraan akan suatu nikmat yang Allah berikan kepadanya, bukan dengan maksud ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Kalau dengan maksud ibadah, pelaksanaan kegiatan/acara tersebut tentu akan tergolong ke dalam bentuk bid’ah dalam agama. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak dibangun di atas tuntunan kami, amalan tersebut tertolak.” [1]
Kedua, pengkhususan pembacaan surah Yâsîn pada acara seperti ini adalah hal yang tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan penganjuran hal tersebut, sementara suatu ibadah tidaklah boleh dilakukan, kecuali berdasarkan dalil Al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan membaca Yasin pada acara hajatan dan selainnya, tetapi seluruh hadits tersebut lemah, tidak boleh dijadikan sebagai sandaran hukum[2].
Ketiga, apabila kegiatan/acara diselenggarakan dalam rangka kegembiraan atau kesyukuran, kita harus memperhatikan beberapa hal:
  1. Kegiatan tersebut bukan suatu hal yang berulang. Hal ini karena suatu kegiatan kegembiraan yang berulang-ulang -dalam sepekan atau setahun- dianggap sebagai bid’ah. Dimaklumi bahwa hari raya menurut Islam hanyalah tiga hari: hari Jum’at, hari Idul Fitri, dan hari Idul Adha. Selain ketiga hari itu adalah perayaan yang dianggap bid’ah dalam agama.
  2. Tidak boleh berlebihan dan mubadzir dalam kegiatan kegembiraan tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan, sementara syaithan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.[Al-Isrâ`: 26-27]
  1. Dilakukan dalam kadar dan jumlah yang wajar, bukan seperti pesta yang menghadirkan ratusan orang.
Keempat,  seorang hamba yang mendapat suatu nikmat punya banyak cara untuk mengekspresikan kesyukurannya. Pada dasarnya, seorang hamba dikatakan bersyukur dengan lima pondasi[3]:
  1. Ketundukan hamba kepada Rabb-nya, yang untuk-Nya segala kesyukuran.
  2. Kecintaan hamba kepada Rabb-nya, yang berasal dari-Nya segala nikmat.
  3. Pengakuan dalam hati bahwa segala nikmat datang dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan milik Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
  4. Pujian hamba dengan lisannya terhadap segala nikmat yang dia dapatkan.
  5. Penggunaan nikmat-nikmat tersebut pada hal-hal yang Allah ‘Azza wa Jalla cintai dan ridhai.
Dengan berpijak di atas pondasi-pondasi tersebut, seorang hamba semakin banyak mendekatkan dirinya kepada Allah pada setiap nikmat yang dia dapatkan. Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertutur,
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Sesungguhnya Nabi Allah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qiyamul lail sampai kedua kaki beliau pecah-pecah maka saya bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau pun menjawab, ‘Tidak (bolehkah) saya suka menjadi hamba yang bersyukur?’.” [4]
Demikian jawaban untuk pertanyaan ini, dengan mengingat bahwa tiga poin pertama jawaban tersebut kami sarikan dari fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatâwâ Nûrun ‘Alâ Ad-Darb.
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Sumber : http://dzulqarnain.net/tentang-acara-syukuran.html


No Response to "SYUKURAN RUMAH BARU"

جزاك الله خيرا وبارك الله فيكم. “Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog Kami.
thank you