بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)

Meniti Jalan Salaf

product

dzulqarnain.net

Detail | Pencari Ilmu

Tegar Di Atas Sunnah

product

Majalah Salafy

Detail | Profil

Profil Ummu Ulfa

product

Profil Penulis

Detail | da'watuna

Menyibak Bahaya Taqlid

                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah ?, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur asal dia diciptakan. Allah ? menerangkan tentang kepongahan Iblis tatkala ia protes kepada Allah ?, yang artinya:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf : 12).

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ – يُقَلِّدُ) yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang bertaqlid kepada seorang tokoh tertentu, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, adalah beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa sikap taqlid bukanlah sikap yang ilmiah, tidaklah ia muncul kecuali dari kebanyakan orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu.

TAQLID MERUPAKAN SIKAP YANG TERCELA
Allah ? telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa ayat-Nya dan menjelaskan kepada kita sikap taqlid ini adalah kebiasaan kaum musyrikin ketika sampai dakwah para nabi kepada mereka. Allah ? berfirman yang artinya:
“Apakah seandainya telah kami datangkan kepada mereka sebuah kitab (hujjah) sebelum munculnya kesyirikan yang mereka lakukan, kemudian mereka mau berpegang dengannya? Ternyata justru mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendapati nenek moyang kami diatas sebuah prinsip (aqidah yang mereka yakini), maka kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak pendahulu kami. ” (Az Zukhruf : 21)
Dan juga firman Allah, dalam ayat lain yang artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah, mereka menjawab: “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa-apa yang kami dapati dari kebiasaan nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Ayat-ayat ini merupakan dalil terkuat tentang batil dan jeleknya sikap taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang bertaqlid tidaklah mereka beramal dalam perkara agama ini kecuali hanya bertaqlid dengan pendapat para pendahulu yang mereka warisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang da’i yang mengajak mereka untuk keluar dari kesesatan, dan kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini serta mereka warisi dari para pendahulu mereka itu, tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan “katanya dan katanya”-, mereka mengatakan pernyataan yang sama dengan pernyataan orang-orang kafir yang hidup di masa para Rasul.

BAHAYA TAQLID Di antara bahaya taqlid yang bisa disebutkan dalam kajian ini:
1. Menghalangi pelakunya untuk menerima kebenaran.
2. Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena masing-masing pihak mendahulukan pendapat pimpinan atau nenek moyang mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara hendaknya kalian mengembalikan (jawaban atau penyelesaiannya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari akhir , karena sesungguhnya yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ : 59)
3. Sikap taqlid dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Berhati-hatilah mereka yang selalu menyelisihi perintahnya (Rasul) akan menimpa kepada mereka fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nur:63)
4. Sikap taqlid ini akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Ketika orang-orang yang diikuti (dengan taqlid) berlepas diri dari para pengikut mereka, dan mereka telah melihat adanya adzab dan ketika itu segala bentuk hubungan antara mereka terputus sama sekali, dan kemudian berkata para pengikut: “Seandainya kami dapat kembali ke (dunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka (para pemimpin yang dipanuti) sebagaimana mereka berlepas diri dari kami…” (Al Baqarah: 66-167)
Dan juga firman Allah yang artinya:
“Dan alangkah dahsyatnya ketika kamu melihat orang-orang dholim dihadapkan kepada Tuhan-nya sebagian mereka melemparkan tuduhan kepada yang lainnya, berkatalah orang-orang yang lemah (dari kalangan para pengikut) kepada orang-orang yang menyombongkan diri (dari kalangan pemimpin): “Kalau bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman, maka menjawablah orang-orang yang menyombong-kan diri (para pemimpin): “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk ketika petunjuk tersebut datang kepada kalian? Justru kalian sendirilah orang-orang yang berdosa (dengan meninggalkan petunjuk tersebut), maka orang-orang yang lemah menjawab kepada orang-orang yang menyombong-kan diri: “Justru sebenarnya tipu daya kalianlah (yang secara terus menerus) malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru supaya kami mengingkari Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tersebut tatkala mereka semua melihat adzab.. .” (As Saba’: 31-34)

UCAPAN PARA IMAM TENTANG TERCELANYA TAQLID
Al Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, ”Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana dasar hujjah yang Kami ambil.” Dalam riwayat lainnya, beliau mengatakan ,” Haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai, untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, pendapat yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan pendapat tersebut).
Al Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka telitilah pendapatku, apabila sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang shohih dari Rasulullah ? dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu baik ketika saya masih hidup ataupun sudah meninggal dunia.”
Al Imam Ahmad mengatakan, “Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan taqlid kepada Malik atau Asy Syafi’i, atau Al Auza’i, atau (Sufyan) Ats Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambil.”
Al-‘Allamah Al-Ma’shumi berkata: “Bahwa termasuk pergeseran yang terjadi dalam agama adalah adanya prinsip dan kewajiban bahwasanya seorang muslim harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan prinsip bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis di dalam memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah ? dari hal itu.”
Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwasanya seseorang harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu, sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi. Dan sesungguhnya atau tujuan pribadi madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad ? yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيَّيْنَ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing…” (Shahih, HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).
Allah ? berfirman yang artinya:
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah.” (Al-Hasyr : 7).
Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah ?.
Maka setelah kita melihat bahaya taqlid tidak semestinya bagi setiap muslim untuk bertaqlid dalam perkara agama dan hendaknya tidak beramal suatu amalan tertentu kecuali berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang dipahami oleh para sahabat Nabi ? serta menjauhkan diri dari cara bersikap orang-orang kafir ketika datang kepada mereka sebuah hujjah.
Wallahu a’lam bish-shawab

http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/menyibak-bahaya-taqlid/

Ketika Sunnah Nabi Di Olok-Olok

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penulis :Ustad Qomar Suaidi

Istihza’ (mengolok-olok) Sunnah Nabi berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah perbuatan besar namun dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang dianggap lelucon yang menggelikan sehingga seolah-olah ketika melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung jawab apapun. Padahal perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat berbahaya dalam segala keadaannya.
Terjadi di zaman Nabi ketika beliau bersama kaum muslimin pergi menuju perang Tabuk maka dalam sebuah majlis seseorang berkata: “Kami tidak melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan penakut seperti para pembaca Al Qur’an kita itu (dia maksudkan para sahabat Nabi).” Maka seseorang menanggapinya: “Kamu dusta, bahkan kamu adalah munafik. Saya benar-benar akan sampaikan kepada Rasulullah.” Maka berita itu sampai kepada Rasulullah dan turunlah ayat Al Qur’an kepada beliau. Abdullah bin Umar ? mengatakan: “Saya melihat orang itu bergelanyut pada tali unta Rasulullah dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan: “Wahai Rasulullah kami hanya main-main.” Namun Rasulullah terus membacakan ayat: “Apakah dengan Allah , ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kalian memperolok-olok? Jangan kalian cari udzur, kalian telah kafir setelah iman kalian” (At Taubah: 65-66) [Hasan, HR Ibnu Abi Hatim dan Ath Thabari dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, 108]
Mengomentari masalah ini Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan: “Para ulama telah bersepakat atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu darinya, maka barangsiapa yang mengolok-olok Allah atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau Agama-Nya, maka dia telah kafir secara ijma’ (kesepakatan para ulama) walaupun main-main dan tidak memaksudkan mengolok-oloknya .” (Taisir Al ‘Azizil Hamid hal. 617)
Hal yang serupa ditegaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, katanya: “Barangsiapa mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang shahih atau melecehkannya atau merendahkannya, maka dia telah kafir terhadap Allah Yang Maha Besar.” (Taisir Al Karimir Rohman, 343)
Bahkan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Barangsiapa mengolok-olok salah satu dari As Sunnah berarti ia mengolok-olok semuanya, karena yang terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas-red) bahwa mereka mengolok-olok Rasul dan para shahabatnya sehingga turunlah ayat ini. Kalau begitu mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid, 39)
Lalu bagaimana kalau mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu apakah termasuk dalam hukum ini ?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjelaskan masalah ini, katanya: “Yang benar dalam masalah ini adalah dirinci. Kalau mengolok-olok ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya maka yang demikian merupakan kemurtadan, tidak ada keraguan dalam masalah itu karena itu adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Alloh agungkan dan mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya. Adapun mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain seperti pakaian atau ambisinya terhadap dunia atau kebiasaannya yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat, atau sebab yang serupa dengan itu maka yang semacam ini tidak sampai murtad karena perbuatannya ini tidak berkaitan dengan agama tetapi berkaitan dengan perkara lain.” (footnote Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz terhadap Fathul Majid hal. 526)
Bila demikian bahayanya mencela Sunnah Nabi, maka para ulama menjadikan ukuran hidayah dengan istiqomahnya seseorang di atas As Sunnah. Sebaliknya mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu diragukan keistiqomahannya di atas hidayah.
Al Imam Al Barbahari mengatakan: “Jika kamu dengar seseorang mencela As Sunnah atau menolak As Sunnah atau mencari selain As Sunnah, maka tuduhlah dia pada keislamannya dan jangan kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, hal. 51, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Abul Qosim Al Ashbahani mengatakan: “Ahlus Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencela As Sunnah maka semestinya ia perlu diragukan keislamannya.” (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Ayyub As Sikhtiyani berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan As Sunnah lalu dia mengatakan: “Tinggalkan kami dari yang ini dan beri tahu kami degan Al Qur’an, maka ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, hal. 137)
Orang yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat berbahaya sehingga Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi maka dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Tabaqat Al Hanabilah, 2/15, Ta’dhimus Sunnah, hal. 29)
Semestinya ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai dengan Sunnah Nabi, jangan sampai kita mengolok-olok atau menghina, merendahkan, mengejek, atau menjadikannya bahan tertawaan atau semacamnya. Walaupun As Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya. Mestinya kita mendukung dan meminta ampun kepada Allah karena belum bisa melaksanakannya, bukan malah mengejek.
Semoga Allah selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang ia ridhai dan cintai.

Sikap Ulama Salaf Terhadap Penentang Sunnah
Para ulama Salaf (shahabat Rasulullah dan orang yang mengikuti jejak mereka) adalah orang-orang yang sangat tinggi ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai nasehat dan peringatan. Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, diantaranya:
Ketika Abdullah bin Umar mengatakan, saya mendengar Nabi bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika mereka minta ijin ke sana”
maka Bilal bin Abdillah mengatakan: “Demi Allah aku sungguh-sungguh akan melarang mereka.” Maka Abdullah bin Umar menghadap kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan : “Saya tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.”). Dan mengatakan, aku katakan kepadamu ”Bersabda Rasulullah“ lalu kamu katakan “Demi Allah aku akan melarang mereka ?!” (Shahih, HR Muslim no.988)
Kejadian lain dialami oleh sahabat Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya tidak mengapa ?!”. Maka beliau berkata: “Demi Allah jangan sampai ada satu atap menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR Ad Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20 no. 18, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, Ta’dhimus Sunnah, 37). Demikian pula yang dialami oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri dengan seorang penyangkal As Sunnah.
Begitu tegas sikap para shahabat Nabi terhadap orang-orang yang menyangkal hadits. Hal ini tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan tentang bahayanya sikap penentangan semacam ini, serta dibarengi dengan kecemburuan yang tinggi terhadap As Sunnah. Sepintas lalu sikap mereka itu tampak begitu keras atau kaku dan tak kenal kompromi, dan barangkali dipandang oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tetapi cobalah kita menengok sejenak bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para shahabat Nabi, orang-orang terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya ilmu tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah dari dalam hati sanubari dan karena tidak memahami bahayanya perbuatan lancang semacam ini.
Allah ? berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga didapati hakekat-hakekat permasalahan telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyeliputi kalian ? Bahkan manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan Sunnah) sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: “Sunnah telah ditinggalkan.” Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: ”Kapan itu terjadi ?” Diapun menjawab: “Jika ulama kalian telah meninggal dunia, pembaca Al Qur’an semakin banyak tapi orang-orang yang paham agama semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur semakin sedikit, dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad Darimi: 1/64 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan)

http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/ketika-sunnah-nabi-diolok-olok/

Kesudahan Bagi Para Penentang Sunnah Nabi

                                            

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ



Di dalam Al Qur’an Allah banyak menceritakan tentang adzab yang menimpa kaum-kaum terdahulu. Tentu saja cerita-cerita tersebut bukan sekedar cerita belaka. Namun di balik itu semua hendaknya kita dapat mengambil sebuah pelajaran yang berharga, ternyata adzab tersebut terjadi karena penentangan mereka terhadap sunnah (ajaran) para Rasul.
Allah pun memberikan ancaman-Nya kepada para penentang sunnah Rasul-Nya yang terakhir yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, di dalam firman-Nya yang artinya:
“Berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah dia (Rasul) akan menimpa kepadanya fitnah atau adzab yang pedih”. (An Nuur: 63)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hendaklah takut siapa saja yang menyelisihi syari’at Rasul secara lahir maupun batin untuk tertimpa fitnah dalam hatinya berupa kekafiran, kemunafikan, bid’ah atau tertimpa adzab yang pedih di dunia dengan dihukum mati, had, dipenjara atau yang lainnya.”
Maka tidak diperkenankan bagi seorang muslim menentang sunnah Rasulullah ? karena mengikuti ucapan seseorang walaupun orang itu memiliki kedudukan yang sangat mulia, sebagaimana Ibnu Abbas ? berkata: “Sungguh aku sangat khawatir hujan batu akan menimpa kalian, aku mengatakan: “Telah berkata Rasulullah”, sedangkan kalian mengatakan: “Telah berkata Abu Bakar dan Umar”. (H.R Ahmad)
Lallu bagaimana kiranya dengan orang-orang yang menolak sunnah (perintah) Rasulullah ? dengan sekedar mengikuti perkataan pimpinan organisasi, partai, adat, atau AD/AR sebuah organisasi ?

BAHAYA MENENTANG SUNNAH NABI
Diantara bahaya-bahaya yang bisa menimpa seseorang yang menetang sunnah Rasul ? adalah:
1. Terjerumus ke dalam kesesatan dan dimasukkan ke jahanam. Allah berfirman yang artinya:
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mukminin, maka Kami biarkan ia berpaling ke dalam kesesatan yang telah dia tempuh sendiri lalu Kami masukkan dia ke dalam jahannam, sedangkan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa’: 115)
2. Akan di usir dari Haudh (telaga) Rasulullah di hari kiamat nanti, padahal barangsiapa yang meminum darinya tidak akan haus selama-selamanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim.
3. Tertolaknya amalan ibadah. Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (tertolak) amalan kalian , sedangkan kalian tidak menyadari”. (Al-Hujurat: 2)
Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Lalu bagaimana dengan orang yang mendahulukan selain perkataan, dan petunjuk Rasulullah ?! Bukankah, lebih akan terhapus amalnya sedangkan ia tidak menyadarinya ?!” (Al Waabilus Shoyyib: 24)
4. Menggugurkan dan membatalkan keimanan. Allah berfirman yang artinya;
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa berat hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ( An Nisaa’: 65)

BENTUK-BENTUK PENENTANGAN TERHADAP SUNNAH RASULULLAH Diantara bentuk penentangan terhadap sunnah Rasulullah ? yang bisa disebutkan dalam kajian kali in adalah:
1. Mencukupkan Al Qur’an tanpa petunjuk As Sunnah, sebagaimana yang dilakukan sekte Qur’aniyyun yang lebih pantas disebut sekte Inkarus Sunnah, hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah , yang artinya:
“Dan segala perkara yang diperintahkan Rasul (Sunnah) maka ikutilah dan segala perkara yang dia larang maka jauhilah”. (Al Hasyr: 7)
Rasulullah ? sendiri telah memberitakan akan munculnya suatu kelompok yang meremehkan sunnah (hadits)nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Miqdam bin Ma’di Karib, Rasulullah ? bersabda:
“Dikhawatirkan seseorang duduk bertelekan di atas sofanya (dalam keadaan sombong), ketika dibacakan sebuah hadits dariku dia mengatakan: “Cukup antara kami dan kalian Kitabullah (Al Qur’an). Apa yang kita dapati di dalamnya suatu yang halal maka kita halalkan dan suatu yang haram maka kita haramkan. Beliau mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya apa yang Rasulullah haramkan seperti apa yang Allah haramkan. (H.R Ibnu Majah)
2. Menolak hadits-hadits ahad selain mutawatir dalam masalah aqidah walaupun hadis-hadits tersebut shohih, sebagaimana yang disebarkan oleh sekte Mu’tazilah. Faham ini berkembang ketika masuknya ilmu filsafat di tengah-tengah umat Islam.
3. Mendahulukan akal di atas sunnah Rasulullah, seperti yang dilakukan Mu’tazilah, Aqlaniyyun ( para pendewa akal), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan para ahli filsafat. Allah melarang perbuatan mereka dalam firman-Nya yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan ucapan siapapun terhadap ucapan Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hujurat: 1)
4. Taqlid terhadap madzhab, golongan, partai, atau adat tertentu sebagaimana kebiasaan orang-orang musyrikin terdahulu. Allah mencela sifat yang demikian dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan jika dikatakan kepada mereka (orang-orang musyrikin): “Ikutilah apa yang telah Allah turunkan (Al Qur’an dan As Sunnah)”, maka mereka menjawab: “Bahkan kami tetap mengikuti apa yang telah ditempuh nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

SIKAP PARA SAHABAT TERHADAP PENENTANG SUNNAH RASUL
Berkata Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu: “Janganlah engkau meninggalkan satu amalan pun yang dilakukan Rasulullah, kecuali engkau beramal dengannya. Sungguh aku sangat khawatir, jika engkau meninggalkan amalan yang diperintahkan oleh Rasulullah, maka engkau akan menyimpang (dari al haq)”.
Dari Abu Qatadah berkata: “Kami pernah di sisi ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu dalam suatu rombongan dan di antara kami terdapat Busyair bin Ka’ab. Maka pada suatu hari ‘Imran berbicara kepada kami, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sifat malu itu baik semuanya”. Maka Busyair bin Ka’ab berkata: “Sesungguhnya kami mendapati di sebagian kitab atau hikmah bahwa dari malu itu ada yang merupakan ketentraman dan penghormatan kepada Allah, tetapi pada malu itu juga ada kelemahan.” Maka ‘Imran pun marah sampai merah kedua matanya dan berkata: “Tidakkah kamu melihat aku, aku mengajak bicara kepadamu dengan hadits dari Rasulullah, sedangkan kamu menentangnya!!” (Muttafaqun ‘alaihi)

BEBERAPA FAKTA TENTANG ADZAB ALLAH DI DUNIA BAGI PARA PENENTANG SUNNAH
1. Dari Salamah bin Al-Akwa’, bahwasanya seseorang pernah makan di sisi Rasulullah dengan tangan kirinya. Maka beliau berkata: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang menjawab: “Saya tidak bisa.” (Maka) beliau berkata: “Kamu tidak akan bisa (selamanya).” Tidak ada yang menghalangi dia (untuk makan dengan tangan kanannya) melainkan sifat sombong. Berkata (Salamah bin Al-Akwa’): “Maka orang itu pun (akhirnya) tidak bisa mengangkat tangan (kanan)nya ke mulutnya (selamanya).” (HR. Muslim no.2021)
2. Dari Abu Yahya As-Saajii dia berkata: “Kami berjalan di lorong-lorong kota Bashrah menuju ke rumah salah seorang Ahli Hadits, maka aku mempercepat jalanku dan ada seseorang di antara kami yang jelek sesat pemahaman agamanya, berkata: “Angkatlah kaki-kaki kalian dari sayap-sayapnya para Malaikat, jangan kalian mematahkannya”, (seperti orang yang istihza`/memperolok-olok)”, maka (akhirnya) kaki orang tersebut tidak bisa melangkah dari tempatnya sehingga kering kedua kakinya dan kemudian roboh.” (Bustaanul ‘Aarifiin, Al-Imam An-Nawawi hal.92). Maksud dari orang tersebut hendak mengolok-olok hadits Rasulullah ? yang diriwayatkan sahabat Abu Darda’ ?, bahwa Rasulullah ? bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقُا إِلَى الْجَنَّةِ، وَ أّنَ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنَحَتِهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Jannah (surga) dan sesungguhnya para Malaikat mengkaparkan sayap-sayapnya untuk seorang penuntut ilmu ketika mereka suka kepada apa yang ia lakukan.” (H.R. Abu dawud dan At Titmidzi)
PENUTUP
Sehingga tidak pantas bagi setiap muslim untuk tidak mengindahkan sunnah Nabinya, apalagi sampai menghinakannya setelah melihat bagaimana pedihnya akibat orang-orang yang menentang As Sunnah sebagaimana yang diberitakan Al Qur’an, atau hadits-hadits Nabi serta bagaimana sikap para sahabat kepada mereka.
Wallahu ‘a’lam

HADITS-HADITS LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman, Rasulullah bertanya:
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِيْ كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي
“Dengan apa kamu memutuskan suata perkara? Mu’adz menjawab: “Saya memutuskan dengan Kitabullah (Al Qur’an). Rasulullah bertanya: “Kalau seandainya tidak ada di dalam Al Qur’an? Mu’adz berkata: “Saya memutuskan dengan As Sunnah? Rasulullah bertanya: “Kalau seandainya tidak ada? Mu’adz berkata: “Saya berijtihad dengan pendapatku”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan yang lainnya)
Hadits ini lemah karena terdapat tiga illat (sebab kelemahan):
1. Yang benar adalah mursal, hadits ini bukan datang dari Mu’adz akan tetapi datang dari murid-murid Mu’adz.
2. Tidak diketahui siapa murid-murid Mu’adz tersebut (Majhul) ?.
3. Ada seorang rawi yang bernama Al Harits bin Amr. Ibnu Hazm dan Adz Dzahabi berkata: “Dia adalah seorang yang majhul (tidak diketahui siapa dia ?, dan tidak ada satu pun yang meriwayatkan hadits ini kecuali dari jalannya).
Sehingga hadits ini dilemahkan para Ahlu Hadits diantaranya: Al Imam Al Bukhari, At Tirmidzi, Ibnul Jauzi, Ibnu Hazm, Al Hafizh Ibnu Hajar dan yang lainnya. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah no. 881, karya Asy Syaikh Al Albani)

http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/kesudahan-bagi-para-penentang-sunnah-nabi/

NAZHOR : Melihat Calon Pasangan dan Tipsnya

                                
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Adab-Adab Melamar

Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma bercerita:

“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”.17

Imam Al-Bukhary memberikan judul bab untuk kisah ini dengan ucapan beliau, Bab: (Bolehnya) seseorang menawarkan putri atau saudara perempuannya (untuk dinikahi) kepada orang-orang yang baik”.

Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya. Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata, “Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholeh”, lalu beliau membawakan hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi) …”18.

Sisi pendalilan dari kisah ini adalah adanya taqrir (persetujuan) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap perbuatan wanita ini.

Peringatan:

Hendaknya hal ini19 tidak dilakukan kecuali oleh seorang wanita yang merasa aman dari fitnah demikian pula pihak lelakinya, sebagaimana amannya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan shahabiyah di atas dari fitnah. Dan di zaman yang penuh kerusakan seperti ini dimanakah kita bisa mendapatkan lelaki dan wanita yang merasa aman dari fitnah terhadap lawan jenisnya?! Karenanya, walaupun asal hal ini dibolehkan, akan tetapi di zaman ini hendaknya seorang wanita meninggalkan perbuatan seperti ini karena tidak jarang -bahkan inilah kenyataannya- kedua belah pihak terjatuh ke dalam fitnah yang besar tatkala seorang wanita menawarkan dirinya kepada lelaki yang dianggap sholih.

Fitnahnya bisa terjadi dari beberapa sisi:

1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal kerusakan akan muncul.

2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki.

3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.

Berikut penyebutan adab-adab dalam pelamaran yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak:

1. Disunnahkan nazhor (memandang/melihat) kepada calon pinangan.

Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya seseorang yang mau menikahi seorang wanita untuk memandang kepadanya”.20

Berikut beberapa dalil yang menunjukkan disunnahkannya bagi kedua belah pihak untuk saling melihat sebelum meneruskan pelamaran:

1. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”.

Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.21.

2. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:

“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”22.

Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.

3. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”23.

Beberapa perkara penting yang berkaitan dengan nazhor:

1. Syarat-syarat dibolehkannya nazhor:

(a). Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.

(b). Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.

Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hokum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadapwaita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 30-31)

Imam Ibnul Qoththon Al-Fasy berkata, “Jika sang pelamar wanita (pihak lelaki) telah mengetahui bahwa wanita tersebut tidak mau menikah dengannya dan bahwa wali wanita tersebut tidak menerima lamarannya, maka tidak boleh ketika itu dia (melanjutkan) memandang, walaupun dia tadi telah melamar. Karena dia hanya diperbolehkan untuk memandangnya sebagai sebab dari berlangsungnya pernikahan, maka jika dia sudah yakin akan penolakannya (wanita atau walinya) maka kembalilah (hukum) memandang (wanita yang bukan mahram) kepada hukum asal”.24

(c). Tentunya nazhor ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.

Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang dari khalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”25.

2. Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat.

Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”26.

Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).

Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.

Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.

3. Hukum nazhor tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.

Yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Malik bahwasanya boleh melakukan nazhor kepada calon pinangan dengan seizin atau tanpa izin dari wanita tersebut, hal ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’27. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.28

2. Berpenampilan sederhana dalam melamar.

Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.

Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu29.

3. Boleh bagi wanita yang akan dinazhor untuk berhias sekedarnya.

Dari Subai’ah Al-Aslamiyah -radhiallahu ‘anha- bahwa dulunya beliau adalah istri dari Sa’ad bin Khaulah lalu suaminya wafat30 dalam haji wada’ dan beliau (suaminya) adalah badry (pasukan perang badar). Dan beliau melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suami beliau. Maka setelah itu, beliau ditemui oleh Abus Sanabil bin Ba’kak tatkala beliau sudah selesai nifas dalam keadaan beliau (Subai’ah) memakai celak mata - dalam sebagian riwayat, maka salah seorang dari kerabat suamiku menemuiku dalam keadaan saya sudah memakai khidhob dan berhias”-. Maka dia (Abus Sanabil) berkata kepadanya, “Kuasailah dirimu -atau ucapan semisalnya- mungkin kamu sudah mau menikah lagi, sesungguhnya waktunya adalah 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suamimu. Beliau (Subai’ah) berkata, “Maka saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan saya ceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, maka beliau bersabda:

“Engkau telah halal (untuk menikah) ketika engkau melahirkan”31.

‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”32.

4. Beristikhoroh.

Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:

“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”33.

Imam An-Nasa`iy memberikan judul bab untuk hadits ini dalam Sunannya (6/79),

“Sholatnya seorang wanita jika dia dilamar dan dia beristikhoroh kepada Tuhannya”.

Adapun kaifiat dan do’a sholat istikhoroh, maka hal ini disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَأَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.

“Jika salah seorang di antara kalian sudah berniat melakukan suatu perkara, maka hendaknya dia melakukan sholat 2 raka’at yang bukan sholat wajib, setelah sholat hendaknya dia bedo’a, [“Ya Allah, saya beristikhoroh kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta kemampuan kepad-Mu dengan kemampuan-Mu, dan saya meminta keutamaan-Mu yang Maha Agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang menakdirkan dan saya tidak menakdirkan, Engkau Maha Mengetahui sedang sayatidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku untuk agamaku, untuk kehidupanku, dan untuk akhir perkaraku - atau beliau berkata, “untuk perkaraku cepat atau lambat”- maka takdirkanlah hal itu untukku,permudahlah untukku, kemudian berkahilah aku di dalamnya”. Jabir berkata, “Kemudian dia menyebutkan keperluannya”34.

5. Sederhana dalam mahar.

Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.

Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya 4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:

“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …”35.

Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak.

Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut36.

6. ???

(Sumber : http://www.al-atsariyyah.com/ versi pdf dan disusun kembali untuk http://kaahil.wordpress.com/)

Catatan :

17 (HR. Al-Bukhary (9/481-Al-Fath)

18 HR. Al-Bukhary (2/246)

19 Yakni seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholih.

20 Al-Mughny (9/489)

21 HR. Abu Daud (2082) dengan sanad yang hasan.

22 HR. At-Tirmidzy (1087), An-Nasa`iy (6/69), dan Ibnu Majah (1866). Potongan pertama dari hadits dikuatkan

dalam riwayat Muslim (2/1040) dari hadits Abu Hurairah.

23 HR. Ahmad (5/424) dengan sanad yang shohih

24 An-Nazhor fii Ahkamin Nazhor karya beliau hal. 391.

25 Riwayat At-Tirmidzy (2165) dari ‘Umar bin Khoththob -radhiallahu ‘anhu- dan Ibnu Majah (2/64) dari Jabir bin Samurah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (430).

26 Al-Mughny (9/490)

27 (16/138) cet. Darul Fikr.

28 Al-Mughny (9/489)

29 Riwayat ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/157) dengan sanad yang shohih.

30 Suami beliau wafat sedangkan beliau dalam keadaan hamil, sebagaimana yang nampak dari kisah.

31 Riwayat Ahmad (6/432) dengan sanad yang shohih.

32 Adabul Khitbah waz Zifaf hal. 23.

33 Riwayat Muslim (2/1048) dari sahabat Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.

34 Riwayat Al-Bukhary (3/58-Al-Fath)

35 Riwayat Muslim (2/1040) dari sahabat Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-.

36 Hal ini disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa`idy -radhiallahu ‘anhuma- riwayat Al-Bukhary (3/369) dan Muslim (2/1041)

Tuntunan Meminang ( Melamar )

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

A. MAKNA DAN HUKUM MEMINANG

Al-Khitbah dengan dikasrah ‘kho”nya berarti pendahuluan “ikatan pernikahan” yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan hal ini pada umumnya ada pada laki-laki. Maka yang memulai disebut “khoothoban” (yang meminang) sedang yang lain disebut “makhthuuban” (yang dipinang).

Meminang itu sunnah sebelum akad nikah, karena Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam meminang untuk dirinya dan untuk yang lain. Dan tujuan meminang yaitu : mengetahui pendapat yang dipinang, apakah ada setuju atau tidak. Demikian juga untuk mengetahui pendapat walinya.

Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan keluarganya. Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad nikah, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi seorang wanita kecuali dengan izin wanita tersebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya), Mereka bertanya “Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab ‘Jika dia diam’.

Maka bila janda dikuatkan dengan musyawarahnya dan wali butuh pada kesepakatan yang terang-terangan untuk menikah. Adapun gadis, wali harus minta ijinnya, artinya dia dimintai ijin/pertimbangan untuk menikah dan tidak dibebani dengan jawaban yang terang-terangan untuk menunjukkan keridhaannya, tetapi cukup dengan diamnya, sungguh dia malu untuk menjawab dengan terang-terangan. Dan makna ini juga terdapat dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa beliau berkata ”Ya Rasulullah, sesungguhnya gadis itu akan malu”, maka beliau bersabda: Ridhanya ialah diamnya’ (H R Bukhori dan Muslim)

Akan tetapi hendaknya diyakinkan bahwa diamnya adalah diam ridha, bukan diam menolak, dan itu harus diketahui oleh walinya dengan melihat kenyataan dan tanda-tandanya. Dan perkara ini tidak samar lagi bagi wali pada umumnya.
Adapun kesepakatan wali dari pihak wanita itu merupakan perkara yang harus dan merupakan syarat dalam nikah menurut jumhur ulama karena jelasnya hadits dari Nabi sala’lahu ‘a/aihi wa sallam yang bersabda :

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
(HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Dan jumhur mengambil dalil atas syarat ridhanya wali dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”
(QS Al-Baqarah : 232)

Artinya : Jangan kau cegah wanita yang tercerai untuk kembali ke pangkuan suaminya, karena dia lebih berhak untuk ruju’ jika memungkinkan secara syariat. Telah berkata Imam Syafii “Ini ayat yang paling jelas tentang permasalahan wali dan kalau tidak maka pelarangan wali tidak bermakna”.
(Lihat Subulussalaam Syarah Bulughul Maram, Ash-Shan’any, juz 3 hal 130).

B. MEMANDANG PINANGAN (NADZOR)

Pada dasarnya di dalam hukum syariat melihat wanita asing bagi lelaki dan sebaliknya adalah haram. Yang diwajibkan adalah menundukan pandangan dari yang haram bagi laki-laki maupun wanita, firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat; Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera saudara laki¬-laki mereka, atau putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki ; atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”
(Q.S An¬Nuur : 30-31)

Adapun orang yang meminang, memandang gadis yang dipinangnya atau sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu dianjurkan. Akan tetapi dengan syarat berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits tentang ini banyak sekali.
Adapun dalam hadits Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada seseorang yang akan menikahi wanita :
‘Apakah engkau telah melihatnya ? dia berkata : “Belum”. Beliau bersabda :’Maka pergilah, lalu lihatlah padanya. “

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu : Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang perempuan dan jika mampu melihat seorang perempuan dari apa-apa yang mendorong kamu untuk menikahinya maka kerjakan.”

Orang yang meminang boleh memandang pinangannya pada telapak tangan dan wajah saja menurut jumhur ulama. Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan/kehalusan kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk menyingkapnya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta keindahan rambutnya.

Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang dipinang sebelum dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak disyaratkan adanya keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si lelaki itu boleh melihat tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia lalai (diintip) dan itu lebih utama..

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani dari Abi Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila seorang diantara kamu meminang wanita, maka tidak mengapa kamu melihatnya jika kamu melihatnya untuk dipinang, meskipun wanita itu tidak tahu”

Adapun yang menjadi kebiasaan kaum muslimin dalam ‘pinangan’ yaitu berdua-berduaan, pergi dan bergadang berdua, maka itu adalah racun karena mengikuti kebiasaan orang-orang barat yang jelek, yang menyerbu negeri-negeri muslimin. Alasan mereka yaitu masing¬-masing dari dua orang yang bertunangan akan bisa saling mempelajari karakter yang lainnya dengan jalan tersebut dan untuk lebih mengenal agar nanti menjadi pasangan yang ideal dan bahagia.

Ini adalah sesuatu yang tidak benar berdasarkan kenyataan sebab masing-masing berpura-pura dihadapan pasangannya dengan apa-¬apa yang tidak ada padanya, yakni berupa akhlaq yang baik. Dan menampakkan bagi pasangan apa-apa yang berbeda dari kenyataanya dan tidak menampakkan aslinya kecuali setelah nikah dimana telah hilang sikap kepura-puraan itu dan terbongkar hakekat dari masing-masing keduanya. Maka mereka akan ditimpa kekecewaan yang besar.

Kami tahu berdasarkan pengalaman kami di mahkamah syar’iyyah bahwa menempuh jalan yang disyari’atkan dan menjaga hukum-hukum syari’at dari keduanya di semua tahapan-¬tahapan dalam menuju pernikahan, dimulai dari khitbah sampai dengan malam pengantin merupakan sebab yang menjamin kebahagiaan rumah tangga bagi keduanya dengan taufiq dan keridhoan Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun orang yang melakukan tahapan-tahapan itu dengan kebiasaan orang-orang kafir yang jelek maka mereka akan mengalami kegagalan.

C. SIFAT-SIFAT YANG DITUNTUT DALAM MEMINANG DAN MENERIMA PINANGAN

Ketika pemuda dan pemudi menginjak remaja maka mulailah dalam pikirannya terbetik kriteria-kriteria dan sifat-sifat siapa calon pendampingnya untuk menjadi isterinya pada suatu hari nanti.

Dan pandangan orang terhadap sifat-sifat itu berbeda-beda, sesuai denga taraf pendidikannya yang dia tumbuh padanya. Maka sebagian mereka ada yang membuat kriteria, yang meliputi beberapa syarat seperti bentuk badan tingginya, warna kulitnya, warna mata. Dan diantara mereka ada yan mensyaratkan dari sisi hartanya, kekayaannya, nasab dan lain-lain.

Dan semua syarat-syarat ini dalam kenyataannya dituntut dan disukai, juga tidak dilarang untuk mencari orang yang demikian itu. Akan yang lebih baik dari itu semuanya adalah agamanya. Dalilnya yang diriwayatkan imam Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :

“Dinikahi wanita karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka utamakanlah yang punya agama sehingga kamu akan beruntung.”

Makna “yang memiliki agama” yaitu : wanita yang beragama, shalihah dan berakhlak baik. Maka hendaknya tujuan meminang adalah memilih wanita yang punya agama. Adapun bila terkumpul semua sifat-sifat yang lain dari harta, keturunan dan kecantikan disertai punya agama, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Akan tetapi tidak ada kebaikan pada seseorang yang memiliki harta atau keturunan, atau kecantikan tanpa punya agama. Wanita yang punya kecantikan tanpa agama adalah wanita yang menipu orang lain dan diri sendiri, dan wanita yang punya harta tanpa agama adalah wanita yang menindas, lacur atau rakus. Adapun wanita yang punya , keturunan, pangkat tanpa agama, dia wanita yang sombong. Adapun wanita yang punya agama ialah wanita yang selalu taat, akhlaknya baik, tawadhu’ sekalipun dia punya kecantikan, kekayaan, pangkat yang tinggi atau keturunan mulia.

Keadaan serta sifat-sifat ini tidak hanya khusus pada wanita saja, bahkan juga untuk laki-laki. Maka bagi wanita yang dipinang, agar jangan tertipu dengan kekayaan, ketampanannya, keturunan atau pangkatnya. Bahkan wanita wajib unluk meneliti terlebih dahulu agamanya, jika lelaki itu termasuk beragama, shaleh, maka sungguh terkumpul padanya syarat-syarat terpenting, sehingga jadilah sifat-sifat menempati peringkat kedua.

Sesungguhnya seorang lelaki yang beragama akan menjaga warita dan memeliharanya, dan akan mempergauli isterinya dengan cara yang baik, akan bersabar atas kekurangan-kekurangan isteri, dan ini yang terpenting. Maka bila Iaki-laki itu mencintainya, dia akan memuliakan isterinya, dan jika dia membencinya, dia tidak akan mendhaliminya meskipun si isteri suka hidup brrsamanya, dan bila lebih mengutamakan bercerai, maka dia tidak menahannya untuk menyakitinya, tetapi dia pisah dengan perpisahan yang sebaik-baiknya.

Sesungguhnya kehidupan ‘suami – isteri’ penuh dengan kesulitan dan tanggung jawab yang berat serta berhadapan dengan keadaan yang selalu berubah. Jika rumah tangganya ditegakan karena harta, kemudian hilang hartanya, maka apa yang terjadi ? dan jika ditegakkan di atas kecantikan atau kedudukan, kemudian berubah, maka apa yang terjadi ? Tidak diragukan lagi akan terjadi perpecahan dalam rumah tangga dan akan muncul perselisihan, karena pernikahannya tidak ditegakkan di atas dasar yang kokoh, tetapi atas syahwat Individu tanpa pangkal dan landasan yang kuat.

Adapun apabila pernikahan dibangun atas dasar menjaga agama, dimana agama itu merupakan aqidah yang tetap dan kokoh di hati muslim yang beragama, dia bangun diatasnya perbuatan dan perkataannya, dan dari dasar Itu dia bermuamalah dengan yang lainnya. Maka kita tahu, bahwa seorang muslim yang beragama, baik laki-laki maupun perempuan, dia akan bersyukur pada Allah Subhanahu wa taala dalam keadaan lapang, dan bersabar dalam keadaan sempit. Dia akan bergaul atau mensikapi kenyataan dengan iman dan sabar, dan dia akan saling tolong-menolong dengan isterinya ( teman hidupnya) dengan penuh amanah dan kegembiraan.

D. CINTA, RINDU DAN CEMBURU

Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya ¬pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.

Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.

1. Cinta (AI-Hubb)

Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah Radhiyallahu ‘anhu berkata ;”Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :’Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata :”Belum”, maka beliau bersabda : ‘Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua’

Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.

Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.

Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat¬-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “,
(Q.S Ali¬-Imran : 14)

Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :

“Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pemikahan .”

Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat”
( HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)

Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.

Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.

2. Rindu (Al-’Isyq)

Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.

Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.

Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.

Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.

3. Cemburu (Al-Ghairah)

Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.

Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketik~asuaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan.

Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu¬-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan cemburu.

Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S As-Sajdah : 17)

Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tcrsembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang¬orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan clan keutamaan.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-¬sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.

(Dikutip dari kitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I” Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=283

http://kaahil.wordpress.com/2009/10/22/tuntunan-meminang-khitbah/

Kemungkaran-Kemungkaran Dalam Fase Pelamaran

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sebagai pelengkap pembahasan, kami akan menyebutkan beberapa kemungkaran yang biasa terjadi dalam fase pelamaran. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kemungkaran-kemungkaran ini sangat sering terjadi dan tidak diragukan merupakan wasilah menuju perzinahan -wal’iyadzu billah-. Di antara kemungkaran-kemungkaran tersebut adalah:

1. Seorang lelaki menazhor seorang wanita tanpa seizin dari wali wanita tersebut.

2. Terjadinya khalwat dalam proses nazhor, dimana sang wanita berduaan dengan lelaki yang akan melihatnya.

3. Mengadakan ritual saling mengikat antara seorang lelaki dan wanita sebelum pernikahan, yang ini sering dikenal dengan ritual ‘tunangan’.

4. Mondar-mandirnya seorang lelaki ke rumah wanita yang sudah dia lamar, berduaan dengannya dan keluar bersamanya.

Telah berlalu dalil akan haramnya seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya. Karena seorang wanita, walaupun dia telah dilamar oleh seorang lelaki dan telah disetujui oleh kedua belah pihak tetap lelaki tersebut bukanlah mahramnya sampai mereka berdua menikah, walaupun lelaki tersebut adalah keluarga dekatnya, seperti sepupunya.

5. Terjadinya perbincangan antara keduanya tanpa ada hal yang mengharuskan mereka untuk berbincang, terlebih lagi jika perbincangannya dilakukan melalui telepon dan yang semisalnya, karena kebanyakan isi perbincangan mereka merupakan perkara yang tidak halal mereka perbincangkan sebelum keduanya menikah. Hal ini diperparah jika sang wanita melembutkan suara dan cara berbicaranya, karena dari sinilah awal munculnya berbagai macam bentuk perzinahan. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman memerintahkan kaum mu`minah:

يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (QS. Al-Ahzab: 32)

6. Seorang lelaki mengunjungi wanita yang telah dia lamar/tunangannya dengan alas an mau mengajarinya Al-Qur`an atau ilmu-ilmu agama lainnya.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya dengan nash pertanyaan sebagai berikut, “Saya telah melamar seorang wanita, dan saya telah membantunya menghafal 20 juz dari Al-Qur`an -walhamdulillah- selama fase pertunangan. Saya duduk bersamanya (mengajarinya) dengan keberadaan mahram di sisinya, dan dia juga konsisten dengan hijab yang syar’iy -walhamdulillah-. Pembicaraan kami tidak pernah keluar dari masalah agama atau membaca Al-Qur`an, waktu kunjunganpun singkat. Maka apakah dalam perbuatan saya ini adalah perkara yang dilarang secara syar’iy?”.

Maka Syaikh menjawab, “Ini tidak boleh (dilakukan), karena perasaan seorang lelaki ketika dia duduk bersama wanita yang telah dia lamar/tunangannya biasanya akan menimbulkan kejolak syahwat, sedangkan (perasaan) bergejolaknya syahwat kepada selain istri dan budak adalah diharamkan. Dan semua perkara yang bisa mengantarkan kepada yang haram maka dia juga haram”.

7. Mengundur pernikahan setelah proses pelamaran selesai dan disetujui oleh kedua belah pihak atau panjangnya waktu pertunangan. Baik dikarenakan masih ada syarat yang belum dipenuhi oleh pihak lelaki, atau karena menunggu selesainya pendidikan salah satunya atau keduanya atau dengan alasan yang sering dilontarkan oleh kebanyakan orang yakni “sampai keduanya sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya”. Semua ini adalah alasan yang tidak syar’iy, karena bisa menimbulkan kerusakan di kemudian hari. Maka yang wajib diperhatikan adalah hendaknya setiap lelaki yang mau melamar seorang wanita haruslah sudah memiliki persiapan berkenaan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan sebelum dan setelah pernikahan, sehingga dia tidak menunggu lagi setelah disetujuinya pelamaran kecuali langsung mengadakan pernikahan, wallahul muwaffiq.

(Sumber : http://www.al-atsariyyah.com/ versi pdf dan disusun kembali untuk http://kaahil.wordpress.com/)
http://kaahil.wordpress.com/2009/10/23/kesalahan-waktu-melamar/

Lebih Baik Punya Suami dalam Kenyataan daripada Punya Pangeran dalam Impian

                                                                

  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Oleh : Al-Ustadz Abu Ibrahim Abdullah Al-Jakarti

Diantara realita yang dijumpai pada sebagian wanita yang terlambat menikah terutama dikota metropolitan, dikarenakan sebagian mereka terbuai oleh idealisme mimpi, padahal tidak sedikit dari mereka yang umurnya mendekati atau mencapai kepala tiga. Sebagian mereka ada yang berkata, mengomentari temannya yang jauh umurnya dibawahnya ketika ia hendak menikah dengan berkata : “ apa tidak ada pilihan yang lain?” mengometari pilihan calon suami temannya.

Padahal calonnya secara fisik termasuk orang yang Allah karuniakan fisik yang baik dan tidak sedikit yang bilang ganteng. Kalau dari sisi tanggung jawab, maka dia orang yang berusaha berpegang teguh pada agamanya dan orang yang bertanggung jawab. Adapun wanita tersebut tetap dalam mimpinya menanti pangeran dengan segala kreteria kesempuranaan daripada mempunyai suami dalam kenyataan walaupun umurnya telah mencapai 32 tahun.

Dan ada diantara mereka yang tidak menerima tawaran untuk proses sama seorang ikhwan sambil berkata : “ kreteria suamiku nanti yang tingginya diatas 170 cm” padahal dia sendiri tingginya jauh dibawah kriterianya disamping umurnya telah mencapai kepala tiga.

atau sebuah kisah yang diceritakan oleh orangnya sendiri. “ Walaupun usiaku mendekati 40 tahun tetapi saya tetap menginginkan agar suami kelak adalah seorang yang memilki kemuliaan, kemampuan materinya diatas pertengahan dan dia memiliki gelar yang tinggi. Tetapi sebenarnya saya setelah umur ini ketika saudara-saudara perempuanku mengunjungiku bersama para suami dan anak-anak mereka, saya merasakan kesedihan yang sangat dahsyat dan saya ingin seperti mereka, saya bisa mengunjungi kelurgaku dan bisa berpergian bersama suami dan anak-anakku.”

Atau kisah seorang wanita yang tetap memimpikan seorang pangeran daripada mempunyai seorang suami dalam kenyataan.

“ Karena saya adalah wanita yang beruntung maka pemberian Allah kepadaku tidaklah berhenti sebatas ini, tetapi Dia (Allah) menumbuhkan saya ditengah-tengah keluarga kaya dan bangsawan, dan Dia menambahiku dengan akal yang cerdas, akal yang menjadikanku mampu menyelesaikan studiku dikuliah kedokteran dengan cepat. Dan selama seperti ini keadaanku maka saya berhak untuk memilih suami yang pantas, orang yang memiliki keutamaan yang dia sukses dengan semua ini, kesatria, tinggi dibandingkan orang-orang lain yang ingin menikah, semakin hari semakin tinggi yang akan memuaskan duniaku. Dan telah membuatku takut ketika ibuku sering mengulang perkataannya yang merupakan pribahasa : “ Barangsiapa yang banyak pelamarnya maka dia akan gagal.” Tetapi saya tidak mau mengalah dan saya tidak perduli dengan bergugurannya hari-hari disekitarku, serta usiaku yang telah melewati batas yang diperbolehkan. Maka mudah-mudahan saya akan mendapatkan kesatria yang lain yaitu pangeran impianku yang wajahnya bermain-main didalam angan-anganku dan yang dia berhak mendaptakan diriku.”

Inilah diantara wanita-wanita yang tertipu dengan idealisme mimpi. Bukan berarti seseorang tidak boleh memilih atau mempunyai kriteria tertentu untuk pendamping hidupnya, selama tidak menyelisihi syar’i dan tidak berlebihan dan dengan melihat realita. Misalnya seseorang yang hidupnya sederhana, fisiknya dan tingginya pas-pasan ingin mendapatkan seorang jutawan yang ganteng bertubuh tinggi, walaupun banyak orang yang shaleh datang meminangnya lalu dia menolaknya…??.

Mungkin ada pertanyaan yang menggelitik hati kita, sendainya dia menemukan pria impiannya apakah pria itu mau dengannya??. Bagaimana ketika seandainya ia menemukan pangeran impiannya sedangkan umurnya telah menacapai kepala tiga, sedangkan pangeran yang bertubuh tinggi, kaya dan genteng itu mencari seorang pendamping yang berumur 20 tahun ???. Disamping seharusnya yang menjadi patokan seseorang memilih pendamping hidupnya adalah seorang yang shaleh setelah itu boleh bagi dia memiliki kriteria tertentu asal tidak berlebihan dan melihat reliata. Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda : “ Jika datang kepada kalian seorang yang kalian ridhaiagama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dibumi dan kerusakkan yang besar “ (HR. At Tirmidzi, Al Baihaqi dan ini lafadznya, dihasankan oleh syaikh Al Al Bani)

Hasan Al Basri pernah ditanya “ Pria manakah yang engkau suruh untuk aku menikahkannya dengan putriku ? ” Hasan Al Basri Rahimahullah menjawab : “ Nikahkanlah ia dengan pria yang beriman karena bila ia mencintainya maka ia akan memuliakannya. Dan bila ia tidak mencintainnya maka dia tidak akan mendzaliminya “.

Tidak mengapa seorang mempunyai kreteria tertentu selama tidak menyelisihi syar’i, akan tetapi ingat patokannya adalah agamanya. Jika baik agamanya lalu ia mempunyai kriteri ingin mencari suami yang ganteng atau pondokkan tidak mengapa. Kalau seandainya sebagian kriterianya yang sangat penting telah terpenuhi, setelah istiqarah dia merasa cenderung dengannya, lalu ada kriteria lain yang tidak terpenuhi pada diri seseorang yang datang mengkhitbahnya kenapa dia harus menolaknya?.

Misalnya seorang akhwat mencari ikhwan yang shaleh, ganteng dan pondokkan dan kalau bisa sudah mapan. Lalu ada seorang ikhwan yang mau mengkhitbahnya, seorang yang shaleh, pondokkan akan tetapi wajahnya biasa saja, tidak ganteng dan tidak juga jelek dan ia cenderung kepadanya setelah istikharah walaupun juga belum mapan, lalu kenapa dia tidak menerimanya dan mengalah dengan sebagian dari syarat-syaratnya atau kriterianya…!!! Kalau dia menginginkan seluruh kriteria kesempurnaan dia ada pada calonnya, hal ini sangatlah sulit dan jika seandainya ada, mungkin diapun mencari orang yang sepertinya, apakah saudari termasuk kriterianya, seorang yang sholehah, cantik, hafalan minimal 5 juz, cerdas, dari keturunan yang baik, kaya, minimal tinggi 160 cm dan kriteria kesempurnaan lainnya…??

Lalu kenapa harus tetap menanti pangeran dalam impian daripada suami dalam kenyataan.

Wahai saudariku…, tidak inginkah kalian segera menikah dengan laki-laki shaleh pilihan kalian, hidup menjadi tenang yang dengan itu kalian menyalurkan kebutuhan biologis dengan cara yang halal dan aman sehingga terhindar dari maksiat dan mempunyai keturunan yang shaleh, buah hati kalian sebagaimana saudari-saudari kalian yang telah menikah.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Qs. Ar-Ruum : 21).

Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barangsiapa tidak mampu menikah maka baginya untuk berpuasa hal itu sebagai tameng baginya “ ( HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu )

Tentu beda antara mempunyai seorang suami dalam kenyataan dari mempunyai pangeran dalam impian. Yang satu keberuntungan dan kebahagian dan yang satu ketertipuan dan kesengsaraan.

Sumber : http://nikahmudayuk.wordpress.com/2010/09/13/lebih-baik-punya-suami-dalam-kenyataan-daripada-punya-pangeran-dalam-impian/

http://kaahil.wordpress.com/2010/11/30/wanita-yang-terbuai-idealisme-mimpi-%E2%80%9C-apa-tidak-ada-pilihan-yang-lain%E2%80%9D-mengometari-pilihan-calon-suami-temannya/

Beberapa Faktor dan Alasan Kenapa Mereka Terlambat Menikah


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Oleh : Al-Ustadz Abu Ibrahim Abdullah Bin Mudakir



Diantara realita yang sering kita temui banyaknya wanita yang terlambat menikah, atau bahkan laki-laki yang terlambat menikah hal ini adalah sebuah permasalahan yang harus dicarikan penyebab dan solusinya. Apalagi tak jarang sebagian mereka terjatuh dalam perbuatan maksiat. Dibawah ini diantara sebab dan alasan kenapa banyak para pemuda dan pemudi kaum muslimin yang terlambat menikah :

Pertama : Lemahnya pemahaman tentang agungnya syariat menikah

Diantara faktor kenapa banyaknya orang yang menunda menikah tanpa alasan syar’i atau terlambat menikah adalah karena lemahnya pengetahuan seseorang tentang agungnya syariat menikah, atau manfaat yang besar yang terkandung didalamnya. Padahal selain merupakan perkara fitrah manusia menikah mempunyai manfaat dan kebaikkan yang sangat banyak, baik kebaikkan yang sifatnya dalam urusan dunia ataupun akhirat seseorang. Cukuplah jika sendainya setiap orang mengetahui bahwasannya dengan menikah seseorang akan terpenuhi kebutuhan biologisnya secara aman dan halal, menjadi sebab terjaganya dia dari perbuatan maksiat, mendapat ketenangan hidup dan memperoleh keturunan membuat ia tergerak untuk menikah. Banyak dalil tentang hal itu. Allah Ta’ala berfirman

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

” Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri – isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang “ ( Qs. Ar Ruum : 21 )

Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barangsiapa tidak mampu menikah maka baginya untuk berpuasa hal itu sebagai tameng baginya.“ ( HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu )

Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Jika mati seorang manusia, maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara : Shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim)

Kedua : Ingin menyelesaikan studi dulu

Inilah diantara faktor banyaknya dari para wanita yang telat menikah dikarenakan ingin menyelesaikan studi dulu dan tak jarang dari mereka yang menolak lamaran untuk menikah. Padahal Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda : “ Jika datang kepada kalian seorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dibumi dan kerusakkan yang besar “ (HR. at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan ini lafadznya, dihasankan oleh syaikh al AlBani) setelah berlalunya waktu yang menambah umurnya maka sebagian mereka baru tersadar mereka sudah mencapai umur wanita yang sulit untuk menikah. Ketika dia melihat wanita sebayanya bahagia bersama suami dan anak anak mereka, sedangkan dirinya masih menanti seorang suami.

Ketiga : Pandangan terlalu idealis mengenai pasangan hidup

Yaitu tidak adanya sikap merasa cukup dengan perkara-perkara yang penting dan darurat. Tidak adanya sikap menyesuaikan dengan realita yang ada. Dia meletakkan syarat-syarat khusus yang terlintas dibenaknya dari sifat kesempurnaan untuk suami yang dia impikan dan tidak mau mengalah sedikit saja dari kriterianya itu. Ini diantara faktor kenapa sebagian orang terlambat menikah.

Seorang wanita menuturkan kisahnya ” Walaupun usiaku mendekati 40 tahun tetapi saya tetap menginginkan agar suami kelak adalah seorang yang memilki kemuliaan, kemampuan materinya diatas pertengahan dan dia memiliki gelar yang tinggi. Tetapi sebenarnya saya setelah umur ini ketika saudara-saudara perempuanku mengunjungiku bersama para suami dan anak-anak mereka, saya merasakan kesedihan yang sangat dahsyat dan saya ingin seperti mereka, saya bisa mengunjungi kelurgaku dan bisa berpergian bersama suami dan anak-anakku.” Inilah diantara kisah seorang wanita yang tertipu dengan idealisme mimpi.

Keempat : Faktor keluarga

Diantara faktor yang menyebabkan seorang wanita terlambat menikah bahkan sebagian mereka tidak menikah adalah faktor keluarga, baik dari pihak ayah, ibu atau saudara kandungnya. Tidak jarang seorang pria yang shaleh ditolak tanpa alasan syar’i ketika melamar seorang wanita yang keduanya sudah sama-sama cocok.

Kisah seorang akhwat yang gagal dalam prosesnya sama seorang ikhwan padahal sudah sangat panjang dan susah perjalanan yang mereka tempuh sampai ketaraf khitbah (lamaran) dan penentuan tanggal akadnya, akhirnya harus kandas ditengah jalan ketika ibunya tidak terima karena alasan yang tidak syar’i.

Kisah seorang akhwat di Jawa Tengah yang harus berhadapan dengan seorang ayah yang tidak setuju dia menikah mendahului kakaknya yang belum menikah.

Kisah seorang akhwat nan jauh disana gagal menikah dengan dipoligami, padahal dirinya telah siap dan cocok dengan calonnya, begitu juga orang tuanya dan kakaknya setuju akan tetapi saudara perempuannya yang mempunyai pengaruh didalam keluarganya menolaknya dengan berkata, kamu boleh punya teman 2, 3 dan 4 tapi jangan menjadi istri yang ke 2, 3 atau 4.

Kelima : Meniti Karir

Perkara ingin meniti karir hingga kepuncaknya atau sesuai dengan apa yang ia inginkan menjadi sebab sebagian wanita memasuki usia sulit untuk menikah, mereka sibuk dengan studinya, kemudian karirnya mereka berpandangan dengan menikah akan terhambat karirnya. Mereka tidak sadar bahwa tugas seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga. Seiring berjalannya waktu mereka tak sadar bahwa usia mereka kian bertambah, laki-laki yang dulu pernah datang ingin meminangnya kini telah menikah dan masyarakat menganggap di wanita yang sulit untuk dipinang, maka ketika karir yang dia inginkan sudah tercapai, ternyata usianya tidak seperti yang dulu disamping para laki-laki enggan untuk maju kepadanya dikarenakan faktor usia, khawatir ditolak, minder dengan karirnya yang tak sebanding dengan dirinya akhirnya diapun menjadi perawan tua yang gelisah sepanjang hari didalam penantian akan datangnya seorang suami.

Keenam : Belum mapan

Ini diantara faktor yang menjadi sebab banyaknya pemuda kaum muslimin yang menunda menikah padahal diantara mereka ada yang hukumnya sudah wajib untuk menikah, bahkan tak sedikit yang terjatuh dalam perbuatan maksiat. Jadi kenapa dia harus menunggu mapan dengan ukuran harus punya rumah sendiri, kendaraan sendiri, gaji bulanan dan yang lainnya. Jika ia mampu menikah membiyayai pernikahan yang sederhana lalu setelah itu ia berusaha memenuhi kebutuhannya seperti rumah, kendaraan misalnya maka hal itu perkara yang baik. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“ Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk kawin) dari hamba sahayamu laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui “ (Qs. An Nur’ : 32 )

Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdurrahman As Sa’di Rahimahullah :“ ( Pada ayat Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia Nya ) Tidak menghalangi mereka apa yang mereka khawatirkan bahwasannya jika mereka menikah akan menjadi miskin dengan disebabkan banyaknya tanggunan dan yang semisalnya. Didalam ayat ini terdapat anjuran untuk menikah dan janji Allah bagi orang yang menikah dengan diberikan kekayaan setelah sebelumnya miskin “ (Taisiir ar Karimi ar Rahman pada ayat ini )

Ketujuh : Lingkungan yang jelek

Lingkungan yang jelek sangat mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang, masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama, sangat mempengaruhi pola pikir para pemuda dan pemudi dalam keinginannya untuk menikah. Maka sangat jarang pemuda yang ingin segera menikah ketika ia jauh dari agama, hidup ditengah-tengah masyarakat yang rusak, tersebarnya fitnah syahwat, perzinaan dan pelacuran. Karena dia menganggap suatu hal yang aneh ketika ia harus menikah muda padahal dia bisa bersenang-senang dengan wanita yang mana saja yang ia sukai tanpa harus menikah dan memikul tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Disatu sisi jika seorang pemuda yang taat beragama ingin segera menikah maka tak jarang masyarakat atau lingkungan sekitar bertanya-tanya dan menganggap aneh bahkan menyalahkan sikapnya itu, terlebih lagi ketika seorang wanita menerima lamaran seorang pria yang akan menikahinya dengan dipoligami (menjadi istri ke 2, 3 atau 4) anda akan melihat reaksi yang luar biasa. Dari mulai mencaci hingga mengutuk dialamatkan kepada pelaku poligami. Tapi ketika ada tetangganya yang MBA (menikah karena hamil dari perbuatan zina) lalu orang tuanya segera menikahi anaknya tersebut maka seakan-akan tidak ada reaksi sedikitpun dari masyarakat, menganggap hal itu suatu yang biasa.

Kedelapan : Tingginya mahar

Diantara faktor banyaknya pemuda dan pemudi kaum muslimin terlambat menikah adalah tingginya mahar. Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam. Sebagimana disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam : “ Sebaik-naik pernikahan ialah yang paling mudah “ (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan ath Thabrani dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Dalam hadist lain Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda : “ sesungguhnya diantara kebaikkan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya “ (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al Hakim, dihasnkan oleh Syaikh al Albani)

Kesembilan : Berlebih-lebihan menetapkan syarat dan biaya pernikahan

Diantara problem seorang pemuda ketika ingin menikah adalah ketika dia dituntut untuk membiayai pernikahan dengan biaya yang berlebihan maka tak jarang para pemuda megurunkan niatnya untuk segera menikah. Karena di benaknya terpikir dia harus mempersiapkan puluhan juta untuk menikah. Akhirnya banyak dari pemuda dan pemudi kaum muslim yang terlambat menikah. Bahkan ada yang gagal menikah lantaran salah satu pihak menyaratkan untuk biaya pernikahan yang mahal. Jelas hal ini menyelisihi syar’i.

Belum lagi syarat-syarat yang terkadang memberatkan seseorang untuk segera menikah. Ada yang menyaratkan harus tinggal dikota tempat keluarganya tinggal, sebagian lagi menyaratkan harus memakai adat mempelai wanita walaupun menyelisihi syar’i atau menghambur-hamburkan uang dan yang lainnya.

Kesepuluh : Adat

Diantara faktor sebagian wanita terlambat menikah adalah dikarenakan adat yang menyelisihi syar’i sebuah adat yang mungkar yaitu melarang seorang adik menikah terlebih dahulu daripada kakaknya. Seorang akhwat menceritakan kisahnya terpaksa proses kearah pernikahan dengan seorang ikhwan harus terhenti akibat ayahnya bersikukuh tidak boleh dia menikah sebelum kakaknya.

Kesebelas : Berpaling dari Poligami

Solusi ini bukanlah suatu hal yang mustahil dan bukan juga sesuatu yang sulit diraih bahkan sangat mungkin untuk dilakukan. Tentang syariat poligami Allah Ta’ala berfirman :Diantara faktor banyaknya wanita yang terlambat menikah bahkan tidak menikah hingga akhir hayatnya atau janda susah untuk menikah kembali dikarenakan berpalingnya mereka dari syariat poligami. Syariat poligami adalah syariat yang sangat agung yang disyariatkan oleh Rabb semesta alam. Syari’at yang sesuai dengan fitrah manusia. Dimana pada masa ini jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki maka solusi yang tepat adalah dengan poligami.

فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“ Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. “(Qs. An Nisa’ : 3).

Maka tak jarang seorang pria yang sudah beristri yang ingin menikah lagi dengan seorang wanita untuk dijadikan istri kedua, tiga atau keempat sering kali ditolak baik sama wanita tersebut atau sama keluarganya, walaupun dengan resiko putrinya menjadi perawan tua bahkan mungkin dengan resiko berzina -naudzubillah-, atau dengan resiko mati tanpa merasakan indahnya pernikahan. Tak tahu apa yang menjadi pertimbangan mereka kecuali hawa nafsu, perasaan yang telah rusak dengan pemikiran menyimpang dan pendidikan yang buruk disamping konspirasi musuh-musuh islam.

Disamping terkadang justru yang lari dari syariat poligami adalah pria itu sendiri. Hal ini dikarenakan sebagian pria walaupun dia memiliki kemampuan untuk beristri lebih dari satu disamping dapat berlaku adil tetapi dia tidak pernah berpikir untuk menikah lagi setelah menikah dengan istrinya yang pertama. Maka jika para laki – laki yang mempunyai kemampuan berbuat adil itu bergerak untuk menikahi wanita – wanita yang belum menikah apalagi wanita yang terlambat menikah maka hal ini menjadi sebuah solusi dari banyaknya wanita-wanita yang belum menikah.

Inilah diantara beberapa faktor dan alasan kenapa banyak dari pemuda dan pemudi kaum muslimin terlambat menikah. Adapun solusi dari semua ini adalah menghilangkan sebab dan alasan diatas. Semoga mereka semua segera sadar dan semoga Allah memudahkan urusan kita semua terutama dalam mendapatkan pendamping yang shaleh dan shalehah… Amin.

Sumber : http://nikahmudayuk.wordpress.com/2011/01/15/beberapa-faktor-dan-alasan-kenapa-mereka-terlambat-menikah/

http://kaahil.wordpress.com/2011/03/12/11-faktor-penyebab-kenapa-anda-terlambat-menikah-belum-mapan-alasan-studi-karir-terlalu-idealis-berpaling-dari-poligami-dll/

جزاك الله خيرا وبارك الله فيكم. “Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog Kami.
thank you