بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)

Meniti Jalan Salaf

product

dzulqarnain.net

Detail | Pencari Ilmu

Tegar Di Atas Sunnah

product

Majalah Salafy

Detail | Profil

Profil Ummu Ulfa

product

Profil Penulis

Detail | da'watuna

Hak-Hak Dalam Berteman




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Oleh : Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Islam mengajarkan untuk menunaikan hak semua orang yang mempunyai hak.
Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam berkata kepada Abu Darda , “Berilah setiap orang haknya masing-masing.”
Dituntunkan dalam Islam untuk menunaikan hak-hak teman. Hak seorang teman atas temannya sangatlah banyak. Diantaranya:

Membantu kelapangan temannya (muwasah)
Muwasah adalah tanda persahabatan yang jujur. Seorang teman yang jujur dalam persahabatannya akan memberikan kemudahan (membantu) temannya sebatas kemampuannya. Dia senantiasa merasakan senang dan susahnya teman.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi  bersabda:


مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ


“Barangsiapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, pasti Allah l akan melepaskan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang kesukaran pasti Allah l akan memudahkan (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya pasti Allah l akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah l akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu pasti Allah l akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah l, membaca dan mempelajari kitab Allah l diantara mereka, kecuali turun kepada mereka sakinah dan mereka diliputi rahmat serta dinaungi malaikat. Allah l menyebut mereka di majelis-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalannya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah  berkata:


أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْناً، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا


“Orang yang paling Allah  cintai adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Amalan yang paling Allah l cintai adalah menimbulkan kegembiraan bagi seorang muslim atau menghilangkan kesulitannya atau membayarkan utangnya atau menghilangkan kelaparan darinya …” (HR. Ath-Thabarani dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 906 dan Shahihul Jami’ no. 176)


Ibnul Qayyim  berkata: “Muwasah kepada kaum mukminin ada beberapa macam:
- Muwasah dengan harta
- Muwasah dengan kedudukan
- Muwasah dengan badan dan bantuan
- Muwasah dengan nasihat dan bimbingan
- Muwasah dengan doa dan memintakan ampun untuknya
- Muwasah dengan menasihati mereka (Lihat Al-Fawaid hal. 168)

Para sahabat g telah memberikan teladan kepada kita, bagaimana mereka bermuwasah kepada sahabatnya. Rasulullah  berkata:


إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ، فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ


“Sesungguhnya para sahabat dari Asy‘ariyin, jika habis perbekalan mereka dalam jihad atau makanan mereka tinggal sedikit di Madinah, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam sebuah kain. Kemudian mereka bagi rata di antara mereka. Mereka dari golonganku dan aku termasuk golongan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2486 dan Muslim no. 2500)
Dari Anas bin Malik :


Abdurahman bin Auf datang kepada kami dan Rasulullah n telah mempersaudarakan beliau dengan Sa’d bin Rabi’ –seorang sahabat Anshar yang banyak harta–. Sa’d berkata, “Orang-orang Anshar telah tahu aku adalah orang yang paling banyak hartanya. Aku akan membagi dua hartaku untuk kita berdua. Aku juga punya dua istri. Lihatlah siapa yang paling kau senangi, aku akan menalaknya. Jika telah halal, engkau bisa menikahinya.”


Abdurahman bin Auf berkata: “Semoga Allah memberikan barakah kepadamu, keluarga dan hartamu. (Cukup) tunjukkanlah pasar kepadaku …” (HR. Al-Bukhari no. 3781)

Menjenguknya ketika sakit
Menjenguk orang sakit termasuk hak persaudaraan dalam Islam. Rasulullah  menyatakan:


حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ


“Hak muslim atas muslim ada enam.” Beliau ditanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia, jika bersin dan mengucapkan hamdalah engkau mendoakannya (dengan berkata: yarhamukallah), jika dia sakit hendaknya menjenguknya, dan jika meninggal engkau iringi jenazahnya.” (HR. Muslim no. 2162)

Menjenguk orang sakit banyak keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam berkata:


مَنْ عَادَ مَرِيضاً، أَوْ زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ: أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ، وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلًا


Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya, akan ada penyeru yang menyeru dari atas: “Engkau telah berbuat baik dan telah baik perjalananmu. Engkau telah mempersiapkan tempat di surga.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6163)

Menjaga rahasianya
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam berkata:


إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ


“Jika seseorang berbicara (denganmu), kemudian dia menoleh (melihat sekeliling) maka ketahuilah itu adalah amanah.” (HR. Abu Dawud no. 4868 dan At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1090 dan Shahihul Jami’ no. 486)
Ibnu Ruslan t berkata: “Karena, menolehnya dia ke kanan ke kiri adalah pemberitahuan bagi yang diajak bicara tentang kekhawatirannya bila ada orang lain yang mendengar ucapannya. Sehingga, artinya dia mengkhususkan rahasia ini untuknya. Tindakannya ke menoleh ke kanan dan ke kiri sama dengan ucapan: ‘Rahasiakan ini dariku,’ yakni ambil dan rahasiakan, ini adalah amanah bagimu.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 70-72)

Al-wafa dan ikhlas
Al-wafa adalah terus-menerus mencintainya sampai meninggal, dan ketika telah meninggal ia mencintai anak-anak dan teman-temannya. Nabi n telah memuliakan sahabat dan famili Khadijah x setelah beliau wafat. Sampai-sampai Ummul Mukminin Aisyah x, berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seseorang seperti cemburuku kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Termasuk al-wafa adalah tidak berubah tawadhunya kepada temannya, walaupun dia semakin tinggi kedudukannya dan semakin luas kekuasaannya.
Termasuk al-wafa adalah tidak mau mendengarkan cercaan-cercaan orang kepada temannya dan tidak membela musuh temannya.
Ibnu Qudamah t berkata: “Ketahuilah, bukan termasuk al-wafa bila mencocoki teman dalam perkara yang menyelisihi agama.” (Lihat Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 103)

Menerima udzur/ alasannya
Diantara hak temanmu adalah menerima alasan yang disampaikannya. Ketika salah seorang temanmu berbuat jelek kepadamu kemudian datang menyampaikan alasan kepadamu, maka terimalah alasannya. Hal ini termasuk kemuliaan, karena udzur (alasan) diterima oleh orang-orang yang punya kemuliaan. Menerima udzur teman, selain menambah kecintaan teman, juga mendatangkan pahala yang banyak.
Rasulullah  berkata:


مَنْ أَقَالَ مُسْلِماً أَقَالَ اللهُ عَثْرَتَهُ


“Barangsiapa yang menerima udzur seorang muslim maka Allah l akan memaafkan kesalahannya.” (HR. Abu Dawud no. 3460 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, juga dalam Shahih Jami’ no. 6071)
Terlebih lagi seseorang yang terpandang yang kita tidak mengetahui kejelekannya, kita harus menerima udzurnya. Rasulullah  berkata:


أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثْرَاتِهِمْ


“Terimalah udzur orang-orang yang punya kedudukan atas kesalahan-kesalahan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4375 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)
Ibnul Mubarak t berkata, “Seorang mukmin mencari udzur bagi temannya. Adapun seorang munafik, dia mencari-cari kesalahan orang lain.”

Bagaimana jika orang yang minta udzur berdusta dalam udzur yang disampaikannya?
Jika terjadi hal demikian, maka bersikaplah seperti yang diajarkan oleh Ibnul Qayyim t, “Barangsiapa yang berbuat jelek kepadamu kemudian datang untuk minta udzur atas kejelekannya kepadamu maka sifat tawadhu’ mengharuskan engkau menerima udzurnya –baik udzur tersebut benar atau batil (dusta) – dan kau serahkan isi hatinya kepada Allah l.”
Menerima udzur orang lain adalah bukti tawadhu’.
Ibnul Qayyim t berkata, “Tanda kemuliaan dan tawadhu’ adalah ketika engkau melihat cela dalam udzurnya namun tetap engkau terima dan tidak membantahnya, serta berkata: ‘Mungkin saja masalahnya seperti yang kau sebutkan’.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 79-83)

Membelanya ketika tidak ada
Diantara hak teman adalah menjaganya ketika dia tidak ada, membantah ucapan jelek tentangnya.
Dari Abud Darda z, Rasulullah  berkata:


مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبِ، رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah l akan memalingkan wajahnya dari neraka di hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, serta dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6262)
Dalam hadits Ka’b bin Malik z tentang kisah taubatnya, Nabi n berkata di Tabuk ketika beliau sedang duduk, “Apa yang dilakukan Ka’b?” Seseorang dari Bani Salamah berkata, “Dia tertahan burdahya dan melihat dua sisinya, ya Rasulullah.” Mu’adz bin Jabal z berkata kepadanya, “Alangkah jeleknya yang kau ucapkan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahuinya kecuali kebaikan.” Rasulullah n pun diam. (HR. Al-Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ketahuilah, seseorang yang mendengar ghibah terhadap seorang muslim hendaknya membantahnya dan menghardik pelakunya. Jika tidak bisa dihentikan dengan lisan, maka hentikanlah dengan tangan. Jika tidak mampu dengan lisan ataupun dengan tangan, hendaknya dia keluar untuk memisahkan diri dari majelis tersebut. Jika mendengar ghibah terhadap syaikhnya atau orang yang mempunyai hak atasnya atau orang yang punya keutamaan dan shalih, maka mengingkari pelakunya lebih ditekankan.” (Al-Adzkar)
Rasulullah berkata:


مَنْ ذَبَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ


“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya ketika ada yang mengghibahinya, maka hak atas Allah l untuk membebaskannya dari neraka.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 6240)

Mendoakan kebaikan bagi teman
Ibnu Qudamah t berkata, “Hak yang kelima adalah mendoakan kebaikan untuknya ketika masih hidup maupun sesudah meninggalnya, dengan semua doa yang dia peruntukkan untuk dirimu.”
Dalam Shahih Muslim dari hadits Abud Darda z, Nabi Shalallahu'alaihi wa Sallam berkata:


دَعْوَةُ الْمَرْءِ المُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ المُوكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ


Doa seorang muslim bagi saudaranya yang sedang tidak bersamanya adalah doa mustajab. Di sisinya ada malaikat yang ditugaskan setiap kali dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, malaikat berkata, “Amin, dan engkau mendapatkan yang semisalnya.”
Abud Darda z mendoakan banyak sahabatnya dalam doanya. Beliau selalu menyebut nama-nama mereka dalam doanya. Demikian pula Al-Imam Ahmad t berdoa di waktu sahur untuk enam orang. (Lihat Mukhtahar Minhajul Qashidin hal. 103)

Menasihatinya
Nasihat termasuk hak persahabatan. Rasulullah  berkata:


حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ…


“Hak muslim atas muslim lainnya ada enam: Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia…” (HR. Muslim no. 6162)
Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam menyatakan:


الدِّينُ النَّصِيحَةُ


“Agama adalah nasihat…” (HR. Muslim no. 55)

Bagaimana bentuk nasihat seorang muslim kepada saudaranya agar mendatangkan manfaat yang besar?
Ibnu Qudamah t berkata: “Seyogianya, nasihat engkau sampaikan ketika sedang sendirian (tidak di hadapan orang banyak). Beda antara nasihat dengan menjatuhkan (kehormatan) orang lain adalah dalam masalah ini (dilakukan dengan tertutup atau di hadapan orang banyak).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 102)
Ibnu Hibban t berkata: “Tanda seorang pemberi nasihat yang menginginkan kebaikan bagi yang dinasihatinya adalah nasihat tersebut dilakukan tidak di hadapan orang lain. Tanda orang yang ingin menjelekkan (menjatuhkan) yang dinasihati adalah menasihatinya di hadapan banyak orang.”
Mis’ar bin Kidam t berkata: “Allah l merahmati seseorang yang membeberkan aibku secara sembunyi-sembunyi antara aku dan dia saja. Karena nasihat di hadapan orang banyak adalah celaan.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)

Seseorang yang dinasihati hendaknya menerima nasihat yang baik
Seseorang belum disebut memiliki sifat tawadhu’ hingga dia menerima al-haq dari orang yang menyampaikannya. Oleh karena itu, Rasulullah n berkata:


الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ


“Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan merendahkan orang lain.”
Al-Imam Waki’ berkata: “Seseorang tidak akan pandai sampai mengambil ilmu dari orang yang di atasnya, atau selevel dengannya, juga dari orang yang lebih rendah darinya.”
Fudhail bin Iyadh t ditanya tentang tawadhu. Beliau t berkata, “Tunduk kepada al-haq, patuh dan menerimanya dari orang yang membawakannya.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)

Sumber : http://asysyariah.com/hak-hak-dalam-berteman.html

Yang Berwenang Menjatuhkan Talak




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini


Talak hanya jatuh jika diucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa diucapkan, tidak terhitung talak. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama dan difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu:


إِنَّ اللهَ تَجاوَزَ عَنْ أُمَّتِيْ مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ.


“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memaafkan dari umatku apa yang terbetik dalam diri mereka selama tidak diamalkan atau diucapkan.” (Muttafaq ‘alaih)

Hal ini juga dikarenakan menalak adalah tindakan melepas hak milik, maka tidak terjadi dengan niat semata tanpa diucapkan, seperti halnya menjual sesuatu atau menghibahkannya.1

Pihak yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak hanya sah bila dijatuhkan oleh orang yang memenuhi syarat-syarat berikut.
1. Yang menalak adalah orang yang berkompeten untuk itu. Mereka adalah:
a. Yang menalak selaku pemilik, yaitu suami.
b. Yang menalak selaku wakil suami yang diberi amanat olehnya untuk mewakilinya menjatuhkan talak.
c. Yang menalak selaku wali hakim pada saat terjadi kasus persengketaan suami istri yang harus ditangani oleh pihak hakim.

2. Yang menalak adalah mukallaf (baligh dan berakal) atau mumayyiz (berusia tujuh tahun) yang mengetahui arti talak. Adapun yang tidak mengetahui makna talak, tentu saja tidak sah. Seperti salah seorang dari bangsa Ajam mengucapkan lafadz talak dalam bahasa Arab tanpa mengerti maknanya. Begitu pula halnya seorang mumayyiz yang mengucapkan talak tetapi tidak paham makna ucapannya.
Namun, seorang budak, mukatab2, dan orang dungu (safih), tetap dianggap sah talaknya, karena mereka mukallaf dan berakal.
Adapun orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang tidur (mengigau), dan orang mabuk—menurut pendapat yang benar—tidak sah talaknya, karena tidak berakal, maka ucapan dan tindakannya tidak diperhitungkan. Begitu pula, disepakati bahwa tidak sah talak orang marah yang kehilangan kontrol dan kesadarannya—bahkan ada yang sampai pingsan karena marahnya.
Menalak juga dipersyaratkan karena pilihannya sendiri, bukan paksaan.

Catatan Kaki:

1 Adapun pendapat yang mengatakan talak jatuh dengan niat semata jelas merupakan pendapat yang lemah.
2 Mukatab adalah seorang budak yang dijanjikan akan merdeka oleh majikannya jika ia mampu membayar/menebus dirinya.

Sumber :http://asysyariah.com/yang-berwenang-menjatuhkan-talak.html

Berinteraksi Dengan Jin




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 
Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Jin memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan, tema jin dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai media.

Fenomena alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan hangat di bursa obrolan. Menggugah keinginan banyak orang untuk mengetahui lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya, terlebih ketika mereka banyak disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam ghaib. Lebih parah lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman mistik yang menyesatkan dan membahayakan aqidah. Padahal alam ghaib, jin, dan sebagainya merupakan perkara yang harus diimani keberadaannya dengan benar.
Membahas topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t mengatakan: “Bila ada seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku seperti Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi klasifikasinya, yang muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan, serta godaan-godaannya terhadap Bani Adam.”

Keagamaan Kaum Jin
Jin tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Di antara mereka ada yang shalih dan ada pula yang rusak lagi jahat. Seperti firman Allah  menghikayatkan mereka:

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)
Dalam ayat lain Allah  berfirman:

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Al-Jin: 14)
Di antara mereka ada yang kafir, jahat dan perusak, ada yang bodoh, ada yang sunni, ada golongan Syi’ah, serta ada juga golongan sufi.
Diriwayatkan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Jin pernah datang menemuiku, lalu kutanya: ‘Makanan apa yang kalian sukai?’ Dia menjawab: ‘Nasi.’ Maka kubawakan nasi untuknya, dan aku melihat sesuap nasi diangkat sedang aku tidak melihat siapa-siapa. Kemudian aku bertanya: ‘Adakah di tengah-tengah kalian para pengikut hawa nafsu seperti yang ada di tengah-tengah kami?’ Dia menjawab: ‘Ya.’
‘Bagaimana keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku. Dia menjawab: ‘Merekalah yang paling jelek di antara kami’.”
Ibnu Katsir t berkata: “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada guru kami, Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi, dan beliau mengatakan: ‘Sanad riwayat ini shahih sampai Al-A’masy’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 4/451)

Mendakwahi Jin
Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung. Dakwah merupakan bagian dari kewajiban yang paling penting yang diemban kaum muslimin secara umum dan para ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul, di mana mereka merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena itulah Allah I mewajibkan para ulama untuk menerangkan kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya. Sehingga keterangan itu dapat mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan, dan mendorong mereka untuk melaksanakan urusan dunia dan agama sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah .
Dakwah yang diemban Nabi n adalah dakwah yang universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu tetapi untuk seluruh manusia. Bahkan kaum jin pun menjadi bagian dari sasaran dakwahnya.
Al-Qur`an telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin men-dengarkan Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian Allah menyuruh Nabi kita n agar memberitahukan yang demikian itu. Allah  berfirman:

“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Qur`an, lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (Lihat Al-Qur`an surat Al-Jin: 1)
Tujuan dari itu semua adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa beliau n diutus kepada segenap manusia dan jin. Di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan jin serta apa yang wajib bagi mereka yakni beriman kepada Allah I, Rasul-Nya, dan hari akhir. Juga taat kepada Rasul-Nya dan larangan dari melakukan kesyirikan dengan jin.
Jika jin itu sebagai makhluk hidup, berakal dan dibebani perintah dan larangan, maka mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan karena Nabi n pun diutus kepada mereka, maka wajib atas seorang muslim untuk memberlakukan di tengah-tengah mereka seperti apa yang berlaku di tengah-tengah manusia berupa amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah seperti yang telah disyariatkan Allah I dan Rasul-Nya. Juga seperti yang telah diserukan dan dilakukan Nabi n atas mereka. Bila mereka menyakiti, maka hadapilah serangannya seperti saat membendung serangan manusia. (Idhahu Ad-Dilalah fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 13 dan 16)
Mendakwahi kaum jin tidaklah meng-haruskan seseorang untuk terjun menyelami seluk-beluk alam dan kehidupan mereka, serta bergaul langsung dengannya. Karena semua ini tidaklah diperintahkan. Sebab, lewat majelis-majelis ta’lim dan kegiatan dakwah lainnya yang dilakukan di tengah-tengah manusia berarti juga telah mendakwahi mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan. Maka kita katakan:

“Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al-Mu`minun: 97-98) [lihat Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin]

Adakah Rasul dari Kalangan Jin?
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini, apakah dari kalangan jin ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia? Sementara Allah I berfirman:

“Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyam-paikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuan-mu dengan hari ini?” Mereka berkata: ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Al-An’am: 130)
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Juga berdalilkan dengan sebuah atsar (riwayat) dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Muqatil dan Abu Sulaiman, namun keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya. (Zadul Masir, 3/125) Yang benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul dari kalangan jin. Dan pendapat inilah yang para salaf dan khalaf berada di atasnya. Adapun atsar yang datang dari Adh-Dhahhak, telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121). Namun di dalam sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid yakni Muhammad bin Humaid Abu Abdillah Ar-Razi. Para ulama banyak membicarakan-nya, seperti Al-Imam Al-Bukhari telah berkata tentangnya: “Fihi nazhar (perlu ditinjau kembali, red.).” Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam, adalah mungkarul hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyarul A’lam An-Nubala`, 11 / 530). Lebih lengkapnya silahkan pembaca merujuk kitab-kitab al-jarhu wa ta’dil.
Ibnu Katsir t berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya dari para ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni Al-An’am: 130–, maka perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya kemung-kinan, bukan merupakan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)

Menikah dengan Jin
Menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena itulah Allah I mensyariatkannya untuk segenap hamba-hamba-Nya. Allah I berfirman:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(An-Nuur: 32)
Kaum jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana manusia berketurunan dan anak keturunan-nya beranak-pinak. Allah I berfirman:

“Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (Al-Kahfi: 50)
Kalangan kaum jin itu ada yang berjenis laki-laki dan ada juga perempuan, sehingga untuk mendapatkan keturunan merekapun saling menikah. Allah I berfirman:

“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 56)
Artha’ah Ibnul Mundzir t berkata: “Dhamrah ibnu Habib pernah ditanya: ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan mereka pun menikah. Untuk jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang perempuan, dan untuk manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang jenis perempuan’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 4/288)
Termasuk kasih sayang Allah I terhadap Bani Adam, Allah I menjadikan untuk mereka suami-suami atau istri-istri dari jenis mereka sendiri. Allah I berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)
Perkara ini, yakni pernikahan antara manusia dengan manusia adalah hal yang wajar, lumrah dan sesuai tabiat, karena adanya rasa cinta dan kasih sayang di tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi pernikahan antara manusia dengan jin, atau sebaliknya jin dengan manusia? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Pernikahan antara manusia dengan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering terjadi dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun kebanyakan para ulama tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu Ad-Dilalah hal. 16) 1
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t mengatakan: “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan karya Ad-Dimyari. Namun menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni laki-laki yang muslim menikahi jin wanita yang muslimah. Adapun firman Allah I:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada-nya…” (Ar-Rum: 21),
maka –maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki dengan jin perempuan.
Tetapi jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja Al-Imam Malik t tidak menyukai bila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab: “Suamiku dari jenis jin.”
Saya (Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)

Meminta Bantuan Jin
Sangat rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah bila yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada yang serba kecukupan.
Manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka secara perlahan, setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama Allah I. Allah I berfirman:

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah ketakutan bagi mereka.” (Al-Jin: 6)
Ibnu Mas’ud z berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak mengetahui keislamannya, mereka tetap menyembahnya sehingga Allah I mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah I berfirman:

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjuk-kan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Jin tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudharat atau memindahkannya. Jin tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh binatang. Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah I berfirman:

“Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu. Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi. Dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (Saba`: 21-22)

Gangguan Jin
Secara umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur`an, As-Sunnah, maupun ijma’. Allah I berfirman:

“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah n bersabda:

“Sesungguhnya setan menampak-kan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Maka aku pun membiarkannya. Sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya. Tapi aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman u: ‘Ya Rabbi anugerahkanlah kepada-ku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.” (HR. Al-Bukhari no. 4808, Muslim no. 541 dari Abu Hurairah z)
Suatu ketika Rasulullah n sedang mendirikan shalat, lalu didatangi setan. Beliau memegangnya dan mencekiknya. Beliau bersabda:

“Hingga tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur di antara dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82-83 dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash z, ia berkata:

“Wahai Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku serta bacaanku.” Beliau n bersabda: “Itulah setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali.” Aku pun melakukannya dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no. 2203 dari Abul ’Ala`)
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang diistilahkan orang sekarang dengan kesu-rupan atau kerasukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta kesepakatan salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah perkara yang benar dengan kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah I berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengam-bil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi n:

“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul Fatawa, 24/276-277, diambil dari tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66-69)

Golongan yang Mengingkari Masuknya Jin ke dalam Tubuh Manusia (Kesurupan)
a. Kaum orientalis, musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diraba panca indra.
b. Para ahli filsafat dan antek-anteknya, mereka mengingkari keberadaan jin. Maka secara otomatis merekapun mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
c. Kaum Mu’tazilah, mereka mengakui adanya jin tetapi menolak masuknya jin ke dalam tubuh manusia.
d. Prof. Dr. ‘Ali Ath-Thanthawi, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin dan menganggap hal itu hanyalah sesuatu yang direkayasa (lihat artikel Idhahul Haq fi Dukhulil Jinni Fil Insi, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t)
e. Dr. Muhammad Irfan. Dalam surat kabar An-Nadwah tanggal 14/10/1407 H, menyatakan bahwa: “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin lewat lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul Haq)
f. Persatuan Islam (PERSIS). Dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 5 September 2005, mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan Hisbahnya, sebagai berikut: “Poin 7 …Tidak ada kesurupan jin, keyakinan dan pengobatan kesurupan jin adalah dusta dan syirik.”
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang syar’i dan terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekumpulan kaum yang berkata bahwa jin tidak dapat masuk ke tubuh manusia yang kerasukan.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, tidak benar. Mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara lewat lidahnya’.” (Idhahu Ad-Dilalah, atau lihat Majmu’ul Fatawa, 19/10)

Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275) q Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari t mengatakan: “Yakni bahwa orang-orang yang menjalankan praktek riba ketika di dunia, maka pada hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia. Orang itu seakan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur`an, 3/96)
Al-Imam Al-Qurthubi t mene-gaskan: “Ayat ini adalah argumen yang mementahkan pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin dan menganggap yang terjadi hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh manusia serta bahwa setan sama sekali tidak dapat merasuki manusia.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/355)
 Al-Imam Ibnu Katsir t berkata: “Yakni mereka tidak akan bangkit dari kuburnya pada hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan saat setan itu merasukinya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/359)

Penyebab Kesurupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan bahwa masuknya jin pada tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu dan rasa cinta kepada manusia, sebagaimana yang terjadi antara manusia satu sama lainnya. Terkadang -atau bahkan mayoritasnya- juga karena dendam dan kemarahan atas apa yang dilakukan sebagian manusia seperti buang air kecil, menuangkan air panas yang mengenai sebagian mereka, serta membu-nuh sebagian mereka meskipun manusia tidak mengetahuinya.
Kalangan jin juga banyak melakukan kedzaliman dan banyak pula yang bodoh, sehingga mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke tubuh manusia terkadang disebabkan keisengan sebagian mereka dan tindakan jahat yang dilakukan-nya. (Idhahu Ad-Dilalah Fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 16)


Bagaimana kita menghindari gangguan-gangguan itu?
Ibnu Taimiyah t menjelaskan: “Adapun orang yang melawan permusuhan jin dengan cara yang adil sebagaimana Allah dan Rasul-Nya perintahkan, maka dia tidak mendzalimi jin. Bahkan ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menolong orang yang terdzalimi, membantu orang yang kesusahan, dan menghilangkan musibah dari orang yang tertimpanya, dengan cara yang syar’i dan tidak mengandung syirik serta tidak mengandung kedzaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini, jin tidak akan mengganggunya, mungkin karena jin tahu bahwa dia orang yang adil atau karena jin tidak mampu mengganggunya. Tapi bila jin itu dari kalangan yang sangat jahat, bisa jadi dia tetap mengganggunya, tetapi dia lemah. Untuk yang seperti ini, semestinya ia melindungi diri dengan membaca ayat Kursi, Al-Falaq, An-Nas (atau bacaan lain yang semakna, ed), shalat, berdoa, dan semacam itu yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan dari dosa-dosa…” (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 138)
Pembaca, demikian yang dapat kami paparkan di sini, mudah-mudahan dapat mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.
Wal’ilmu ’indallah.

Catatan Kaki:

1 Di antara ulama yang berpendapat terlarangnya hal itu adalah Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi t. Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah n adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan antara manusia dan jin. Bahkan yang bisa dijadikan pendukung dari dzahir ayat adalah tidak bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin Asy-Syibli dalam bukunya Aakamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah ulama Hanafiyah.

Sumber : http://asysyariah.com/berinteraksi-dengan-jin.html


Qalbu Yang Merasa Berat Dengan Al-Qur'an




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oeh: Al-Ustadz Qomar ZA Lc.

Allah I berfirman:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini (mahjuran) suatu yang tidak dihiraukan.’” (Al-Furqan: 30)
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Hal itu dikarenakan dahulu kaum musyrikin tidak mendengarkan Al-Qur`an. Mereka, bila dibacakan Al-Qur`an, jutru membikin keributan dan berbicara hal lain supaya tidak mendengarnya. Inilah (makna) menjadikan Al-Qur`an (mahjuran) suatu yang tidak dihiraukan.” (Tafsir Ibnu Katsir:3/329)
Ibnul Qayyim t menjelaskan juga bahwa sikap tak acuh terhadap Al-Qur`an ada beberapa macam:
1. Tidak mau mendengarkan dan beriman dengannya.
2. Meninggalkan pengamalannya dan tidak memperhatikan halal-haramnya meskipun membaca dan beriman dengannya.
3. Tidak mau memutuskan hukum atau berhukum dengannya baik dalam prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Serta meyakini bahwa Al-Qur`an tidak memberikan sesuatu yang yakin dan dalil-dalil Al-Qur`an hanyalah berupa lafadz-lafadz, tidak menghasilkan ilmu yang yakin.
4. Tidak men-tadabburi dan memahaminya serta tidak berusaha mengetahui apa yang dimaukan oleh Yang berbicara dengannya.
5. Tidak mau mencari kesembuhan atas segala penyakit qalbu darinya (Al-Qur’an) atau berobat dengannya, sehingga mencari kesembuhan dari selainnya.
6. Berpaling kepada selainnya baik berupa syair, perkataan orang, nyanyian, omong kosong, atau metode yang diambil dari selainnya.1
Semua itu masuk dalam firman Allah I:

“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini (mahjuran) suatu yang tidak diacuhkan.’” (Al-Furqan: 30)
Walaupun sebagian bentuk ketidakacuhan lebih ringan dari yang lain.

Keberatan Terhadap Al-Qur`an
Demikian pula rasa berat yang ada di dalam dada terhadap Al-Qur`an:
a. Terkadang keberatan itu terhadap turunnya Al-Qur`an dan bahwa itu kebenaran dari Allah I.
b. Terkadang keberatan pada (keyakinan) bahwa Allah I yang berbicara dengannya.
c. Terkadang keberatan pada cukup atau tidaknya Al-Qur`an, sehingga (menurutnya) Al-Qur`an tidak memadai bagi manusia. Dan mereka membutuhkan teori-teori rasionalis, analogi maupun ide serta gagasan (di luar Al-Qur’an).
d. Terkadang keberatan pada sisi kandungan dalil Al-Qur`an dan esensi yang dimaukannya, yang bisa dipahami dari ungkapannya. Sehingga (mem-berikan kemung-kinan), bahwa yang dimaukan dengannya adalah makna yang menyimpang dari makna asli dan hakikat kandungannya, berupa penafsiran-penafsiran yang jelek.
e. Terkadang menganggap bahwa hakikat isi Al-Qur`an, walaupun itu memang yang dimaksudkan, tapi sebenarnya itu sudah ada (walaupun tanpa penjelasan Al-Qur`an), atau mengesankan bahwa apa yang dimaukan Al-Qur`an itu hanya demi maslahat/kepentingan tertentu saja.
Mereka semua (yang memiliki perasaan seperti itu) memiliki rasa berat atas Al-Qur`an dalam qalbu mereka, dan mereka mengetahui hal itu pada diri-diri mereka serta mendapati hal itu dalam dada-dada mereka. Dan engkau tidak akan dapati seorang ahli bid’ah pun dalam agama ini melainkan dalam qalbunya ada rasa berat atas banyaknya ayat yang menyelisihi bid’ah mereka.
Sebagaimana engkau tidak da-pati seorang dza-lim dan jahat pun melainkan dalam dada mereka ada keberatan terhadap ayat-ayat yang menjadi penghalang antara dia dengan apa yang ia inginkan.
Renungilah makna ini dan pilihlah apa yang engkau suka untuk dirimu sesuai kehendakmu.

(Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawa`id, karya Ibnul Qayyim, hal. 94)

Catatan Kaki:

1 Untuk poin ini penulis tambahkan dari penjelasan Ibnu Katsir.


Sumber : http://asysyariah.com/qalbu-yang-merasa-berat-dengan-al-quran.html

Hukum Seputar Budak




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ole
h : Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi


Tanya:

Saya pernah membaca bahwa pada zaman rasulullah seorang budak dapat disetubuhi oleh pemiliknya walaupun tanpa dinikahi. Apakah hal itu benar adanya, dan jika benar, apa sebabnya? Bukankah hubungan diluar pernikahan itu adalah zina? Mohon juga penjelasannya tentang bagaimanakah seseorang itu dapat dikatakan budak ?

Jawab:

Terkait dengan hal yang dihalalkan untuk seorang muslim, memang dalam Al-Qur’an diterangkan dua hal yang dihalalkan, yaitu istri dan budak yang dimiliki. Sebagaimana dalam firman Allah menjelaskan sifat orang-orang yang beriman,

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [Al-Mukminun: 5-7]

Budak yang dihalalkan adalah budak perempuan yang merupakan hasil peperangan dari jihad syar’iy yang dipimpin oleh seorang pemimpin muslim. Demikian pula dihalalkan dari budak yang dijual setelah itu. Dibolehkan bagi siapa yang memiliki budak untuk menggaulinya setelah istibrâ` (diketahui rahimnya kosong setelah sekali haidh). Ada beberapa ketentuan seputar perbudakan, diuraikan secara lengkap dalam buku-buku fiqih. Wallahu A’lam.

Sumber : http://dzulqarnain.net/hukum-seputar-budak.html

Hakikat Kebutaan




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 

Oleh : Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi


Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ

“Sesungguhnya telah datang dari Rabb kalian bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara (kalian).” [Al-An’âm: 104]

Allah telah menerangkan agama dengan sejelas-jelasnya. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas sesuatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya. Tidaklah seorang pun yang menyimpang darinya setelahku kecuali akan binasa.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Mâjah, Ibnu Abi ‘Âshim, dan Al-Hâkim dari hadits Abud Dardâ`. Dishahihkan oleh Al-Albâny dalam Zhilâl Al-Jannah 1/27]

Hanya dua golongan dalam menyikapi petunjuk, ada melihat dan mengikuti petunjuk, dan ada yang buta lagi berpaling dari kejelasan. Allah berfirman, “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” [Ar-Ra’d: 19]

Bila tanda-tanda kebesaran Allah telah datang, kejelasan-kejelasan petunjuk agama telah tampak terang, dan syari’at Islam itu telah sampai kepada seseorang, namun dia tetap berada di atas keberpalingan, sikap acuh dan tidak menghiraukan, hendaknya dia bersiaplah dengan ancaman Allah,

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thâhâ: 124],

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” [Al-Isrâ`: 72]

Marilah kita memuliakanlah diri sebagai orang-orang yang melihat petunjuk dan mengikutinya.

Sumber : http://dzulqarnain.net/hakikat-kebutaan.html




Keutamaan Puasa Sunnah Senin dan Kamis



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oleh : Ustadz Sofyan Chalid Ruray

Pertanyaan:
Apa keutamaan puasa Senin Kamis?


Jawaban:
Keutamaan puasa sunnah Senin Kamis diantaranya:

Pertama: Mendapatkan keutamaan amalan puasa secara umum, jika dilakukan ikhlas karena Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَف الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ


“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman, “Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, sebab orang yang berpuasa itu telah meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” Dan bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu Rabb-Nya. Dan sungguh, bau mulut orang yang berpuasa lebih baik dari wanginya kasturi.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Kedua: Puasa membutuhkan kesabaran, maka seorang yang berpuasa akan mendapatkan pahala tanpa batas. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ


“Hanyalah orang-orang yang sabar itu, pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar: 10]

Ketiga: Meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّىَ صِيَام الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيس


“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” [HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, Shahih Ibni Majah: 1414]

Keempat: Berada dalam kondisi ibadah kepada Allah ta’ala ketika amalan-amalan diperhadapkan kepada-Nya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ


“Amalan-amalan diperhadapkan kepada Allah ta’ala pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka ketika diperhadapkan amalanku sedang aku sedang berpuasa.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyaLlahu’anhu, Shahihut Targhib: 1041]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sumber : http://nasihatonline.wordpress.com/2012/12/29/keutamaan-puasa-sunnah-senin-dan-kamis/

Do’a dan Ibadah Tidak Diterima Karena Gambar Bernyawa di Rumah




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oleh : Ustadz Sofyan Chalid Ruray


Pertanyaan :


Ayub Jambi أبو أيوب | Admin BBG AsSunnah : Pertanyaan Untuk Ust. Sofyan
“Ustadz ada yg mau saya tanyakan, apakah benar jika di rumah kita menyimpan benda2 spt boneka, patung, lukisan bergbr makhluk hidup itu maka ibadah kita tidak diterima dan doa kita jg tidak diijabah oleh Allah?  Demikian pertanyaan saya syukron.”

Jawaban:

Memajang gambar bernyawa di rumah, baik berupa lukisan maupun patung, baik digambar dengan tangan maupun dengan alat (seperti foto dan video), menurut pendapat yang paling hati-hati dan paling kuat insya Allah ta’ala, termasuk dosa besar dan menghalangi masuknya malaikat rahmat ke rumah tersebut, berdasarkan hadits berikut,


عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ عَلَى الْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَعَرَفَتْ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ أَتُوبُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مَاذَا أَذْنَبْتُ قَالَ مَا بَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ فَقَالَتِ اشْتَرَيْتُهَا لِتَقْعُدَ عَلَيْهَا وَتَوَسَّدَهَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ – وَقَالَ – إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ.


“Dari Aisyah radhiyallahu’anha, seorang istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengabarkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau telah membeli bantal yang padanya terdapat gambar-gambar bernyawa, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melihatnya, maka beliau hanya berdiri di pintu, tidak mau memasuki rumah. Aisyah pun mengetahui ketidaksukaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang tergambar pada wajah beliau, Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, apakah dosaku?” Beliau bersabda, “Untuk apa bantal ini?” Aisyah menjawab, “Aku belikan untuk engkau duduk di atasnya dan bersandar padanya.” Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


“Sesungguhnya para pemilik gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka: Hidupkan yang telah kalian ciptakan.”
Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya rumah yang terdapat padanya gambar-gambar bernyawa tidak akan dimasuki oleh malaikat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]


Adapun apakah ibadah dan doa seseorang tidak akan diterima atau diijabah oleh Allah ta’ala karena adanya gambar bernyawa di rumahnya, maka tidak ada dalil khusus yang menerangkan hal itu, namun secara umum, perbuatan dosa dapat menghalangi atau memperlambat terkabulnya do’a, akan tetapi jika Allah ta’ala berkehendak mungkin saja do’a pelaku maksiat itu dikabulkan.
WaLlahu A’lam.
Sumber : http://nasihatonline.wordpress.com/2012/11/03/tanya-jawab-doa-dan-ibadah-tidak-diterima-karena-gambar-bernyawa-di-rumah/

Suami Selingkuh



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oleh : Ustadz Sofyan Chalid Ruray

Pertanyaan :

Dear Ustad, Mohon masukannya tentang syarat sahnya poligami, saya tau klu saya tidak boleh menentang hukum Allah yg sudah ditetapkan, seperti Poligami.
Ceritanya begini ust/ustdzah,
suami saya telah berzina dengan seorang gadis, dl sebelum saya tau, tiba2 suami saya minta pisah dengan saya karena kelakuan saya yg tidak bisa menghormati dia sebagai seorang suami, secara tidk sengaja, saya mengetahui bahwa dia sudah berselingkuh, setelah ketahuan dia telah berselingku, dia meminta maaf pd saya dan berjanji untuk tdk mengulanginya dan melanjutkan pernikahan kembali, saya iklhas memaafkannya karena saya tahu salah 1 penyebab dia berselingkuh adalah kelakuan saya dimasa lalu, akan tetapi dia mengulanginya selama 4 kali (membina hub dng wanita itu dan kmudian meminta maaf pd saya kmbali), setelah meminta maaf yg ke3, dia mengulangi perbuatan yg sama dng wanita itu, akhirnya suami saya meminta ijin untuk poligami, karena dia sudah meniduri wanita itu, saya bilang kl saya tidak bisa, saya meminta pisah dr dia, akan tetapi dia tdk mau, dan ingin beristri 2, saya jg bilang kl dia tetep mau nikahin pacarnya, saya tdk akan pernah mengizinkannya, walaupun saya tau ijin dr istri pertama itu tidak diperlukan bagi suami yg ingin berpoligami. Suami saya jg bilang, bahwa dia tetap akan nikahin wanita itu tanpa restu dr saya, dia jg janji ngk akan nidurin cwek itu lg sebelum mereka resmi menikah, tp mereka ber2 istilahnya ya msh tetep pacaran, bbm-an, ketemuan, gandengan, ciuman, tp ngk tidur bareng lg, smpe mereka ber2 resmi menikah, wktu terakhir suami minta maaf kesaya, saya hanya bilang ke dia, kl untuk kali ini, saya tdk bisa maafin kelakuan mereka ber2, mungkin smpe mati jg ngk akan bisa, anak saya jg kl nanti sudah besar dan tau masalah ortunya, mungkin jg ngk akan maafin kesalahan bapaknya dan selingkuhan yg akan dinikahinnya, suami saya sudah berjanji kl dia tdk akan meniduri wanita itu sebelum mereka resmi menikah,tp mereka msh pacaran, dan jalan kemana2 ber2,walaupun mereka tdk tidur bersama lg, sblum resmi menikah.
ustad, saya baca diinternet, kl orang sudh minta maaf, kemudain kita ngk ngasih maaf, kita bakalan diharamkan masuk surga benarkah begitu?
tp untuk skrng ini saya bener2 ngk bisa maafin mereka, yg bikin saya tmbah jengkel, suami bertanya, hal apa yg bikin saya ngk bisa maafin mereka, huaaaa, emg dia ngk mikir apa, perasaan saya gimana?
kenapa dia selalu menempatkan cwek itu sebagai korbannya? suami selalu bilang “coba kl km jd dia, udh ditidurin sm orang lain tp blm dinikahin” lah kenapa dia tdk pernah memposisikan saya, istri syahnya sebagai korbannya?
kenapa dia ngk tau perasaan saya yg sudh diginiin selama setahun belakangan ini? apa emg dia minta maafnya itu bener2, apa cman takut adzab dr Allah akibat perbuatannya udh ngedzolimin saya dan anak saya?
kenapa jg dia msh selalu bilang kl saya adl penyebab dia selingkuh? kenapa dia bilang kl perasaannya skrng udh ngk sama lg ke saya, gara2 dl saya tdk bisa menghormati dia sebagai suami?
apa kesalahan saya sebesar itu smpe dia msh aja tdk puas buat berlaku seperti ini terus ke saya? kenapa dia menjadikan poligami sebagai tanggung jawab ke wanita itu atas apa yg sdh dia lakuin kmren? tau apa dia tentang agama/ poligami sm tanggung jawab, apakah dia lupa, sudh berapa lama dia nelantarin istri sm anakku, dimana rasa tanggung jawabnya dia wktu itu?
kenapa dia egois dan ngk mau ngakuin semua itu murni kesalahannya dia? dosakah saya ustad melarang poligami yg akan dilakukan suami saya? benarkah kelakuan suami saya yg akan menikahi wanita itu sebgai bentuk tanggung jawabnya selama ini. Salahkah saya jika saya mendoakan Allah buat ngazab mereka ber2 sesuai sm apa yg udh mreka lakuin ke saya dan anak saya?
dosa kah saya jika saya berdoa sm Allah kl saya ngk ridho dan iklas atas perlakuan mereka ber2. Apakah tobat suami saya syah, mengingat dia menyatakan akan bertobat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala?

Jawaban:

Pertama:
Wajib bagi suami Anda untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dari dosa perzinahan, dan wajib pula bagi Anda untuk menasihatinya dan menolongnya agar: 1) Segera meninggalkan dosa tersebut, 2) Menyesalinya, 3) Dan bertekad tidak akan mengulanginya di masa depan, ini tiga syarat taubat yang paling minimal. Allah ta’ala telah mengingatkan,
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

“Janganlah kalian mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan.” [Al-Isra’: 32]
Dan dosa zina ini semakin besar jika pelakunya sudah pernah menikah, sehingga andaikan ditegakkan hukum Islam di suatu negara maka pelakunya harus dihukum mati dengan cara dilempari batu sampai mati (rajam) oleh pemerintah kaum muslimin (sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Itulah hukuman yang bisa menghapuskan dosanya. Selengkapnya tentang syarat sahnya taubat silakan lihat artikel Taubat, Muara Terindah bagi Seorang Hamba. 

Kedua:
Berdasarkan ayat di atas maka tidak dibenarkan bagi suami Anda menjalin hubungan (yang dapat mengantarkan kepada perzinahan) dengan wanita lain walaupun tidak sampai berzina dengan kemaluan, sebab Allah ta’ala melarang untuk MENDEKATI perzinahan, maka semua perbuatan yang mengantarkan kepada zina, seperti memandang, bersentuhan, ikhtilat dan berdua-duaan juga diharamkan, dan berapa banyak orang yang akhirnya melakukan perzinahan karena telah membuka pintu-pintunya. Maka bukti suami Anda telah bertaubat adalah memutuskan hubungan-hubungan yang mengantarkan kepada perzinahan dengan wanita tersebut.

Ketiga:
Jika suami Anda tidak mau bertaubat, maka wajib bagi Anda untuk berpisah dengannya, diharamkan bagi Anda untuk terus menjaga ikatan pernikahan dengannya, sebab seorang wanita  mukminah tidak halal menikahi laki-laki pezina, demikian sebailknya. Allah ta’ala berfirman,
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” [An-Nur: 3]

Keempat:
Jika suami Anda benar-benar taubat kepada Allah ta’ala, maka termasuk kebaikan besar jika Anda membantunya untuk poligami, karena itulah salah satu solusi yang paling jitu untuk menyelamatkan suami Anda dari perzinahan. Dan tentunya sebelum melakukan poligami, wajib bagi suami Anda untuk mempelajari hukum-hukum poligami dalam Islam, agar ia bisa mengamalkannya dengan baik.

Kelima:
Demikian pula wanita yang ingin dinikahi oleh suami Anda wajib bertaubat kepada Allah ta’ala dari dosa perzinahan, karena wanita pezina diharamkan bagi laki-laki yang beriman.
Keenam: Adapun syarat-syarat sahnya poligami sama dengan syarat-syarat sahnya sebuah pernikahan, yaitu: 1) Persetujuan wali calon istri, yakni wali yang sah, seperti bapaknya atau kakeknya, tidak dibenarkan menggunakan wali hakim tanpa izin wali yang sebenarnya, 2) Keridhoaan calon istri, 3) Mahar, 4) Adanya saksi. Dan ditambah dua syarat setelah poligami: 1) Mampu memberikan nafkah lahir maupun batin kepada seluruh istrinya, 2) Berlaku adil dalam pembagian antara para istri.

Ketujuh:
Hendaklah peristiwa ini diambil pelajaran darinya, diantaranya bakti istri dan sikap baiknya terhadap suami sangat berpengaruh dalam keharmonisan rumah tangga dan menjaga suami dari perzinahan, walaupun kedurhakaan seorang istri sama sekali bukan alasan bagi suami untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala.

Kedelapan:
Wajib bagi Anda bertaubat dari sikap Anda yang tidak menghargai suami, karena hal itu termasuk dosa besar. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan betapa besarnya hak suami atas istrinya,

لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ ، لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ، وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ ، حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهُ ، حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ

“Andaikan boleh aku perintahkan seseorang untuk sujud kepada yang lainnya, niscaya aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang wanita itu dapat memenuhi seluruh hak Allah ‘azza wa jalla yang diwajibkan atasnya, sampai ia memenuhi seluruh hak suaminya yang diwajibkan atasnya, andaikan suaminya mengajaknya untuk berhubungan dan ia sedang berada si atas suatu kendaraan, hendaklah ia memenuhi apa yang diminta suaminya” [HR. Ahmad dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 3366]
Kesembilan: Sudah sepatutnya kita memaafkan orang yang meminta maaf kepada kita jika dia benar-benar bertaubat dari dosa tersebut, sebagaimana kita pun menginginkan hal itu dilakukan untuk kita, akan tetapi saya tidak mengetahui dalil jika seorang tidak memaafkan berarti dia tidak akan masuk surga. Sependek yang saya tahu, dosa apapun yang dilakukan seorang hamba, selama ia tidak menyekutukan Allah ta’ala, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga, hanya saja ada yang langsung masuk ke surga dan ada yang ‘mampir’ dulu di neraka, maka hendaklah kita memperbanyak taubat kepada Allah ta’ala.

Kesepuluh: Tidak dibenarkan bagi Anda mendo’akan keburukan bagi suami Anda, doakanlah agar ia bertaubat kepada Allah ta’ala dan memperbaiki dirinya. Semoga Allah ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sumber : http://nasihatonline.wordpress.com/2012/12/03/suami-selingkuh/

Hukum MLM


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Oleh : Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi

Pengantar

Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh sejumlah kaum muslimin, yang cinta untuk mengetahui kebenaran serta peduli dalam membedakan halal dan haram, adalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewamai suasana pasar masyarakat. Oleh karena itu, seorang pebisnis muslim wajib mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut di dalamnya sebagaimana prinsip umum dari ucapan Umar radhiyallâhu ‘anhu,

لَا يَبِعْ فِي سُوكِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ

“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami, kecuali orang yang telah memahami agama.” [Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany]

Maksud ucapan Umar radhiyallâhu ‘anhu adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Kedangkalan pengetahuan tentang hal ini akan mengakibatkan seseorang jatuh ke dalam kesalahan dan dosa sebagaimana yang telah kita saksikan perihal tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia dengan cara batil, merusak harga pasaran, dan sebagainya di antara berbagai bentuk kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.

Oleh karena itu, pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa para ulama terkemuka di masa ini, yang telah dikenal dengan keilmuan, ketakwaan, dan semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.

Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da`imah, Saudi Arabia, mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah, kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah Da`imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqih Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (salah satu nama perusahaan MLM).

Fatwa Majma’ AI-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M, pada majelis nomor 3/24. Kesimpulan fatwa mereka terdiri dalam dua poin – sebagaimana yang disampaikan oleh Amin Âm Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. Dr. Ahmad Khalid Ba Bakar- sebagai berikut:

“Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahan Biznas, dan perusahaan pemasaran berjejaring (MLM) lain yang semisalnya, adalah tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar[1].

Dua, sistem perusahan Biznas, dan perusahaan-perusahaan pemasaran berjejaring (MLM) lain yang semisalnya, tidak memiliki hubungan dengan akad samsarah[2] -sebagaimana sangkaan perusahaan (Biznas) itu dan sebagaimana mereka berusaha untuk mengesankan hal itu kepada ahlul ilmi, yang memberi fatwa boleh dengan alasan bahwa itu adalah sebagai samsarah, di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut, padahal, telah digambarkan kepada mereka, perkara yang tidak sebenarnya-.”

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan yang bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby.

Sepanjang yang kami ketahui, dari para ulama, belum ada yang memperbolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan akan kebolehan hal tersebut, tetapi tulisan itu datangnya hanya dari sebagian ulama yang sistem MLM digambarkan kepada mereka dengan penggambaran yang tidak benar -sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan- atau sebagian orang yang sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.

Akhirulkalam, semoga keterangan yang tertuang dalam tulisan ini bermanfaat untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita semua. Wallahu A’lam.
Fatwa Lajnah Da`imah pada tanggal 14/ 3/1425 H dengan nomor (22935):



Telah sampai pertanyaan-pertanyaan yang sangat banyak kepada Al-Lajnah Ad-Dâ`imah Li Al-Buhûts Al-‘Ilmiyiah wa Al-Iftâ`[3] tentang aktifitas perusahaan­-perusahaan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM)[4], seperti Biznas dan Hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau produk agar orang tersebut (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli produk tersebut (dan) agar orang-orang (lain) itu juga meyakinkan orang lain untuk membeli. Demikianlah (seterusnya). Setiap kali tingkatan anggota di bawahnya (downline) bertambah, orang pertama akan mendapatkan komisi besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota, yang dapat meyakinkan orang-or­ang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan mendapatkan komisi-komisi sangat besar yang mungkin dia dapatkan sepanjang berhasil merekrut anggota-­anggota baru setelahnya ke dalam daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM).

Jawab:

Alhamdulillah,

Lajnah menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut.

Sesungguhnya, transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan transaksi itu adalah komisi, bukan produk. Terkadang, komisi dapat mencapai puluhan ribu, sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal, ketika diperhadapkan di antara dua pilihan, niscaya akan memilih komisi. Oleh karena itu, sandaran perusahaan-perusahaan ini dalam memasarkan dan mempromosikan produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar, yang mungkin didapatkan oleh anggota, dan mengiming-imingi mereka dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil, yaitu harga produk. Maka, produk yang dipasarkan oleh perusahaan­perusahaan ini hanya sekadar label dan pengantar untuk mendapatkan komisi dan keuntungan.

Tatkala ini adalah hakikat transaksi di atas, itu adalah haram karena beberapa alasan:

Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua jenisnya: riba fadhl[5] dan riba nasî’ah[6]. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar dari (harta) tersebut. Berarti, (transaksi) itu adalah barter uang dengan bentuk tafâdhul (memiliki selisih nilai) dan ta’khîr (tidak secara tunai). Hal ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanyalah sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya) sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).

Kedua, hal itu termasuk gharar[8] yang diharamkan menurut syariat karena anggota tidak mengetahui, apakah dia akan berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak? Bagaimanapun pemasaran berjejaring atau berpiramida itu berlanjut, hal tersebut pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti. Sedangkan, anggota tidak tahu bahwa, ketika bergabung ke dalam piramida, apakah dia berada di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya adalah bahwa kebanyakan anggota piramida merugi, kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu, yang mendominasi adalah kerugian, sedang ini adalah hakikat gharar, yaitu ketidakjelasan antara dua perkara. Yang paling mendominasi antara keduanya adalah yang dikhawatirkan. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah melarang terhadap gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahîh-nya.

Tiga, hal yang terkandung dalam transaksi ini, berupa memakan harta manusia secara batil, adalah bahwa tidak ada yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini, kecuali perusahaan dan para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lain. Hal inilah yang nash pengharamannya datang dalam firman (Allah) Ta’âla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.” [An-Nisâ`: 29]

Empat, hal yang terkandung dalam transaksi ini, berupa penipuan, pengaburan, dan penyamaran terhadap manusia, adalah dari sisi penampakan produk, yang seakan-akan merupakan tujuan dalam transaksi, padahal kenyataannya adalah menyelisihi itu, serta dari sisi bahwa mereka mengiming-imingi komisi besar, yang (komisi besar itu) sering tidak terwujud. (Perkara) ini terhitung sebagai penipuan yang diharamkan. Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Barangsiapa yang menipu, ia bukanlah dari (golongan) saya.” [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahîh-nya]

Beliau shalallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَ وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَهُ بَيْعِهِمَا

“Dua orang yang bertransaksi jual-beli berhak menentukan pilihannya (khiyâr) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan transparan, niscaya transaksinya akan diberkati. Namun, jika keduanya saling dusta dan tertutup, niscaya keberkahan transaksinya akan dicabut.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah[9], (pendapat) itu tidaklah benar karena samsarah adalah transaksi (berupa) pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya dalam mempertemukan barang (dengan pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud hakikat samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan pemasaran berjejaring (MLM). Maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi, bukan (pemasaran) produk. Oleh karena itu, orang yang bergabung (ke dalam MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasarkan, dan seterusnya[10]. (Hal ini) berbeda dengan samsarah, (bahwa) pihak perantara benar-benar memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan antara dua transaksi adalah jelas.

Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian), (pendapat) ini tidaklah benar. Andaikata (pendapat itu) diterima, tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syariat (sebagaimana) hibah yang berkaitan dengan suatu pinjaman adalah riba. Oleh karena itu, kepada Abu Burdah, Abdullah bin Salam radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,

إِنَّكَ فِي أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ، فَإِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَإِنَّهُ رِبَا

“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar pada (tempat) tersebut. Oleh karena itu, jika engkau memiliki hak pada seseorang, tetapi kemudian dia menghadiahkan sepikul jerami, sepikul gandum, atau sepikul tumbuhan kepadamu, itu adalah riba.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Ash-Shahîh]

(Hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Oleh karena itu, kepada pekerja beliau yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya,” beliau ‘alaihish shalâtu wa salâm bersabda,

أَفَلَا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَتَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْكَ أَمْ لَا؟

“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu menunggu apakah itu dihadiahkan kepadamu atau tidak?” [Muttafaqun ‘alaihi]

Komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran berjejaring. Oleh karena itu, apapun namanya, baik hadiah, hibah, maupun selainnya, hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.

(Juga) hal yang patut disebut di sana adalah bahwa ada beberapa perusahaan yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest, dan Seven Diamond. Akan tetapi, hukum terhadap mereka sama dengan perusahaan-perusahaan yang telah disebutkan. Walaupun sebagian (perusahaan) berbeda dengan (perusahaan) lain pada produk-produk yang mereka perdagangkan.

وَبِاللهِ التَّوْفِيقِ وَصَلَّ اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ

[Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz Âlusy Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzân, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyân, Syaikh Abdullah Ar-Rukbân, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubâraky, dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq]

[1] Qimar adalah seseorang mengeluarkan biaya dalam sebuah transaksi yang memungkinkan dia untuk beruntung atau merugi, (-penj.).

[2] Yaitu jasa sebagai perantara atau makelar.

[3] Yaitu komisi khusus bidang riset ilmiah dan fatwa, beranggotakan ulama-ulama terkemuka di Arab Saudi, bahkan menjadi rujukan kaum muslimin di berbagai belahan bumi, (-penj.).

[4] Kadang disebut dengan istilah pyramid scheme, network marketing, atau Multi Level Marketing (MLM), (-penj.).

[5] Riba fadhl adalah penambahan pada salah satu di antara dua barang ribawy (yaitu barang yang berlaku pada hukum riba) yang sejenis dalam transaksi yang kontan, (-penj.).

[6] Riba nasî’ah adalah transaksi antara dua jenis barang ribawy yang tidak secara kontan, (-penj.).

[7] Maksudnya adalah menurut nash Al-Qur`an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama, (-penj.).

[8] Suatu hal yang belum diketahui akan diperoleh atau tidak, baik dari sisi hakikat maupun kadarnya, (-penj.).

[9] Maksudnya adalah jasa sebagai perantara atau makelar, (-penj.).

[10] Penggun barang tersebut adalah anggota MLM. Hal ini dikenal dengan istilah user 100%, (-ed.).

Sumber : http://dzulqarnain.net/hukum-mlm.html

 

Memang Telah Menjadi Ketentuan Allah





بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Oleh : Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri-diri kalian. Dan (juga) kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak lagi menyakitkan hati. Jika kalian bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” [Ali ‘Imran: 186]

Ujian dan cobaan adalah ketentuan Allah terhadap manusia. Ujian itu kadang terhadap harta, jiwa, kehormatan, keagamaan, atau selainnya, serta kadang menimpa individu, keluarga, masyarakat, atau suatu negeri.

Kita telah menyaksikan berbagai musibah dan petaka yang meluluhlantakkan harta benda, melayangkan jiwa-jiwa manusia, menghilangkan keamanan dan ketenangan, mencentangperenangkan kegembiraan, serta berakhir dengan kepiluan, ratap tangis, duka, dan nestapa. Prahara musibah dan petaka telah mendera umat-umat sebelum kita, juga terjadi di tengah umat ini.

Namun, bagi seorang mukmin, dalam ujian, cobaan, musibah, dan petaka, terdapat berbagai renungan yang membawa makna, suatu ibadah yang mengantar kepada jenjang keimanan dan ketakwaan, serta kepada pahala dan keutamaan. Itulah dua kaidah yang terkandung dalam ayat, “Jika kalian bersabar dan bertakwa.”

Kaidah kesabaran yang menunjukkan kerelaan terhadap ketentuan Allah, penjagaan diri di atas batasan syari’at, dan menghindari segala sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah.

Kaidah ketakwaan yang membawa kepada penataan diri dan pembenaan jiwa, untuk merenungi sejauh mana dia telah melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.

Jangan telantarkan suatu ujian tanpa berhias sabar dan takwa, jangan lewatkan kesempatan meraih pahala dalam segala keadaan, termasuk dalam kondisi teruji suatu cobaan. Waffaqallah Al-Jamî’ li Yurdhih.

Sumber : http://dzulqarnain.net/memang-telah-menjadi-ketentuan-allah.html


Beberapa Hikmah dan Manfaat di Balik Musibah




                                     

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Oleh : Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi

Berikut beberapa hikmah di balik terjadinya musibah dan cobaan[1].

Pertama: Agar Hamba Mengenal Keagungan Rubûbiyah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ dan Kemuliaan-Nya

Bila Allah Jalla Jalâluhû menghendaki kejelekan bagi hamba, tiada seorang pun yang dapat menolak kejelekan itu.

Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

“Dan apabila Allah menghendaki kejelekan terhadap suatu kaum, tak ada yang dapat menolak (kejelekan) itu; dan sekali-kali tiada pelindung bagi mereka, kecuali Dia.” [Ar-Ra’d: 11]

Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir) lalu mengurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya.” [Ar-Ra’d: 41]

Kedua: Mengenal Kehinaan dan Kerendahan Diri dalam Menegakkan Ibadah kepada-Nya

Saat dilanda musibah, manusia akan menyadari keadaannya sebagai para hamba dan di bawah kekuasaan Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Mereka semua tidak terlepas dari ketetapan dan pengaturan Allah serta qadha dan takdir-Nya. Hal ini tersirat dari pengakuan orang-orang beriman sebagaimana dalam firman-Nya,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang, apabila ditimpa musibah, mengucapkan, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn ‘sesungguhnya kami hanyalah untuk Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami dikembalikan’.’.” [Al-Baqarah: 156]

Ketiga: Mengantar Hamba kepada Pintu Ikhlas

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, tiada yang dapat menghilangkan (kemudharatan) itu, kecuali Dia sendiri.” [Al-An’âm: 17]

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka, apabila menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya; (Namun), tatkala (Allah) menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka pun (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabût: 65]

Keempat: agar Hamba Bertaubat dan Kembali kepada Allah ‘Azza Wa Jalla

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabb-nya dengan kembali kepada-Nya; (Namun) kemudian, apabila (Rabb-nya) memberi nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia mohonkan (kepada Allah) untuk (dihilangkan) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, ‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya engkau termasuk sebagai penghuni neraka.’.” [Az-Zumar: 8]

Kelima: Adanya Doa dan Penyerahan Diri kepada Allah Jalla Jalâluhû

Allah Jalla Jalâluhû berfirman,

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا

“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa saja yang kalian seru, kecuali Dia. (Namun), tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling (dari-Nya). Dan adalah manusia itu selalu tidak berterima kasih.” [Al-Isrâ`: 67]

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman pula,

بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ

“(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kalian seru maka Dia menghilangkan bahaya yang, karena (bahaya) itu, kalian berdoa kepada-Nya jika Dia menghendaki, dan kalian meninggalkan (sembahan-sembahan) yang kalian persekutukan (dengan Allah).” [Al-An’âm: 41]

Pada ayat lain, Rabb kita Jalla Jalâluhû menegaskan,

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dan dengan suara yang lembut (dengan mengatakan,) ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.’.’.” [Al-An’âm: 63]

Keenam: Menumbuhkan Sifat Hilm ‘Berakal, Kedewasaan, Kesabaran’ saat Terjadi Musibah

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm,

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah beliau ikrirkan kepada bapaknya itu. Oleh karena itu, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri dari (bapak)nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seseorang yang hatinya sangat lembut lagi sangat hilm.” [At-Taubah: 114]

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyajj Abdul Qais,

إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ

“Sesungguhnya, pada engkau, ada dua (akhlak) yang Allah cintai: hilm dan anâh ‘sikap tidak tergesa-gesa’.” [2]

Ketujuh: Adanya Sifat Memberi Maaf kepada Orang-Orang yang Tertimpa Musibah

Sifat memberi maaf merupakan sifat yang sangat terpuji. Dalam firman-Nya, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman menjelaskan sebagian sifat orang-orang yang bertakwa,

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

“Dan memaafkan (kesalahan) manusia.” [Âli ‘Imrân: 134]

Allah Jalla Jalâluhû juga berfirman,

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

“Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah.” [Asy-Syûrâ: 40]

Kedelapan: Mendidik Diri untuk Bersabar

Kesabaran adalah akhlak yang Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ cintai. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan Allah menyukai orang-orang sabar.” [Âli ‘Imrân: 146]

Kesabaran adalah sebab dilipatgandakannya kebaikan tanpa batasan. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang pahala mereka dicukupkan tanpa batas.” [Az-Zumar: 10]

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Dan tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” [3]

Kesembilan: Musibah Menggugurkan Dosa dan Kesalahan

Seorang mukmin, yang bersabar dan ridha akan ketentuan Allah saat tertimpa musibah, dosa dan kesalahannya akan digugurkan.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang mukmin ditimpa oleh sakit terus-menerus, keletihan, penyakit, kesedihan, hingga gundah gulana yang menyusahkannya, kecuali bahwa dia akan digugurkan dari kesalahan-kesalahannya.” [4]

Kesepuluh: Kegembiraan karena Adanya Sejumlah Manfaat di Balik Musibah

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنْ كَانُوا لَيَفْرَحُوْنَ بِالْبَلاَءِ كَمَا تَفْرَحُوْنَ بِالرَّخَاءِ

“Sungguh mereka (para nabi) sangat bergembira dengan musibah sebagaimana kalian bergembira dengan kemudahan.” [5]

Kesebelas: Bersyukur terhadap Musibah Lantaran Berbagai Manfaat

Berbagai manfaat yang dipetik di balik musibah adalah bagian dari anugerah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ telah memerintah,

وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” [An-Nahl: 114]

Telah dimaklumi bahwa orang sakit kadang mensyukuri perbuatan seorang dokter yang mengamputasi tubuhnya guna kesembuhannya. Walaupun harus merelakan ketiadaan sebagian anggota tubuhnya, dia bersyukur akan kesembuhannya.

Kedua Belas: Rasa Rahmat dan Iba kepada Mereka yang Tertimpa Musibah

Musibah, yang melanda seorang muslim, sering menggerakkan hati muslim lain untuk berbuat kebaikan bagi saudara-saudaranya tersebut. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan kasih-mengasihi bagaikan satu jasad. Bila sebagian anggota jasad mengeluh (kesakitan), hal itu akan dirasakan oleh seluruh anggota jasad dalam bentuk tidak bisa tidur atau demam.” [6]

Ketiga Belas: Mengenal Besarnya Nikmat Afiat

Nikmat afiat serta nikmat perihal terhindarnya seseorang dari musibah dan petaka akan terasa saat orang tersebut dilanda musibah atau menyaksikan musibah yang menimpa orang lain. Oleh karena itu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan,

مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلاَءُ

“Barangsiapa yang menyaksikan orang yang tertimpa ujian, hendaknya dia membaca, ‘Alhamdulillâhil ladzî ‘âfânî mimmâb talâka bihi wa fadhdhalanî ‘alâ katsîrin mimman khalaqa tafdhîlan ‘segala puji bagi Allah yang memberi afiat kepadaku terhadap sesuatu yang menimpamu, dan (Allah) telah menberi keutamaan kepadaku di atas banyak makhluk-Nya’.’ Pasti ujian itu tidak akan menimpanya.” [7]

Keempat Belas: Pahala yang Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ Persiapkan di Akhirat

Dari sejumlah penjelasan yang telah berlalu, tampak berbagai pahala akhirat di balik keberadaan musibah dan petaka. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” [8]

Kata kebaikan, yang dijanjikan dalam hadits, adalah segala hal yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat, baik dalam bentuk pahala maupun selainnya.

Namun, harus diketahui pula bahwa pahala tersebut adalah bagi siapa saja yang menerima musibah dengan kesabaran. Juga, pahala yang diberikan berjenjang sesuai dengan kekuatan sabar. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya kalian diberi balasan terhadap segala sesuatu yang telah kalian kerjakan.” [Ath-Thûr: 16]

Kelima Belas: Berbagai Manfaat yang Tersembunyi di Balik Musibah

Di antara hikmah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah bahwa terkadang, pada musibah, ada kebaikan-kebaikan yang tidak disangka oleh seorang hamba.

Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk untuk kalian; Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]

Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada sesuatu itu.” [An-Nisâ`: 19]

Pada ayat lain, Allah Jalla Jalâluhû berfirman pula,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu berasal dari golongan kalian juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, tetapi hal itu adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dia kerjakan. Dan siapa saja di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, adzab yang besar bagi dia.” [An-Nûr: 11]

Keenam Belas: Musibah Menahan Manusia untuk Berlaku Sombong, Congkak, dan Sewenang-Wenang

Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menjelaskan salah satu sifat manusia dalam firman-Nya,

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat bahwa dirinya serba cukup.” [Al-‘Alaq: 6-7]

Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Dia menurunkan apa-apa yang Dia kehendaki dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ: 27]

Dengan musibah dan cobaan, seorang hamba akan menahan diri dari segala sifat keangkuhan.

Ketujuh Belas: Merupakan Pendidikan bagi Hamba untuk Ridha kepada Ketentuan dan Takdir Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya, besarnya pahala bersama dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya, apabila mencintai suatu kaum, Allah akan menguji (kaum) tersebut. Barangsiapa yang ridha, untuknya keridhaan (Allah), (tetapi) barangsiapa yang murka, baginya kemurkaan (Allah).” [9]

Kedelapan Belas: Menampakkan Konsekuensi dan Keagungan Nama-Nama yang Maha Baik dan Sempurna (Al-Asma` Al-Husna) Milik Allah Jalla Jalâluhû

Di antara Al-Asma` Al-Husna milik Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah Ar-Rabb (Yang Maha bersendirian dalam kepemilikan, pengaturan, kekuasaan, penciptaan, dan perbuatan) dan Al-‘Azîz (Yang Maha Perkasa). Keagungan nama-nama ini akan terasa dengan menyaksikan musibah dan petaka yang Allah ‘Azza Wa Jalla turunkan, yang kehendak Allah tersebut tidak akan mampu ditolak oleh siapapun. Demikian pula kandungan dan konsekuensi Al-Asma` Al-Husna yang lain.

Kesembilan Belas: Keberadaan Musibah di Tengah Manusia Akan Membuat Seorang Hamba Tersadar bahwa Seluruh Manusia Sangat Bergantung kepada Penjagaan dan Perlindungan Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ

Apabila tidak ada rahmat dan perlindungan Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya dia akan binasa di tengah badai musibah dan petaka.

Kedua Puluh: Seorang Hamba yang Didera oleh Petaka Akan Banyak Merenungi Sebab yang Mendatangkan Petaka

Dengan demikian, dia akan terdidik untuk banyak memperbaiki diri, membenahi aib dan keburukannya, serta menahan diri dari membahas aib orang lain.



Kedua Puluh Satu: Musibah Menyingkap bahwa Kehidupan Dunia Hanyalah Sementara, bukan Kehidupan Kekal Abadi

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan permainan belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui.” [Al-‘Ankabût: 64]

Wallâhu Ta’âlâ A’lam

[1] Tujuh belas poin pertama dirangkum dari Fawâ`id Al-Balwâ wa Al-Mihan karya Al-‘Izz bin Abdus Salam, selebihnya dibahasakan dari keterangan Ibnul Qayyim dalam Zâd Al-Ma’âd Fî Hadyi Khair Al-‘Ibâd 4/ 188-196 dan Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain 2/362-372.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbâs dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhum.

[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan An-Nasâ`iy dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû.

[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhumâ, serta oleh At-Tirmidzy, dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû.

[5] Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Râsyid, Ahmad, Ibnu Mâjah, dan selain mereka. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 2047.

[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari An-Nu’mân bin Basyir radhiyallâhu ‘anhumâ.

[7] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 602.

[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhû.

[9] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 146.

Sumber : http://dzulqarnain.net/beberapa-hikmah-dan-manfaat-di-balik-musibah.html

جزاك الله خيرا وبارك الله فيكم. “Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog Kami.
thank you