بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)

Meniti Jalan Salaf

product

dzulqarnain.net

Detail | Pencari Ilmu

Tegar Di Atas Sunnah

product

Majalah Salafy

Detail | Profil

Profil Ummu Ulfa

product

Profil Penulis

Detail | da'watuna

Sebab-Sebab Pengampunan Dosa Bag.1

             


Bismillah,
Oleh : Ustadz Dzulkarnain Bin Muhammad Sunusi

Di antara hal terpenting bagi seorang hamba guna menggapai pengampunan AllahSubhânahû Wa Ta’âlâ  adalah mengetahui berbagai amalan dan tuntunan yang menjadi sebab gugurnya dosa dan datangnya pengampunan.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, serta laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar untuk mereka.” [Al-Ahzâb: 35]
Allah ‘Azza Wa Jalla  juga berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di atas jalan petunjuk.” [Thâhâ: 82]
Dua ayat di atas menjelaskan tiga belas amalan yang, siapa saja yang mengerjakan dan bersifat dengan amalan tersebut, dijanjikan pengampunan untuknya.

Pertama: Keislaman
Berislam adalah berserah diri kepada Allah dengan cara menunaikan ibadah hanya untuk-Nya, mengikatkan diri melalui ketaatan kepada-Nya, serta berlepas diri terhadap segala jenis kesyirikan dan pelakunya.
Barangsiapa yang menegakkan makna keislaman ini, dalam bentuk melaksanakan rukun-rukun Islam dan berbagai hal yang menyempurnakan rukun-rukun tersebut, sungguh pengampunan dan pahala yang besar telah terjamin untuknya sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al-Ahzâb tadi.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman pula,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang perkataannya lebih baik daripada orang yang menyeru kepada Allah, beramal shalih, dan berkata, ‘Sesungguhnya saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berserah diri.’?” [Fushshilat: 33]
Pedihnya siksaan pada hari kiamat menjadikan orang-orang kafir berangan-angan untuk menjadi seorang muslim yang aman terhadap siksaan.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
“Orang-orang kafir itu (nanti di akhirat) seringkali ingin agar kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” [Al-Hijr: 2]

Kedua dan Ketiga: Keimanan dan Amalan Shalih
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” [Al-Hajj: 50]

KeempatQunut (Tenang dalam Ketaatan)
Allah ‘Azza Wa Jalla memuji mereka, orang-orang yang qunut, dalam firman-Nya,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu, wahai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharap rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Az-Zumar: 9]
Istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang memiliki sifat ini telah diberi jaminan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla berupa pahala berdasarkan firman-Nya,
وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
“Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri nabi) yang qunut kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal shalih, niscaya Kami memberi pahala dua kali lipat kepadanya dan Kami menyediakan rezeki yang mulia baginya.” [Al-Ahzâb: 31]

Kelima: Kejujuran
Kejujuran adalah benar dalam ucapan dan perbuatan, bersungguh-sungguh dalam hal menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Dalam kisah tentang tiga orang shahabat yang tidak menghadiri perang Tabuk, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menerima taubat mereka lantaran kejujuran mereka. Kemudian, kejujuran mereka ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman, yang hidup pada masa setelah mereka, sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” [At-Taubah: 119]

Keenam: Kesabaran
Kesabaran, dengan berbagai jenisnya –sabar dalam hal menjalankan ketaatan, sabar dalam hal meninggalkan larangan, dan sabar dalam hal menerima ujian-, adalah salah satu sebab penggugur dosa.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“Kecuali orang-orang yang bersabar dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” [Hûd: 11]

Ketujuh: Khusyu’
Khusyu’ adalah ketenangan, tuma’ninah, dan hal merendahkan diri yang muncul karena adanya rasa takut kepada Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ dan karena merasa diawasi oleh Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ.
Ini adalah sifat para nabi, yang senantiasa mendapat pengampunan.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiyâ`: 90]

Kedelapan: Bersedekah
Allah menyatakan bahwa diri-Nya Maha Pengampun kepada orang-orang yang bersedekah melalui firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugikan. (Hal ini) agar (Allah) menyempurnakan pahala mereka kepada mereka dan menambah karunia-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fâthir: 29-30]
Selain itu, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Jika kamu meminjamkan pinjaman yang baik kepada Allah, niscaya Allah melipatgandakan balasan hal itu kepada kalian dan mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” [At-Taghâbûn: 17]

Kesembilan: Berpuasa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya dosa­-dosanya yang telah lalu.” [1]

Kesepuluh: Menjaga Kemaluan terhadap Hal yang Diharamkan
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang memberi jaminan bagiku untuk menjaga sesuatu yang berada di antara kedua jenggotnya dan di antara kedua pahanya, saya memberi jaminan surga untuknya.” [2]
Bersambung…


[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan selainnya dari Sahl bin Sa’d radhiyallâhu ‘anhu.



Sumber  :  http://dzulqarnain.net/sebab-sebab-pengampunan-dosa-bag-1.html
 

Pakaian Wanita dihadapan Non Mahram & Ketika Keluar Rumah




Bismillah,


Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah


Kewajiban berhijab bagi wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya adalah karena Allah subhanahu wa ta’ala yg memerintahkan hal tersebut di dalam Al-Qur’an. Di antaranya Dia Yang Maha Tinggi berfirman:


“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (QS.Al-Ahzab: 53)


Samahatusy Syaikh Al-Walid Ibnu Baz berkata tentang ayat di atas, “Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi  dan wanita-wanita kaum mukminin selain mereka.” (Hukmus Sufur wal Hijab yang terangkum dalam Majmu’ah Rasa’il fil Hijab was Sufur, hal. 58)
Beliau juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri dari lelaki (non mahram/ajnabi).


Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita serta lebih menjauhkan dari perbuatan keji berikut sebab-sebabnya. Allah mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan, sedangkan berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” {At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8}


Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi, namun hukumnya umum meliputi seluruh wanita yang beriman. Karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah dengan firman-Nya:
“Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka” (QS.Al-Mukminat, hal. 64)”
Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.

● Pakaian Muslimah yang Syar’i

Pembicaraan tentang hijab tentunya tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang pakaian wanita di hadapan ajnabi atau lelaki yang bukan mahramnya. Maka di sana kita tahu ada yang namanya jilbab. Setiap jilbab adalah hijab, namun tidak setiap hijab adalah jilbab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan ayat tentang jilbab berkaitan dengan keluarnya wanita dari tempat tinggalnya, yang berarti bila keluar rumah ia harus mengenakan jilbab. Adapun ayat tentang hijab berkaitan bila terjadi pembicaraan antara wanita dengan lelaki ajnabi di tempat-tempat tinggal. Maksudnya, bila seorang lelaki ajnabi memiliki keperluan dengan wanita ajnabiyah maka komunikasinya harus dari balik hijab.


Allah berfirman tentang jilbab:


“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS.Al-Ahzab: 59)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memaknakan jilbab dengan mala’ah (baju panjang), yang dinamakan Ibnu Mas’ud dan selainnya dengan rida’, sedangkan orang awam menyebutnya dengan izar. Jilbab adalah izar besar yang menutup kepala dan seluruh tubuh wanita. Abu Ubaid dan selainnya menghikayatkan bahwa wanita menjulurkan jilbab tersebut dari atas kepalanya sehingga tidak ada yang nampak dari si wanita kecuali matanya. {Hijabul Mar’ah wa Libasuha fish Shalah, hal. 7-8}


 Ulama kita yang mulia telah menetapkan syarat-syarat pakaian yang syar’i bagi muslimah ketika keluar dari rumahnya, atau ketika berhadapan dengan lelaki ajnabi. Di antaranya:


1. Pakaian itu panjang hingga menutupi seluruh tubuhnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya.
2. Tebal, tidak boleh tipis sehingga menampakkan warna kulit.
3. Tidak ketat hingga membentuk lekuk-lekuk tubuh.
4. Tidak menyerupai pakaian yang khusus dipakai oleh lelaki sesuai dengan kebiasaan yang ada di masyarakatnya.
5. Bukan pakaian perhiasan atau diberi hiasan-hiasan sehingga menarik pandangan (orang lain) karena bagusnya pakaiannya.
Syarat pertama, kedua, dan ketiga dipahami dari hadits Rasulullah:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَـمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْـجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا كَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga, padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)


Al-Imam An-Nawawi menyatakan hadits di atas termasuk mukjizat kenabian karena dua golongan yang disebutkan oleh Rasulullah tersebut telah muncul dan didapatkan. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, wanita-wanita itu memakai nikmat Allah tapi tidak mensyukurinya. Ada pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.
مَائِلاَتٌ  maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan dari perkara yang semestinya dijaga.
مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain.
Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ, dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur, mereka juga menyisir rambut wanita lain dengan model sisiran seperti mereka.
رُؤُوْسُهُنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336)


Para wanita yang disebutkan dalam hadits di atas mengenakan pakaian tapi tidak menutupi tubuh mereka, karena mereka mungkin memakai pakaian yang tipis sehingga menampakkan kulitnya, atau memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal yang semestinya dikenakan oleh wanita saat keluar rumahnya adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak menampakkan kulit di balik pakaiannya, tidak pula membentuk tubuhnya, karena pakaian itu tebal dan lebar/lapang. (Majmu’ Al-Fatawa, 22/146)


Adapun syarat keempat didapatkan dari hadits Nabi dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa:
“Rasulullah melaknat laki-laki yang tasyabbuh (menyerupai) dengan wanita dan melaknat wanita yang tasyabbuh dengan lelaki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885)


Sedangkan syarat kelima dipahami dari adanya larangan bagi wanita untuk tabarruj atau menampakkan perhiasannya kepada orang yang tidak halal untuk melihatnya. Allah berfirman:
“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Fadhalah ibnu ‘Ubaid berkata, Rasulullah bersabda:


“Ada tiga golongan, jangan engkau tanya tentang mereka… (Di antara mereka adalah) Seorang istri yang suaminya sedang pergi meninggalkannya (tidak di rumah/negerinya) dalam keadaan suaminya telah mencukupkan kebutuhan dunianya, namun sepeninggal suaminya ia mempertontonkan perhiasannya di hadapan lelaki ajnabi (tabarruj).” (HR. Al-Hakim 1/119, Ahmad 6/19. Kata Al-Hakim, “Hadits ini di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan aku tidak mengetahui ada illat/penyakit padanya.” Adz-Dzahabi t menyetujuinya. Dihasankan oleh Ibnu ‘Asakir t dalam Madhut Tawadhu’, 5/88/1)


Kepada mereka yang berbaju muslimah, hendaklah memerhatikan dan merenungkan apakah pakaian yang dikenakannya saat keluar rumah telah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam syariat agamanya yang mulia? Bila belum, maka berbenahlah…
.

● Disyariatkannya Menutup Wajah (bercadar/niqob)

Berbicara tentang hijab dan jilbab tak bisa lepas dari pembicaraan tentang menutup wajah. Apatah lagi di zaman sekarang di mana fitnah (godaan) antara lawan jenis semakin besar. Walaupun dalam masalah menutup wajah ini ada ulama(1) yang berpendapat tidak wajib tapi sunnah hukumnya, namun penulis lebih condong kepada pendapat yang mengharuskan wanita menutup wajahnya, dengan beberapa dalil berikut ini:


1. Ibnu Umar  menyebutkan secara marfu’ bahwa Nabi bersabda:
“Wanita yang sedang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup wajah) dan tidak boleh pula memakai kaos tangan.” (HR. Al-Bukhari)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam tafsirnya terhadap surah An-Nur menyatakan, “Ini menunjukkan bahwa niqab dan kaos tangan dulunya sudah dikenal oleh para wanita yang sedang tidak berihram. Ini memberikan konsekuensi bahwa mereka biasa menutup wajah dan tangan mereka.” (At-Tafsirul Kamil, hal 67)


2. Aisyah mengabarkan, “Saudah pernah keluar rumah untuk menunaikan hajatnya setelah turun perintah hijab. Dia adalah seorang yang berperawakan tinggi besar, tidak tersembunyi bagi orang yang mengenalnya. Ketika itu Umar ibnul Khaththab melihat Saudah, ia berkata, ‘Wahai Saudah, demi Allah, engkau tidak tersembunyi bagi kami, maka hendaknya engkau perhatikan bagaimana keluarmu.’ Saudah pun pulang kembali. Ketika itu Rasulullah sedang berada di rumahku. Ketika Saudah masuk, beliau sedang makan malam, di tangan beliau ada tulang. Saudah mengadu, “Wahai Rasulullah, aku tadi keluar untuk menunaikan sebagian hajatku, maka Umar berkata kepadaku demikian dan demikian.” Saat itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada beliau dalam keadaan beliau belum meletakkan tulang tersebut dari tangannya. Beliau bersabda setelahnya, ‘Telah diizinkan kepada kalian untuk keluar guna menunaikan hajat kalian’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


(Saudah adlh wanita yg berperawakan tinggi besar sehingga meskipun terhijab seluruhnya namun Umar dpt mengenalinya, hal itu menandakan bahwa Saudah berhijab seluruh tubuh termasuk menutupi wajahnya-pen)


3. Dalam peristiwa Ifk, Aisyah berkisah dengan panjang, di antaranya ia berkata, “Ketika aku sedang duduk di tempatku berada, rasa kantuk menyerangku hingga aku tertidur. Saat itu Shafwan ibnul Muaththal As-Sulami Adz-Dzakwani berada di belakang pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan mengenaliku, karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab. Aku terbangun dengan ucapan istirja’nya ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


4. Masih penuturan Aisyah tentang hajinya bersama Rasulullah, “Adalah para pengendara melewati kami dalam keadaan kami bersama Rasulullah sedang berihram (muhrim). Bila mereka melewati salah seorang kami (para wanita rombongan Rasulullah), ia menjulurkan jilbabnya dari kepalanya menutupi wajahnya. Bila mereka telah berlalu, kami pun menyingkap wajah kami.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya. Hadits ini hasan dengan syawahidnya. Lihat Al-Irwa’ no. 1023, 1024)


5. Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq menuturkan berita yang sama dengan berita saudarinya Aisyah di atas, ”Kami menutupi wajah kami dari pandangan lelaki (saat berihram)…” (HR. Al-Hakim, ini merupakan salah satu syahid bagi hadits Aisyah di atas)


Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, ulama yang membolehkanmu membuka wajah –dan pendapat mereka ini lemah– mensyaratkan hal tersebut bila aman dari fitnah. Sementara tidak aman dari terjadinya fitnah khususnya di zaman ini, di mana sedikit orang yang baik agamanya di kalangan lelaki dan wanita, sedikit rasa malu, dan banyak terdapat da’i-da’i yang menyeru kepada fitnah. Para wanita membuat fitnah dengan meletakkan beragam perhiasan di wajah mereka, yang hal itu mengajak kepada fitnah. Maka berhati-hatilah engkau, wahai saudariku muslimah, dari hal tersebut. Teruslah mengenakan hijab yang dapat menjagamu dari fitnah dengan izin Allah. Tidak ada seorang pun dari ulama kaum muslimin yang teranggap ilmunya, baik dahulu maupun sekarang, yang memperkenankan apa yang diperbuat para wanita yang membuat fitnah tersebut.” (Al-Mu’minat, hal. 66)

● Menepis Keraguan tentang Wajibnya Menutup Wajah

Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin berkata, “Dibukanya wajah wanita termasuk sebab fitnah dan kejelekan. Perkaranya sebagaimana yang kalian ketahui, tampak sekarang ini di beberapa negeri yang memberi kelonggaran kepada wanita-wanitanya untuk membuka wajah mereka. Apakah para wanita yang diberi kelonggaran untuk membuka wajah itu mencukupkan diri dengan hanya membuka wajahnya? Jawabannya tidak! Bahkan selain membuka wajah, mereka juga membuka kepala, lutut, leher, lengan bawah, betis, dan kadang-kadang dada. Mereka yang memberikan kelonggaran tersebut tidak mampu untuk mencegah wanita-wanita mereka dari melakukan perkara yang mereka sendiri mengakuinya sebagai sesuatu yang mungkar dan haram. Bila dibuka satu pintu kejelekan, niscaya pintu-pintu lain akan menyusul terbuka.”


Asy-Syaikh melanjutkan bahwa akal yang sehat menunjukkan wajibnya wanita menutup wajahnya. Amatlah mengherankan bila ada orang yang mengharuskan wanita menutupi telapak kakinya dan membolehkan wanita menampakkan telapak tangannya, sementara telapak tangan lebih menarik dengan jari-jemari yang lentik dan kuku-kuku yang indah. Demikian pula orang yang mewajibkan wanita menutup telapak kakinya dan membolehkannya membuka wajah, padahal di wajah itu ada alis yang teratur indah, ada bulu mata yang hitam lentik. Secara akal, manakah di antara keduanya yang paling pantas untuk ditutupi? Apakah mungkin syariat Islam yang sempurna ini mewajibkan wanita menutup kakinya, sedangkan wajahnya diperkenankan untuk dibuka? Tentu saja tidak mungkin selama-lamanya!!! Karena lelaki lebih terpaut dan tertarik dengan wajahnya wanita daripada telapak kaki si wanita. Bila ada seorang lelaki hendak melihat wanita yang akan dinikahinya, tentunya yang pertama ingin dilihatnya adalah wajah si wanita, cantikkah? Fitnah wajah wanita bertambah besar di masa ini, karena wajah itu dipoles dan diperindah dengan berbagai make-up yang berwarna merah dan selainnya.


Masih kata Asy-Syaikh, “Saya menyaksikan ucapan sebagian orang belakangan (muta’akkhirin) yang menyatakan bahwa ulama muslimin sepakat wajibnya menutup wajah bagi wanita karena fitnahnya besar. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh penulis Nailul Authar dari Ibnu Ruslan, ia berkata, ‘Karena orang-orang sekarang imannya lemah dan kaum wanita kebanyakannya tidak menjaga kehormatan diri.’ Dengan demikian wajah wanita wajib ditutup. Sampaipun misalnya kami berpendapat boleh (mubah) membuka wajah, niscaya keadaan kaum muslimin pada hari ini mengharuskan pendapat yang mewajibkan menutup wajah. Karena bila sesuatu yang mubah menjadi perantara kepada perkara yang diharamkan, niscaya ia menjadi haram pula sebagai pengharaman wasa’il (sarana).”


Di akhirnya, Asy-Syaikh menegaskan, “Seandainya pun kami berpendapat boleh membuka wajah, niscaya amanah ilmiah dan penjagaan/perhatian yang dibangun di atas amanah mengharuskan agar kami tidak mengatakan bolehnya membuka wajah di masa ini, di mana banyak terjadi fitnah. Kita melarang wanita membuka wajah dalam hal ini termasuk dari bab pengharaman wasa’il. Walaupun sebenarnya dari dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa membuka wajah ini merupakan tahrim maqashid, bukan tahrim wasa’il. “ (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 419, 420)


● Nasihat untuk Wanita yang Mendapat Penentangan dalam Berhijab


Seorang remaja putri pernah mengadukan permasalahannya. Ia mengenakan hijab/menutup wajahnya bila keluar rumah atau berhadapan dengan lelaki ajnabi, namun mendapat penentangan dari keluarganya. Mereka mengolok-oloknya bahkan sampai memukulnya. Mereka melarang anak gadis ini keluar rumah sembari memaksanya agar menanggalkan hijabnya. Mereka memperkenankannya memakai pakaian panjang dengan kerudung tapi tanpa penutup wajah.


Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin memberikan nasihat kepada remaja putri tersebut berikut wanita-wanita lain yang mungkin menghadapi permasalahan yang sama atau hampir sama dengan yang telah disebutkan di atas. Beliau berkata, “Pertanyaan ini mengandung dua masalah:


Pertama: Muamalah keluarga si remaja ini terhadap dirinya merupakan muamalah yang buruk/jelek. Muamalah orang-orang yang bisa jadi mereka bodoh, tidak mengetahui al-haq, atau mereka adalah orang-orang yang sombong dari menerima kebenaran. Muamalah mereka adalah muamalah yang liar, karena al-haq tidak mengiringi mereka dalam muamalah tersebut. Hijab itu bukanlah aib/cacat ataupun cela, bukan pula adab yang jelek. Manusia itu adalah orang merdeka dalam batasan-batasan syariat.


Bila keluarga si remaja tersebut tidak mengetahui bahwa hijab diwajibkan bagi wanita maka mereka wajib diberitahu dengan membawakan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila ternyata mereka tahu tentang kewajiban tersebut akan tetapi mereka berlaku sombong maka musibahnya menjadi lebih besar, sebagaimana ucapan seseorang:
Jika engkau tidak mengetahui maka itu adalah musibah. Dan jika ternyata engkau tahu maka musibah itu lebih besar lagi.


Kedua: Tertuju kepada si remaja. Kami katakan kepadanya, wajib baginya bertakwa kepada Allah l semampunya. Bila memungkinkan baginya memakai hijab tanpa diketahui oleh keluarganya maka ia lakukan. Adapun jika mereka memukulnya dan memaksanya untuk melepas hijab tersebut maka tidak ada dosa baginya. Karena Allah berfirman:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia akan beroleh kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka dia tidak berdosa)…” (QS.An-Nahl: 106)


Dan firman-Nya:
“Dan tidak ada dosa bagi kalian terhadap perkara yang kalian khilaf (jatuh dalam kesalahan tanpa sengaja) di dalamnya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hati kalian.” (QS.Al-Ahzab: 5)


Akan tetapi ia harus bertakwa kepada Allah semampunya.
Apabila keluarganya tidak mengetahui hikmah diwajibkannya hijab bagi wanita maka kita katakan, “Wajib bagi seorang mukmin untuk terikat dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sama saja ia tahu hikmah perintah tersebut ataupun tidak. Karena, terikat dengan perintah itu sendiri merupakan hikmah. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi wanita yag beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (QS.Al-Ahzab: 36)


Karena itulah tatkala Aisyah ditanya, “Kenapa wanita haid hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?” Aisyah menjawab, “Dulu di masa Rasulullah kami ditimpa haid, maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” Aisyah menjadikan perintah semata sebagai hikmah. Bersamaan dengan itu, hikmah disyariatkannya hijab demikian jelas. Karena membiarkan tempat keindahan dan kecantikan wanita terbuka merupakan sebab fitnah. Bila terjadi fitnah akan terjadi maksiat dan perbuatan keji. Bila dibiarkan terjadi kemaksiatan dan kekejian, maka itu merupakan tanda kehancuran dan kebinasaan.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 428-429)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


* (1) Di antara ulama masa kini yang berpendapat sunnah, tidak wajib, adalah Asy-Syaikh Al-Albani. Beliau menjelaskannya dalam dua kitabnya: Jilbabul Mar’ah Al-Muslimah dan Ar-Raddul Mufhim. Beliau juga menyatakan bahwa ini adalah pendapat para ulama terdahulu. (ed)

Sumber: http://www.asysyariah.com/sakinah/niswah/507-pakaian-wanita-dihadapan-non-mahram-niswah-edisi-52.html

Menyibak Bahaya Taqlid

                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah ?, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur asal dia diciptakan. Allah ? menerangkan tentang kepongahan Iblis tatkala ia protes kepada Allah ?, yang artinya:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf : 12).

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ – يُقَلِّدُ) yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang bertaqlid kepada seorang tokoh tertentu, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, adalah beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa sikap taqlid bukanlah sikap yang ilmiah, tidaklah ia muncul kecuali dari kebanyakan orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu.

TAQLID MERUPAKAN SIKAP YANG TERCELA
Allah ? telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa ayat-Nya dan menjelaskan kepada kita sikap taqlid ini adalah kebiasaan kaum musyrikin ketika sampai dakwah para nabi kepada mereka. Allah ? berfirman yang artinya:
“Apakah seandainya telah kami datangkan kepada mereka sebuah kitab (hujjah) sebelum munculnya kesyirikan yang mereka lakukan, kemudian mereka mau berpegang dengannya? Ternyata justru mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendapati nenek moyang kami diatas sebuah prinsip (aqidah yang mereka yakini), maka kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak pendahulu kami. ” (Az Zukhruf : 21)
Dan juga firman Allah, dalam ayat lain yang artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah, mereka menjawab: “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa-apa yang kami dapati dari kebiasaan nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Ayat-ayat ini merupakan dalil terkuat tentang batil dan jeleknya sikap taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang bertaqlid tidaklah mereka beramal dalam perkara agama ini kecuali hanya bertaqlid dengan pendapat para pendahulu yang mereka warisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang da’i yang mengajak mereka untuk keluar dari kesesatan, dan kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini serta mereka warisi dari para pendahulu mereka itu, tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan “katanya dan katanya”-, mereka mengatakan pernyataan yang sama dengan pernyataan orang-orang kafir yang hidup di masa para Rasul.

BAHAYA TAQLID Di antara bahaya taqlid yang bisa disebutkan dalam kajian ini:
1. Menghalangi pelakunya untuk menerima kebenaran.
2. Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena masing-masing pihak mendahulukan pendapat pimpinan atau nenek moyang mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara hendaknya kalian mengembalikan (jawaban atau penyelesaiannya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari akhir , karena sesungguhnya yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ : 59)
3. Sikap taqlid dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Berhati-hatilah mereka yang selalu menyelisihi perintahnya (Rasul) akan menimpa kepada mereka fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nur:63)
4. Sikap taqlid ini akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Ketika orang-orang yang diikuti (dengan taqlid) berlepas diri dari para pengikut mereka, dan mereka telah melihat adanya adzab dan ketika itu segala bentuk hubungan antara mereka terputus sama sekali, dan kemudian berkata para pengikut: “Seandainya kami dapat kembali ke (dunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka (para pemimpin yang dipanuti) sebagaimana mereka berlepas diri dari kami…” (Al Baqarah: 66-167)
Dan juga firman Allah yang artinya:
“Dan alangkah dahsyatnya ketika kamu melihat orang-orang dholim dihadapkan kepada Tuhan-nya sebagian mereka melemparkan tuduhan kepada yang lainnya, berkatalah orang-orang yang lemah (dari kalangan para pengikut) kepada orang-orang yang menyombongkan diri (dari kalangan pemimpin): “Kalau bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman, maka menjawablah orang-orang yang menyombong-kan diri (para pemimpin): “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk ketika petunjuk tersebut datang kepada kalian? Justru kalian sendirilah orang-orang yang berdosa (dengan meninggalkan petunjuk tersebut), maka orang-orang yang lemah menjawab kepada orang-orang yang menyombong-kan diri: “Justru sebenarnya tipu daya kalianlah (yang secara terus menerus) malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru supaya kami mengingkari Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tersebut tatkala mereka semua melihat adzab.. .” (As Saba’: 31-34)

UCAPAN PARA IMAM TENTANG TERCELANYA TAQLID
Al Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, ”Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana dasar hujjah yang Kami ambil.” Dalam riwayat lainnya, beliau mengatakan ,” Haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai, untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, pendapat yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan pendapat tersebut).
Al Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka telitilah pendapatku, apabila sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang shohih dari Rasulullah ? dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu baik ketika saya masih hidup ataupun sudah meninggal dunia.”
Al Imam Ahmad mengatakan, “Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan taqlid kepada Malik atau Asy Syafi’i, atau Al Auza’i, atau (Sufyan) Ats Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambil.”
Al-‘Allamah Al-Ma’shumi berkata: “Bahwa termasuk pergeseran yang terjadi dalam agama adalah adanya prinsip dan kewajiban bahwasanya seorang muslim harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan prinsip bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis di dalam memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah ? dari hal itu.”
Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwasanya seseorang harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu, sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi. Dan sesungguhnya atau tujuan pribadi madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad ? yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيَّيْنَ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing…” (Shahih, HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).
Allah ? berfirman yang artinya:
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah.” (Al-Hasyr : 7).
Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah ?.
Maka setelah kita melihat bahaya taqlid tidak semestinya bagi setiap muslim untuk bertaqlid dalam perkara agama dan hendaknya tidak beramal suatu amalan tertentu kecuali berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang dipahami oleh para sahabat Nabi ? serta menjauhkan diri dari cara bersikap orang-orang kafir ketika datang kepada mereka sebuah hujjah.
Wallahu a’lam bish-shawab

http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/menyibak-bahaya-taqlid/

Ketika Sunnah Nabi Di Olok-Olok

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penulis :Ustad Qomar Suaidi

Istihza’ (mengolok-olok) Sunnah Nabi berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah perbuatan besar namun dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang dianggap lelucon yang menggelikan sehingga seolah-olah ketika melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung jawab apapun. Padahal perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat berbahaya dalam segala keadaannya.
Terjadi di zaman Nabi ketika beliau bersama kaum muslimin pergi menuju perang Tabuk maka dalam sebuah majlis seseorang berkata: “Kami tidak melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan penakut seperti para pembaca Al Qur’an kita itu (dia maksudkan para sahabat Nabi).” Maka seseorang menanggapinya: “Kamu dusta, bahkan kamu adalah munafik. Saya benar-benar akan sampaikan kepada Rasulullah.” Maka berita itu sampai kepada Rasulullah dan turunlah ayat Al Qur’an kepada beliau. Abdullah bin Umar ? mengatakan: “Saya melihat orang itu bergelanyut pada tali unta Rasulullah dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan: “Wahai Rasulullah kami hanya main-main.” Namun Rasulullah terus membacakan ayat: “Apakah dengan Allah , ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kalian memperolok-olok? Jangan kalian cari udzur, kalian telah kafir setelah iman kalian” (At Taubah: 65-66) [Hasan, HR Ibnu Abi Hatim dan Ath Thabari dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, 108]
Mengomentari masalah ini Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan: “Para ulama telah bersepakat atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu darinya, maka barangsiapa yang mengolok-olok Allah atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau Agama-Nya, maka dia telah kafir secara ijma’ (kesepakatan para ulama) walaupun main-main dan tidak memaksudkan mengolok-oloknya .” (Taisir Al ‘Azizil Hamid hal. 617)
Hal yang serupa ditegaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, katanya: “Barangsiapa mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang shahih atau melecehkannya atau merendahkannya, maka dia telah kafir terhadap Allah Yang Maha Besar.” (Taisir Al Karimir Rohman, 343)
Bahkan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Barangsiapa mengolok-olok salah satu dari As Sunnah berarti ia mengolok-olok semuanya, karena yang terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas-red) bahwa mereka mengolok-olok Rasul dan para shahabatnya sehingga turunlah ayat ini. Kalau begitu mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid, 39)
Lalu bagaimana kalau mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu apakah termasuk dalam hukum ini ?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjelaskan masalah ini, katanya: “Yang benar dalam masalah ini adalah dirinci. Kalau mengolok-olok ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya maka yang demikian merupakan kemurtadan, tidak ada keraguan dalam masalah itu karena itu adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Alloh agungkan dan mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya. Adapun mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain seperti pakaian atau ambisinya terhadap dunia atau kebiasaannya yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat, atau sebab yang serupa dengan itu maka yang semacam ini tidak sampai murtad karena perbuatannya ini tidak berkaitan dengan agama tetapi berkaitan dengan perkara lain.” (footnote Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz terhadap Fathul Majid hal. 526)
Bila demikian bahayanya mencela Sunnah Nabi, maka para ulama menjadikan ukuran hidayah dengan istiqomahnya seseorang di atas As Sunnah. Sebaliknya mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu diragukan keistiqomahannya di atas hidayah.
Al Imam Al Barbahari mengatakan: “Jika kamu dengar seseorang mencela As Sunnah atau menolak As Sunnah atau mencari selain As Sunnah, maka tuduhlah dia pada keislamannya dan jangan kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, hal. 51, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Abul Qosim Al Ashbahani mengatakan: “Ahlus Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencela As Sunnah maka semestinya ia perlu diragukan keislamannya.” (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Ayyub As Sikhtiyani berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan As Sunnah lalu dia mengatakan: “Tinggalkan kami dari yang ini dan beri tahu kami degan Al Qur’an, maka ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, hal. 137)
Orang yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat berbahaya sehingga Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi maka dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Tabaqat Al Hanabilah, 2/15, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Semestinya ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai dengan Sunnah Nabi, jangan sampai kita mengolok-olok atau menghina, merendahkan, mengejek, atau menjadikannya bahan tertawaan atau semacamnya. Walaupun As Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya. Mestinya kita mendukung dan meminta ampun kepada Allah karena belum bisa melaksanakannya, bukan malah mengejek.
Semoga Allah selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang ia ridhai dan cintai.

Sikap Ulama Salaf Terhadap Penentang Sunnah
Para ulama Salaf (shahabat Rasulullah dan orang yang mengikuti jejak mereka) adalah orang-orang yang sangat tinggi ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai nasehat dan peringatan. Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, diantaranya:
Ketika Abdullah bin Umar mengatakan, saya mendengar Nabi bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika mereka minta ijin ke sana”
maka Bilal bin Abdillah mengatakan: “Demi Allah aku sungguh-sungguh akan melarang mereka.” Maka Abdullah bin Umar menghadap kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan : “Saya tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.”). Dan mengatakan, aku katakan kepadamu ”Bersabda Rasulullah“ lalu kamu katakan “Demi Allah aku akan melarang mereka ?!” (Shahih, HR Muslim no.988)
Kejadian lain dialami oleh sahabat Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya tidak mengapa ?!”. Maka beliau berkata: “Demi Allah jangan sampai ada satu atap menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR Ad Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20 no. 18, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, Ta’dhimus Sunnah, 37). Demikian pula yang dialami oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri dengan seorang penyangkal As Sunnah.
Begitu tegas sikap para shahabat Nabi terhadap orang-orang yang menyangkal hadits. Hal ini tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan tentang bahayanya sikap penentangan semacam ini, serta dibarengi dengan kecemburuan yang tinggi terhadap As Sunnah. Sepintas lalu sikap mereka itu tampak begitu keras atau kaku dan tak kenal kompromi, dan barangkali dipandang oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tetapi cobalah kita menengok sejenak bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para shahabat Nabi, orang-orang terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya ilmu tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah dari dalam hati sanubari dan karena tidak memahami bahayanya perbuatan lancang semacam ini.
Allah ? berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga didapati hakekat-hakekat permasalahan telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyeliputi kalian ? Bahkan manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan Sunnah) sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: “Sunnah telah ditinggalkan.” Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: ”Kapan itu terjadi ?” Diapun menjawab: “Jika ulama kalian telah meninggal dunia, pembaca Al Qur’an semakin banyak tapi orang-orang yang paham agama semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur semakin sedikit, dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad Darimi: 1/64 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan)

http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/ketika-sunnah-nabi-diolok-olok/

Kesudahan Bagi Para Penentang Sunnah Nabi

                                            

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ



Di dalam Al Qur’an Allah banyak menceritakan tentang adzab yang menimpa kaum-kaum terdahulu. Tentu saja cerita-cerita tersebut bukan sekedar cerita belaka. Namun di balik itu semua hendaknya kita dapat mengambil sebuah pelajaran yang berharga, ternyata adzab tersebut terjadi karena penentangan mereka terhadap sunnah (ajaran) para Rasul.
Allah pun memberikan ancaman-Nya kepada para penentang sunnah Rasul-Nya yang terakhir yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, di dalam firman-Nya yang artinya:
“Berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah dia (Rasul) akan menimpa kepadanya fitnah atau adzab yang pedih”. (An Nuur: 63)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hendaklah takut siapa saja yang menyelisihi syari’at Rasul secara lahir maupun batin untuk tertimpa fitnah dalam hatinya berupa kekafiran, kemunafikan, bid’ah atau tertimpa adzab yang pedih di dunia dengan dihukum mati, had, dipenjara atau yang lainnya.”
Maka tidak diperkenankan bagi seorang muslim menentang sunnah Rasulullah ? karena mengikuti ucapan seseorang walaupun orang itu memiliki kedudukan yang sangat mulia, sebagaimana Ibnu Abbas ? berkata: “Sungguh aku sangat khawatir hujan batu akan menimpa kalian, aku mengatakan: “Telah berkata Rasulullah”, sedangkan kalian mengatakan: “Telah berkata Abu Bakar dan Umar”. (H.R Ahmad)
Lallu bagaimana kiranya dengan orang-orang yang menolak sunnah (perintah) Rasulullah ? dengan sekedar mengikuti perkataan pimpinan organisasi, partai, adat, atau AD/AR sebuah organisasi ?

BAHAYA MENENTANG SUNNAH NABI
Diantara bahaya-bahaya yang bisa menimpa seseorang yang menetang sunnah Rasul ? adalah:
1. Terjerumus ke dalam kesesatan dan dimasukkan ke jahanam. Allah berfirman yang artinya:
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mukminin, maka Kami biarkan ia berpaling ke dalam kesesatan yang telah dia tempuh sendiri lalu Kami masukkan dia ke dalam jahannam, sedangkan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa’: 115)
2. Akan di usir dari Haudh (telaga) Rasulullah di hari kiamat nanti, padahal barangsiapa yang meminum darinya tidak akan haus selama-selamanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim.
3. Tertolaknya amalan ibadah. Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (tertolak) amalan kalian , sedangkan kalian tidak menyadari”. (Al-Hujurat: 2)
Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Lalu bagaimana dengan orang yang mendahulukan selain perkataan, dan petunjuk Rasulullah ?! Bukankah, lebih akan terhapus amalnya sedangkan ia tidak menyadarinya ?!” (Al Waabilus Shoyyib: 24)
4. Menggugurkan dan membatalkan keimanan. Allah berfirman yang artinya;
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa berat hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ( An Nisaa’: 65)

BENTUK-BENTUK PENENTANGAN TERHADAP SUNNAH RASULULLAH Diantara bentuk penentangan terhadap sunnah Rasulullah ? yang bisa disebutkan dalam kajian kali in adalah:
1. Mencukupkan Al Qur’an tanpa petunjuk As Sunnah, sebagaimana yang dilakukan sekte Qur’aniyyun yang lebih pantas disebut sekte Inkarus Sunnah, hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah , yang artinya:
“Dan segala perkara yang diperintahkan Rasul (Sunnah) maka ikutilah dan segala perkara yang dia larang maka jauhilah”. (Al Hasyr: 7)
Rasulullah ? sendiri telah memberitakan akan munculnya suatu kelompok yang meremehkan sunnah (hadits)nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Miqdam bin Ma’di Karib, Rasulullah ? bersabda:
“Dikhawatirkan seseorang duduk bertelekan di atas sofanya (dalam keadaan sombong), ketika dibacakan sebuah hadits dariku dia mengatakan: “Cukup antara kami dan kalian Kitabullah (Al Qur’an). Apa yang kita dapati di dalamnya suatu yang halal maka kita halalkan dan suatu yang haram maka kita haramkan. Beliau mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya apa yang Rasulullah haramkan seperti apa yang Allah haramkan. (H.R Ibnu Majah)
2. Menolak hadits-hadits ahad selain mutawatir dalam masalah aqidah walaupun hadis-hadits tersebut shohih, sebagaimana yang disebarkan oleh sekte Mu’tazilah. Faham ini berkembang ketika masuknya ilmu filsafat di tengah-tengah umat Islam.
3. Mendahulukan akal di atas sunnah Rasulullah, seperti yang dilakukan Mu’tazilah, Aqlaniyyun ( para pendewa akal), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan para ahli filsafat. Allah melarang perbuatan mereka dalam firman-Nya yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan ucapan siapapun terhadap ucapan Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hujurat: 1)
4. Taqlid terhadap madzhab, golongan, partai, atau adat tertentu sebagaimana kebiasaan orang-orang musyrikin terdahulu. Allah mencela sifat yang demikian dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan jika dikatakan kepada mereka (orang-orang musyrikin): “Ikutilah apa yang telah Allah turunkan (Al Qur’an dan As Sunnah)”, maka mereka menjawab: “Bahkan kami tetap mengikuti apa yang telah ditempuh nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

SIKAP PARA SAHABAT TERHADAP PENENTANG SUNNAH RASUL
Berkata Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu: “Janganlah engkau meninggalkan satu amalan pun yang dilakukan Rasulullah, kecuali engkau beramal dengannya. Sungguh aku sangat khawatir, jika engkau meninggalkan amalan yang diperintahkan oleh Rasulullah, maka engkau akan menyimpang (dari al haq)”.
Dari Abu Qatadah berkata: “Kami pernah di sisi ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu dalam suatu rombongan dan di antara kami terdapat Busyair bin Ka’ab. Maka pada suatu hari ‘Imran berbicara kepada kami, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sifat malu itu baik semuanya”. Maka Busyair bin Ka’ab berkata: “Sesungguhnya kami mendapati di sebagian kitab atau hikmah bahwa dari malu itu ada yang merupakan ketentraman dan penghormatan kepada Allah, tetapi pada malu itu juga ada kelemahan.” Maka ‘Imran pun marah sampai merah kedua matanya dan berkata: “Tidakkah kamu melihat aku, aku mengajak bicara kepadamu dengan hadits dari Rasulullah, sedangkan kamu menentangnya!!” (Muttafaqun ‘alaihi)

BEBERAPA FAKTA TENTANG ADZAB ALLAH DI DUNIA BAGI PARA PENENTANG SUNNAH
1. Dari Salamah bin Al-Akwa’, bahwasanya seseorang pernah makan di sisi Rasulullah dengan tangan kirinya. Maka beliau berkata: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang menjawab: “Saya tidak bisa.” (Maka) beliau berkata: “Kamu tidak akan bisa (selamanya).” Tidak ada yang menghalangi dia (untuk makan dengan tangan kanannya) melainkan sifat sombong. Berkata (Salamah bin Al-Akwa’): “Maka orang itu pun (akhirnya) tidak bisa mengangkat tangan (kanan)nya ke mulutnya (selamanya).” (HR. Muslim no.2021)
2. Dari Abu Yahya As-Saajii dia berkata: “Kami berjalan di lorong-lorong kota Bashrah menuju ke rumah salah seorang Ahli Hadits, maka aku mempercepat jalanku dan ada seseorang di antara kami yang jelek sesat pemahaman agamanya, berkata: “Angkatlah kaki-kaki kalian dari sayap-sayapnya para Malaikat, jangan kalian mematahkannya”, (seperti orang yang istihza`/memperolok-olok)”, maka (akhirnya) kaki orang tersebut tidak bisa melangkah dari tempatnya sehingga kering kedua kakinya dan kemudian roboh.” (Bustaanul ‘Aarifiin, Al-Imam An-Nawawi hal.92). Maksud dari orang tersebut hendak mengolok-olok hadits Rasulullah ? yang diriwayatkan sahabat Abu Darda’ ?, bahwa Rasulullah ? bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقُا إِلَى الْجَنَّةِ، وَ أّنَ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنَحَتِهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Jannah (surga) dan sesungguhnya para Malaikat mengkaparkan sayap-sayapnya untuk seorang penuntut ilmu ketika mereka suka kepada apa yang ia lakukan.” (H.R. Abu dawud dan At Titmidzi)
PENUTUP
Sehingga tidak pantas bagi setiap muslim untuk tidak mengindahkan sunnah Nabinya, apalagi sampai menghinakannya setelah melihat bagaimana pedihnya akibat orang-orang yang menentang As Sunnah sebagaimana yang diberitakan Al Qur’an, atau hadits-hadits Nabi serta bagaimana sikap para sahabat kepada mereka.
Wallahu ‘a’lam

HADITS-HADITS LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman, Rasulullah bertanya:
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِيْ كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي
“Dengan apa kamu memutuskan suata perkara? Mu’adz menjawab: “Saya memutuskan dengan Kitabullah (Al Qur’an). Rasulullah bertanya: “Kalau seandainya tidak ada di dalam Al Qur’an? Mu’adz berkata: “Saya memutuskan dengan As Sunnah? Rasulullah bertanya: “Kalau seandainya tidak ada? Mu’adz berkata: “Saya berijtihad dengan pendapatku”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan yang lainnya)
Hadits ini lemah karena terdapat tiga illat (sebab kelemahan):
1. Yang benar adalah mursal, hadits ini bukan datang dari Mu’adz akan tetapi datang dari murid-murid Mu’adz.
2. Tidak diketahui siapa murid-murid Mu’adz tersebut (Majhul) ?.
3. Ada seorang rawi yang bernama Al Harits bin Amr. Ibnu Hazm dan Adz Dzahabi berkata: “Dia adalah seorang yang majhul (tidak diketahui siapa dia ?, dan tidak ada satu pun yang meriwayatkan hadits ini kecuali dari jalannya).
Sehingga hadits ini dilemahkan para Ahlu Hadits diantaranya: Al Imam Al Bukhari, At Tirmidzi, Ibnul Jauzi, Ibnu Hazm, Al Hafizh Ibnu Hajar dan yang lainnya. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah no. 881, karya Asy Syaikh Al Albani)

http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/kesudahan-bagi-para-penentang-sunnah-nabi/

NAZHOR : Melihat Calon Pasangan dan Tipsnya

                                
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Adab-Adab Melamar

Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma bercerita:

“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”.17

Imam Al-Bukhary memberikan judul bab untuk kisah ini dengan ucapan beliau, Bab: (Bolehnya) seseorang menawarkan putri atau saudara perempuannya (untuk dinikahi) kepada orang-orang yang baik”.

Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya. Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata, “Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholeh”, lalu beliau membawakan hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi) …”18.

Sisi pendalilan dari kisah ini adalah adanya taqrir (persetujuan) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap perbuatan wanita ini.

Peringatan:

Hendaknya hal ini19 tidak dilakukan kecuali oleh seorang wanita yang merasa aman dari fitnah demikian pula pihak lelakinya, sebagaimana amannya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan shahabiyah di atas dari fitnah. Dan di zaman yang penuh kerusakan seperti ini dimanakah kita bisa mendapatkan lelaki dan wanita yang merasa aman dari fitnah terhadap lawan jenisnya?! Karenanya, walaupun asal hal ini dibolehkan, akan tetapi di zaman ini hendaknya seorang wanita meninggalkan perbuatan seperti ini karena tidak jarang -bahkan inilah kenyataannya- kedua belah pihak terjatuh ke dalam fitnah yang besar tatkala seorang wanita menawarkan dirinya kepada lelaki yang dianggap sholih.

Fitnahnya bisa terjadi dari beberapa sisi:

1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal kerusakan akan muncul.

2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki.

3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.

Berikut penyebutan adab-adab dalam pelamaran yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak:

1. Disunnahkan nazhor (memandang/melihat) kepada calon pinangan.

Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya seseorang yang mau menikahi seorang wanita untuk memandang kepadanya”.20

Berikut beberapa dalil yang menunjukkan disunnahkannya bagi kedua belah pihak untuk saling melihat sebelum meneruskan pelamaran:

1. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”.

Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.21.

2. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:

“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”22.

Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.

3. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”23.

Beberapa perkara penting yang berkaitan dengan nazhor:

1. Syarat-syarat dibolehkannya nazhor:

(a). Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.

(b). Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.

Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hokum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadapwaita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 30-31)

Imam Ibnul Qoththon Al-Fasy berkata, “Jika sang pelamar wanita (pihak lelaki) telah mengetahui bahwa wanita tersebut tidak mau menikah dengannya dan bahwa wali wanita tersebut tidak menerima lamarannya, maka tidak boleh ketika itu dia (melanjutkan) memandang, walaupun dia tadi telah melamar. Karena dia hanya diperbolehkan untuk memandangnya sebagai sebab dari berlangsungnya pernikahan, maka jika dia sudah yakin akan penolakannya (wanita atau walinya) maka kembalilah (hukum) memandang (wanita yang bukan mahram) kepada hukum asal”.24

(c). Tentunya nazhor ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.

Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang dari khalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”25.

2. Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat.

Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”26.

Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).

Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.

Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.

3. Hukum nazhor tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.

Yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Malik bahwasanya boleh melakukan nazhor kepada calon pinangan dengan seizin atau tanpa izin dari wanita tersebut, hal ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’27. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.28

2. Berpenampilan sederhana dalam melamar.

Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.

Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu29.

3. Boleh bagi wanita yang akan dinazhor untuk berhias sekedarnya.

Dari Subai’ah Al-Aslamiyah -radhiallahu ‘anha- bahwa dulunya beliau adalah istri dari Sa’ad bin Khaulah lalu suaminya wafat30 dalam haji wada’ dan beliau (suaminya) adalah badry (pasukan perang badar). Dan beliau melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suami beliau. Maka setelah itu, beliau ditemui oleh Abus Sanabil bin Ba’kak tatkala beliau sudah selesai nifas dalam keadaan beliau (Subai’ah) memakai celak mata - dalam sebagian riwayat, maka salah seorang dari kerabat suamiku menemuiku dalam keadaan saya sudah memakai khidhob dan berhias”-. Maka dia (Abus Sanabil) berkata kepadanya, “Kuasailah dirimu -atau ucapan semisalnya- mungkin kamu sudah mau menikah lagi, sesungguhnya waktunya adalah 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suamimu. Beliau (Subai’ah) berkata, “Maka saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan saya ceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, maka beliau bersabda:

“Engkau telah halal (untuk menikah) ketika engkau melahirkan”31.

‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”32.

4. Beristikhoroh.

Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:

“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”33.

Imam An-Nasa`iy memberikan judul bab untuk hadits ini dalam Sunannya (6/79),

“Sholatnya seorang wanita jika dia dilamar dan dia beristikhoroh kepada Tuhannya”.

Adapun kaifiat dan do’a sholat istikhoroh, maka hal ini disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَأَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.

“Jika salah seorang di antara kalian sudah berniat melakukan suatu perkara, maka hendaknya dia melakukan sholat 2 raka’at yang bukan sholat wajib, setelah sholat hendaknya dia bedo’a, [“Ya Allah, saya beristikhoroh kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta kemampuan kepad-Mu dengan kemampuan-Mu, dan saya meminta keutamaan-Mu yang Maha Agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang menakdirkan dan saya tidak menakdirkan, Engkau Maha Mengetahui sedang sayatidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku untuk agamaku, untuk kehidupanku, dan untuk akhir perkaraku - atau beliau berkata, “untuk perkaraku cepat atau lambat”- maka takdirkanlah hal itu untukku,permudahlah untukku, kemudian berkahilah aku di dalamnya”. Jabir berkata, “Kemudian dia menyebutkan keperluannya”34.

5. Sederhana dalam mahar.

Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.

Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya 4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:

“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …”35.

Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak.

Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut36.

6. ???

(Sumber : http://www.al-atsariyyah.com/ versi pdf dan disusun kembali untuk http://kaahil.wordpress.com/)

Catatan :

17 (HR. Al-Bukhary (9/481-Al-Fath)

18 HR. Al-Bukhary (2/246)

19 Yakni seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholih.

20 Al-Mughny (9/489)

21 HR. Abu Daud (2082) dengan sanad yang hasan.

22 HR. At-Tirmidzy (1087), An-Nasa`iy (6/69), dan Ibnu Majah (1866). Potongan pertama dari hadits dikuatkan

dalam riwayat Muslim (2/1040) dari hadits Abu Hurairah.

23 HR. Ahmad (5/424) dengan sanad yang shohih

24 An-Nazhor fii Ahkamin Nazhor karya beliau hal. 391.

25 Riwayat At-Tirmidzy (2165) dari ‘Umar bin Khoththob -radhiallahu ‘anhu- dan Ibnu Majah (2/64) dari Jabir bin Samurah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (430).

26 Al-Mughny (9/490)

27 (16/138) cet. Darul Fikr.

28 Al-Mughny (9/489)

29 Riwayat ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/157) dengan sanad yang shohih.

30 Suami beliau wafat sedangkan beliau dalam keadaan hamil, sebagaimana yang nampak dari kisah.

31 Riwayat Ahmad (6/432) dengan sanad yang shohih.

32 Adabul Khitbah waz Zifaf hal. 23.

33 Riwayat Muslim (2/1048) dari sahabat Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.

34 Riwayat Al-Bukhary (3/58-Al-Fath)

35 Riwayat Muslim (2/1040) dari sahabat Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-.

36 Hal ini disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa`idy -radhiallahu ‘anhuma- riwayat Al-Bukhary (3/369) dan Muslim (2/1041)

جزاك الله خيرا وبارك الله فيكم. “Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog Kami.
thank you