Bismillah,
Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Kewajiban berhijab bagi
wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya adalah karena Allah
subhanahu wa ta’ala yg memerintahkan hal tersebut di dalam Al-Qur’an. Di antaranya Dia Yang Maha Tinggi berfirman:
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada
para istri Nabi maka mintalah dari balik hijab. Yang demikian itu lebih
suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (QS.Al-Ahzab: 53)
Samahatusy Syaikh Al-Walid Ibnu Baz berkata tentang ayat di atas, “Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi dan wanita-wanita kaum mukminin selain mereka.” (Hukmus Sufur wal Hijab yang terangkum dalam Majmu’ah Rasa’il fil Hijab was Sufur, hal. 58)
Beliau juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri dari lelaki (non mahram/ajnabi).
Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa
berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita serta lebih
menjauhkan dari perbuatan keji berikut sebab-sebabnya. Allah
mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan,
sedangkan berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” {At-Tabarruj wa
Khatharuhu, hal. 8}
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
hafizhahullah berkata: “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para
istri Nabi, namun hukumnya umum meliputi seluruh wanita yang beriman.
Karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan
Allah dengan firman-Nya:
“Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka” (QS.Al-Mukminat, hal. 64)”
Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.
● Pakaian Muslimah yang Syar’i
Pembicaraan tentang hijab tentunya tidak
bisa terlepas dari pembicaraan tentang pakaian wanita di hadapan ajnabi
atau lelaki yang bukan mahramnya. Maka di sana kita tahu ada yang
namanya jilbab. Setiap jilbab adalah hijab, namun tidak setiap hijab
adalah jilbab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan ayat tentang
jilbab berkaitan dengan keluarnya wanita dari tempat tinggalnya, yang
berarti bila keluar rumah ia harus mengenakan jilbab. Adapun ayat
tentang hijab berkaitan bila terjadi pembicaraan antara wanita dengan
lelaki ajnabi di tempat-tempat tinggal. Maksudnya, bila seorang lelaki
ajnabi memiliki keperluan dengan wanita ajnabiyah maka komunikasinya
harus dari balik hijab.
Allah berfirman tentang jilbab:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
(QS.Al-Ahzab: 59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memaknakan
jilbab dengan mala’ah (baju panjang), yang dinamakan Ibnu Mas’ud dan
selainnya dengan rida’, sedangkan orang awam menyebutnya dengan izar. Jilbab adalah izar besar yang menutup kepala dan seluruh tubuh wanita.
Abu Ubaid dan selainnya menghikayatkan bahwa wanita menjulurkan jilbab
tersebut dari atas kepalanya sehingga tidak ada yang nampak dari si
wanita kecuali matanya. {Hijabul Mar’ah wa Libasuha fish Shalah, hal.
7-8}
● Ulama
kita yang mulia telah menetapkan syarat-syarat pakaian yang syar’i bagi
muslimah ketika keluar dari rumahnya, atau ketika berhadapan dengan
lelaki ajnabi. Di antaranya:
1. Pakaian itu panjang hingga menutupi seluruh tubuhnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya.
2. Tebal, tidak boleh tipis sehingga menampakkan warna kulit.
3. Tidak ketat hingga membentuk lekuk-lekuk tubuh.
4. Tidak menyerupai pakaian yang khusus dipakai oleh lelaki sesuai dengan kebiasaan yang ada di masyarakatnya.
5. Bukan pakaian perhiasan atau diberi hiasan-hiasan sehingga menarik pandangan (orang lain) karena bagusnya pakaiannya.
Syarat pertama, kedua, dan ketiga dipahami dari hadits Rasulullah:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَـمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْـجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا كَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka
yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang
membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul
manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka
miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk
unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium
wanginya surga, padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak
perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)
Al-Imam An-Nawawi menyatakan hadits di
atas termasuk mukjizat kenabian karena dua golongan yang disebutkan oleh
Rasulullah tersebut telah muncul dan didapatkan. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ,
wanita-wanita itu memakai nikmat Allah tapi tidak mensyukurinya. Ada
pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka
dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna
lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya
dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.
مَائِلاَتٌ maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan dari perkara yang semestinya dijaga.
مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain.
Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ,
dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan
menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir
rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur,
mereka juga menyisir rambut wanita lain dengan model sisiran seperti
mereka.
رُؤُوْسُهُنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336)
Para wanita yang disebutkan dalam hadits
di atas mengenakan pakaian tapi tidak menutupi tubuh mereka, karena
mereka mungkin memakai pakaian yang tipis sehingga menampakkan kulitnya,
atau memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya.
Padahal yang semestinya dikenakan oleh wanita saat keluar
rumahnya adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak
menampakkan kulit di balik pakaiannya, tidak pula membentuk tubuhnya,
karena pakaian itu tebal dan lebar/lapang. (Majmu’ Al-Fatawa, 22/146)
Adapun syarat keempat didapatkan dari hadits Nabi dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa:
“Rasulullah melaknat laki-laki yang
tasyabbuh (menyerupai) dengan wanita dan melaknat wanita yang tasyabbuh
dengan lelaki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885)
Sedangkan syarat kelima dipahami dari
adanya larangan bagi wanita untuk tabarruj atau menampakkan perhiasannya
kepada orang yang tidak halal untuk melihatnya. Allah berfirman:
“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Fadhalah ibnu ‘Ubaid berkata, Rasulullah bersabda:
“Ada tiga golongan, jangan engkau tanya
tentang mereka… (Di antara mereka adalah) Seorang istri yang suaminya
sedang pergi meninggalkannya (tidak di rumah/negerinya) dalam keadaan
suaminya telah mencukupkan kebutuhan dunianya, namun sepeninggal
suaminya ia mempertontonkan perhiasannya di hadapan lelaki ajnabi
(tabarruj).” (HR. Al-Hakim 1/119, Ahmad 6/19. Kata Al-Hakim, “Hadits ini
di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan aku tidak mengetahui ada
illat/penyakit padanya.” Adz-Dzahabi t menyetujuinya. Dihasankan oleh
Ibnu ‘Asakir t dalam Madhut Tawadhu’, 5/88/1)
Kepada mereka yang berbaju
muslimah, hendaklah memerhatikan dan merenungkan apakah pakaian yang
dikenakannya saat keluar rumah telah memenuhi syarat yang ditetapkan
dalam syariat agamanya yang mulia? Bila belum, maka berbenahlah…
.
● Disyariatkannya Menutup Wajah (bercadar/niqob)
Berbicara tentang hijab dan jilbab tak
bisa lepas dari pembicaraan tentang menutup wajah. Apatah lagi di zaman
sekarang di mana fitnah (godaan) antara lawan jenis semakin besar.
Walaupun dalam masalah menutup wajah ini ada ulama(1) yang berpendapat tidak wajib tapi sunnah hukumnya, namun penulis lebih condong kepada pendapat yang mengharuskan wanita menutup wajahnya, dengan beberapa dalil berikut ini:
1. Ibnu Umar menyebutkan secara marfu’ bahwa Nabi bersabda:
“Wanita yang sedang berihram tidak boleh
memakai niqab (penutup wajah) dan tidak boleh pula memakai kaos tangan.”
(HR. Al-Bukhari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam tafsirnya terhadap surah An-Nur menyatakan, “Ini
menunjukkan bahwa niqab dan kaos tangan dulunya sudah dikenal oleh para
wanita yang sedang tidak berihram. Ini memberikan konsekuensi bahwa
mereka biasa menutup wajah dan tangan mereka.” (At-Tafsirul Kamil, hal 67)
2. Aisyah mengabarkan, “Saudah
pernah keluar rumah untuk menunaikan hajatnya setelah turun perintah
hijab. Dia adalah seorang yang berperawakan tinggi besar, tidak
tersembunyi bagi orang yang mengenalnya. Ketika itu Umar ibnul Khaththab
melihat Saudah, ia berkata, ‘Wahai Saudah, demi Allah, engkau tidak
tersembunyi bagi kami, maka hendaknya engkau perhatikan bagaimana
keluarmu.’ Saudah pun pulang kembali. Ketika itu Rasulullah
sedang berada di rumahku. Ketika Saudah masuk, beliau sedang makan
malam, di tangan beliau ada tulang. Saudah mengadu, “Wahai Rasulullah,
aku tadi keluar untuk menunaikan sebagian hajatku, maka Umar berkata
kepadaku demikian dan demikian.” Saat itu Allah menurunkan wahyu-Nya
kepada beliau dalam keadaan beliau belum meletakkan tulang tersebut dari
tangannya. Beliau bersabda setelahnya, ‘Telah diizinkan kepada kalian
untuk keluar guna menunaikan hajat kalian’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
(Saudah adlh wanita yg berperawakan
tinggi besar sehingga meskipun terhijab seluruhnya namun Umar dpt
mengenalinya, hal itu menandakan bahwa Saudah berhijab seluruh tubuh
termasuk menutupi wajahnya-pen)
3. Dalam peristiwa Ifk, Aisyah berkisah
dengan panjang, di antaranya ia berkata, “Ketika aku sedang duduk di
tempatku berada, rasa kantuk menyerangku hingga aku tertidur. Saat itu
Shafwan ibnul Muaththal As-Sulami Adz-Dzakwani berada di belakang
pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia
melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan
mengenaliku, karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab.
Aku terbangun dengan ucapan istirja’nya ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Masih penuturan Aisyah tentang hajinya
bersama Rasulullah, “Adalah para pengendara melewati kami dalam keadaan
kami bersama Rasulullah sedang berihram (muhrim). Bila mereka melewati
salah seorang kami (para wanita rombongan Rasulullah), ia menjulurkan jilbabnya dari kepalanya menutupi wajahnya.
Bila mereka telah berlalu, kami pun menyingkap wajah kami.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, dan yang lainnya. Hadits ini hasan dengan syawahidnya. Lihat
Al-Irwa’ no. 1023, 1024)
5. Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq menuturkan berita yang sama dengan berita saudarinya Aisyah di atas, ”Kami menutupi wajah kami dari pandangan lelaki (saat berihram)…” (HR. Al-Hakim, ini merupakan salah satu syahid bagi hadits Aisyah di atas)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
hafizhahullah berkata, “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, ulama yang
membolehkanmu membuka wajah –dan pendapat mereka ini lemah– mensyaratkan
hal tersebut bila aman dari fitnah. Sementara tidak aman dari
terjadinya fitnah khususnya di zaman ini, di mana sedikit orang yang
baik agamanya di kalangan lelaki dan wanita, sedikit rasa malu, dan
banyak terdapat da’i-da’i yang menyeru kepada fitnah. Para wanita
membuat fitnah dengan meletakkan beragam perhiasan di wajah mereka, yang
hal itu mengajak kepada fitnah. Maka berhati-hatilah engkau, wahai
saudariku muslimah, dari hal tersebut. Teruslah mengenakan hijab yang
dapat menjagamu dari fitnah dengan izin Allah. Tidak ada seorang pun
dari ulama kaum muslimin yang teranggap ilmunya, baik dahulu maupun
sekarang, yang memperkenankan apa yang diperbuat para wanita yang
membuat fitnah tersebut.” (Al-Mu’minat, hal. 66)
● Menepis Keraguan tentang Wajibnya Menutup Wajah
Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin berkata, “Dibukanya wajah wanita termasuk sebab fitnah dan kejelekan.
Perkaranya sebagaimana yang kalian ketahui, tampak sekarang ini di
beberapa negeri yang memberi kelonggaran kepada wanita-wanitanya untuk
membuka wajah mereka. Apakah para wanita yang diberi kelonggaran untuk
membuka wajah itu mencukupkan diri dengan hanya membuka wajahnya?
Jawabannya tidak! Bahkan selain membuka wajah, mereka juga membuka
kepala, lutut, leher, lengan bawah, betis, dan kadang-kadang dada.
Mereka yang memberikan kelonggaran tersebut tidak mampu untuk mencegah
wanita-wanita mereka dari melakukan perkara yang mereka sendiri
mengakuinya sebagai sesuatu yang mungkar dan haram. Bila dibuka satu
pintu kejelekan, niscaya pintu-pintu lain akan menyusul terbuka.”
Asy-Syaikh melanjutkan bahwa akal yang sehat menunjukkan wajibnya wanita menutup wajahnya. Amatlah
mengherankan bila ada orang yang mengharuskan wanita menutupi telapak
kakinya dan membolehkan wanita menampakkan telapak tangannya, sementara
telapak tangan lebih menarik dengan jari-jemari yang lentik dan
kuku-kuku yang indah. Demikian pula orang yang mewajibkan wanita menutup
telapak kakinya dan membolehkannya membuka wajah, padahal di wajah itu
ada alis yang teratur indah, ada bulu mata yang hitam lentik. Secara
akal, manakah di antara keduanya yang paling pantas untuk ditutupi? Apakah
mungkin syariat Islam yang sempurna ini mewajibkan wanita menutup
kakinya, sedangkan wajahnya diperkenankan untuk dibuka? Tentu saja tidak
mungkin selama-lamanya!!! Karena lelaki lebih terpaut dan tertarik
dengan wajahnya wanita daripada telapak kaki si wanita.
Bila ada seorang lelaki hendak melihat wanita yang akan dinikahinya,
tentunya yang pertama ingin dilihatnya adalah wajah si wanita,
cantikkah? Fitnah wajah wanita bertambah besar di masa ini, karena wajah
itu dipoles dan diperindah dengan berbagai make-up yang berwarna merah
dan selainnya.
Masih kata Asy-Syaikh, “Saya menyaksikan
ucapan sebagian orang belakangan (muta’akkhirin) yang menyatakan bahwa
ulama muslimin sepakat wajibnya menutup wajah bagi wanita karena
fitnahnya besar. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh penulis Nailul
Authar dari Ibnu Ruslan, ia berkata, ‘Karena orang-orang sekarang
imannya lemah dan kaum wanita kebanyakannya tidak menjaga kehormatan
diri.’ Dengan demikian wajah wanita wajib ditutup.
Sampaipun misalnya kami berpendapat boleh (mubah) membuka wajah, niscaya
keadaan kaum muslimin pada hari ini mengharuskan pendapat yang
mewajibkan menutup wajah. Karena bila sesuatu yang mubah menjadi
perantara kepada perkara yang diharamkan, niscaya ia menjadi haram pula
sebagai pengharaman wasa’il (sarana).”
Di akhirnya, Asy-Syaikh menegaskan,
“Seandainya pun kami berpendapat boleh membuka wajah, niscaya amanah
ilmiah dan penjagaan/perhatian yang dibangun di atas amanah mengharuskan
agar kami tidak mengatakan bolehnya membuka wajah di masa ini, di mana
banyak terjadi fitnah. Kita melarang wanita membuka wajah dalam hal ini
termasuk dari bab pengharaman wasa’il. Walaupun sebenarnya dari dalil
yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa membuka wajah
ini merupakan tahrim maqashid, bukan tahrim wasa’il. “ (Fatawa Al-Mar’ah
Al-Muslimah, hal. 419, 420)
● Nasihat untuk Wanita yang Mendapat Penentangan dalam Berhijab
Seorang remaja putri pernah mengadukan
permasalahannya. Ia mengenakan hijab/menutup wajahnya bila keluar rumah
atau berhadapan dengan lelaki ajnabi, namun mendapat penentangan dari
keluarganya. Mereka mengolok-oloknya bahkan sampai memukulnya. Mereka
melarang anak gadis ini keluar rumah sembari memaksanya agar
menanggalkan hijabnya. Mereka memperkenankannya memakai pakaian panjang
dengan kerudung tapi tanpa penutup wajah.
Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu
Shalih Al-Utsaimin memberikan nasihat kepada remaja putri tersebut
berikut wanita-wanita lain yang mungkin menghadapi permasalahan yang
sama atau hampir sama dengan yang telah disebutkan di atas. Beliau
berkata, “Pertanyaan ini mengandung dua masalah:
Pertama: Muamalah keluarga si remaja ini
terhadap dirinya merupakan muamalah yang buruk/jelek. Muamalah
orang-orang yang bisa jadi mereka bodoh, tidak mengetahui al-haq, atau
mereka adalah orang-orang yang sombong dari menerima kebenaran. Muamalah
mereka adalah muamalah yang liar, karena al-haq tidak mengiringi mereka
dalam muamalah tersebut. Hijab itu bukanlah aib/cacat ataupun cela,
bukan pula adab yang jelek. Manusia itu adalah orang merdeka dalam
batasan-batasan syariat.
Bila keluarga si remaja tersebut tidak
mengetahui bahwa hijab diwajibkan bagi wanita maka mereka wajib
diberitahu dengan membawakan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila
ternyata mereka tahu tentang kewajiban tersebut akan tetapi mereka
berlaku sombong maka musibahnya menjadi lebih besar, sebagaimana ucapan
seseorang:
Jika engkau tidak mengetahui maka itu adalah musibah. Dan jika ternyata engkau tahu maka musibah itu lebih besar lagi.
Kedua: Tertuju kepada si remaja. Kami
katakan kepadanya, wajib baginya bertakwa kepada Allah l semampunya.
Bila memungkinkan baginya memakai hijab tanpa diketahui oleh keluarganya
maka ia lakukan. Adapun jika mereka memukulnya dan memaksanya untuk
melepas hijab tersebut maka tidak ada dosa baginya. Karena Allah
berfirman:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah
setelah dia beriman (dia akan beroleh kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka
dia tidak berdosa)…” (QS.An-Nahl: 106)
Dan firman-Nya:
“Dan tidak ada dosa bagi kalian terhadap
perkara yang kalian khilaf (jatuh dalam kesalahan tanpa sengaja) di
dalamnya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hati
kalian.” (QS.Al-Ahzab: 5)
Akan tetapi ia harus bertakwa kepada Allah semampunya.
Apabila keluarganya tidak mengetahui
hikmah diwajibkannya hijab bagi wanita maka kita katakan, “Wajib bagi
seorang mukmin untuk terikat dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sama
saja ia tahu hikmah perintah tersebut ataupun tidak. Karena, terikat
dengan perintah itu sendiri merupakan hikmah. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi wanita yag beriman, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (QS.Al-Ahzab: 36)
Karena itulah tatkala Aisyah ditanya,
“Kenapa wanita haid hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak mengqadha
shalat?” Aisyah menjawab, “Dulu di masa Rasulullah kami ditimpa haid,
maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah
mengqadha shalat.” Aisyah menjadikan perintah semata sebagai hikmah.
Bersamaan dengan itu, hikmah disyariatkannya hijab demikian jelas.
Karena membiarkan tempat keindahan dan kecantikan wanita
terbuka merupakan sebab fitnah. Bila terjadi fitnah akan terjadi maksiat
dan perbuatan keji. Bila dibiarkan terjadi kemaksiatan dan kekejian,
maka itu merupakan tanda kehancuran dan kebinasaan.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 428-429)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
* (1)
Di antara ulama masa kini yang berpendapat sunnah, tidak wajib, adalah
Asy-Syaikh Al-Albani. Beliau menjelaskannya dalam dua kitabnya: Jilbabul
Mar’ah Al-Muslimah dan Ar-Raddul Mufhim. Beliau juga menyatakan bahwa
ini adalah pendapat para ulama terdahulu. (ed)
Sumber: http://www.asysyariah.com/sakinah/niswah/507-pakaian-wanita-dihadapan-non-mahram-niswah-edisi-52.html