Bismillah,
Oleh : Al-Ustadz Abu Muawiah
Pada bab ini kami akan menukil sebahagian perkataan orang-orang yang
membolehkan perayaan maulid, yang dari perkataan mereka akan nampak
jelas bahwa mereka menganggap perayaan ini termasuk bagian dari agama
dan bahwa yang menghadiri perayaan tersebut diberikan pahala atasnya.
1.
As-Suyuthy berkata dalam Husnul Maqshod fii ‘Amalil Maulid yang
tergabung dalam kitab Al-Hawy Lil Fatawa (1/189), “Asal amalan maulid
-berupa berkumpulnya manusia, membaca sesuatu yang mudah dari Al-Qur`an,
meriwayatkan hadits-hadits yang warid (datang) tentang awal perkara
(baca: kelahiran) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan
sesuatu yang terjadi pada saat kelahiran beliau berupa tanda-tanda yang
hebat, kemudian di hidangkan kepada mereka makanan yang mereka makan,
lalu mereka semua pulang tanpa ada tambahan dari hal-hal di atas-, ini
adalah bid’ah hasanah, pelakunya diberikan ganjaran pahala atasnya
karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap kedudukan Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, menampakkan kesenangan dan
kegembiraan dengan hari kelahiran beliau yang mulia”.
2.
Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliky berkata dalam Haulal Ihtifal bil Maulid
An-Nabawy (hal. 15-16), “Sesungguhnya perayaan maulid berupa kumpulnya
manusia, dzikir, sedekah dan pujian serta pengagungan terhadap diri
Nabi, ini adalah sunnah dan merupakan perkara-perkara yang dituntut dan
terpuji dalam syari`at dan telah datang hadits-hadits yang shohih
tentangnya dan motifasi atasnya”.
Dia juga berkata pada hal. 20
tentang perayaan maulid, “Maka setiap kebaikan yang dicakup oleh
dalil-dalil syar`i, tidak dimaksudkan dengannya menyelisihi syari’at dan
tidak ada kemungkaran di dalamnya -yang dia maksudkan adalah perayaan
maulid- maka dia adalah bagian dari agama”.
3.
‘Isa Al-Himyary berkata dalam Bulughul Ma`mul fii Hukmil Ihtifa` wal
Ihtifal bi Maulidir Rasul (hal. 30) setelah menyebutkan bahwa Al-Qur`an
memaparkan kepada kita kisah-kisah kebanyakan para nabi, “Inilah yang
dijadikan dalil tentang benarnya penyunnahan (hukumnya sunnah) merayakan
maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-”.
4.
Muhammad bin Ahmad Al-Khazrajy berkata dalam Al-Qaulul Badi’ fir Roddi
‘alal Qo`ilina bit Tabdi’ (hal. 29), “Para ulama memiliki beberapa
karangan tentang maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-, dan nanti akan kami jelaskansunnahnya membaca kisah maulid
berdasarkan firman Allah -Ta’ala- :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya` : 107)
{Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid, bab kedua, yang ditulis oleh Abu Mu’adz As-Salafy}
Syubhat dan Argumen Orang-Orang yang Membolehkan Perayaan Maulid Beserta Bantahannya
Oleh Al-Ustadz Abu Muawiah
Orang-orang
yang membolehkan perayaan maulid ini memiliki banyak dalil
(baca:syubhat), dan di sini kami akan menyebutkan 22 dalil sebagai wakil
dari dalil-dalil mereka yang tidak tersebutkan di sini. Itupun semua
dalil mereka hanya berkisar pada 4 keadaan:
1. Ayat atau hadits yang shohih akan tetapi salah pendalilan.
2. Hadits lemah, bahkan palsu yang tidak bisa dipakai berhujjah.
3. Perkataan sebagian ulama, yang mereka ini bukan merupakan hujjah bila menyelisihi dalil.
4. Alasan yang dibuat-buat untuk mencapai maksud mereka yang rusak.
Berikut uraiannya:
1. Firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam surah Yunus ayat 58:
“Katakanlah:
Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada
sesuatu yang mereka kumpulkan”.
Mereka
berkata, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memerintahkan kita untuk
bergembira dengan rahmat-Nya. Sedang Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam- adalah rahmat-Nya yang paling besar. Oleh karena itulah,
kita bergembira dan merayakan maulid (hari lahir) beliau”.
Di
antara yang berdalilkan dengan ayat ini adalah seorang yang bernama
Habib Ali Al-Ja’fary Ash-Shufy dalam sebuah kasetnya yang berjudul
Maqoshidul Mu`minah wa Qudwatuha fil Hayah.
Bantahan:
1. Berdalilkan dengan ayat ini untuk membolehkan maulid adalah suatu
bentuk penafsiran firman Allah -Ta’ala- dengan penafsiran yang tidak
pernah ditafsirkan oleh para ulama salaf dan mengajak kepada suatu
amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Ini adalah
perkara yang tidak diperbolehkan sebagaimana telah berlalu penegasannya
pada bab Pertama.
Ibnu ‘Abdil Hady -rahimahullah- berkata dalam
Ash-Shorimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, hal. 427, “… dan tidak boleh
memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran
yang tidak pernah ada di zaman para ulama salaf,yang mereka tidak
diketahui dan tidak pernah pula mereka jelaskan kepada ummat. Karena
perbuatan ini mengandung (tudingan) bahwa mereka tidak mengetahui
kebenaran, lalai darinya. Sedang yang mendapat hidayah kepada kebenaran
itu adalah sang pengkritik yang datang belakangan, maka bagaimana lagi
jika penafsiran tersebut menyelisihi dan bertentangan dengan penafsiran
mereka ?!”.
1. Para pembesar ulama tafsir telah menafsirkan ayat
yang mulia ini dan tidak ada sedikitpun dalam penafsiran mereka bahwa
yang diinginkan dengan rahmat di sini adalah Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Yang ada hanyalah bahwa rahmat yang
diinginkan di sini adalah Al-Qur`an dan Al-Islam sebagaimana yang
diinginkan dalam ayat sebelumnya, yaitu firman Allah -Ta’ala-:
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan
kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada,
serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah:
Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya …”. (QS. Yunus : 57-58)
Inilah
penafsiran yang disebutkan oleh Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thobary -rahimahullah- dalam Tafsir beliau (15/105).
Imam
Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Abu
Sa’id Al-Khudry dan Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata,
“Karunia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah Al-Islam”. Juga
dari keduanya (berkata), “Karunia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya
adalah dia menjadikan kalian ahli Qur`an”. Dari Al-Hasan, Adh-Dhohak,
Mujahid, dan Qotadah, mereka menafsirkan, “Karunia Allah adalah iman dan
rahmat-Nya adalah Al-Qur`an”.[Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (8/353)]
Imam
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata dalam Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah
‘ala Ghozwul Mu’aththilah wal Jahmiyah hal. 6, “Perkataan para ulama
salaf berputar di atas penafsiran bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya
adalah Al-Islam dan As-Sunnah”.
1. Sesungguhnya yang menjadi
rahmat bagi manusia bukanlah kelahiran beliau, akan tetapi rahmat
terhasilkan hanyalah ketika beliau diutus kepada mereka. Makna inilah
yang ditunjukkan oleh nash-nash syari’at:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya` : 107)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
“Sesungguhnya
saya tidaklah diutus sebagi orang yang suka melaknat, akan tetapi saya
diutus hanya sebagai rahmat”. (HR. Muslim no. 2599 dari Abu Hurairah
-radhiyallahu ‘anhu-)
1. Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid
-rahimahullah- berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id
Al-Kaukabury [Dia adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di
negeri Maushil sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya], “Dia
mengadakan perayaan tersebut pada malam kesembilan (Rabi’ul Awal)
menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadits bahwa beliau -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan pada malam itu (kesembilan)
dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan para
ulama” [Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan hal.
49].
Maka betapa mengherankannya para pelaku maulid ini, mereka
bergembira dan bersenang-senang pada tanggal diwafatkannya Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (12 Rabi’ul Awwal),
sementara hari kelahiran beliau adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal menurut
pendapat yang paling kuat, maka apakah ada kerusakan dan kerancuan akal
yang lebih parah dari ini?!
Ibnul Hajj -rahimahullah- berkata
dalam Al-Madkhal (2/15), “Kemudian yang sangat mengherankan,
bisa-bisanya mereka merayakan maulid disertai dengan nyanyian,
kegembiraan, dan keceriaan karena kelahiran beliau -‘Alaihis sholatu
wassalam- -sebagaimana yang telah berlalu- pada bulan yang mulia ini.
Padahal pada bulan ini juga beliau -‘Alaihis sholatu wassalam- berpindah
menuju kemuliaan Tuhannya -’Azza wa Jalla- (yakni wafat-pen.) yang
mengagetkan ummat (para sahabat-pen.). Mereka (para sahabat) ditimpa
oleh musibah besar yang tidak ada satu musibahpun yang mampu
menandinginya selama-lamanya. Oleh karena itu, keharusan atas setiap
muslim adalah menangis, banyak-banyak bersedih, dan merenungi dirinya
masing-masing terhadap musibah ini …”.
1. Kemudian kita katakan
kepada mereka, “Bukankah ayat ini turun kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam- ?! Lantas kenapa beliau tidak pernah merayakan
maulid sebagai bentuk pengamalan bagi ayat?! Kenapa juga beliau tidak
pernah memerintahkan para sahabat dan keluarga beliau untuk
melakukannya?! Padahal beliau adalah orang yang paling bersemangat
mengajari manusia dengan perkara yang bermanfaat bagi mereka dan yang
mendekatkan mereka kepada Penciptanya”.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hl. 173-177 dan Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat pertama)
2. Firman Allah -‘Azza wa Jalla- dalam surah Al-Ahzab ayat 56 :
“Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya”.
Mereka
mengatakan bahwa perayaan maulid bisa memotifasi sekaligus sarana untuk
bersholawat kepada Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.
Bantahan:
1. Sama dengan bantahan pertama pada syubhat pertama.
2. Syaikh Hamud At-Tuwaijiry -rahimahullah- berkata dalam Ar-Roddul
Qowy, hal. 70-71, “Sungguh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- telah memotifasi untuk memperbanyak bersholawat kepada beliau
di waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Jum’at, setelah adzan, ketika
nama beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- disebut, dan
waktu-waktu lainnya. Sekalipun demikian, beliau tidak pernah
memerintahkan atau memotifasi untuk bersholawat kepada beliau pada malam
maulid beliau. Jadi, seyogyanya diamalkan sesuatu yang diperintahkan
oleh Rasululullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan
ditolak segala sesuatu yang beliau tidak perintahkan”. -Selesai dengan
sedikit perubahan-
Syaikh Al-Muqthiry dalam Al-Mawrid hal. 18
menyatakan, “Bersholawat kepada Nabi adalah perkara yang dituntut
terus-menerus, bukan hanya di awal tahun atau dalam dua hari sepekan.
Allah -Ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya”. (QS. Al-Ahzab : 56)
Beliau -‘alaihish sholatu wassalam- bersabda:
“Barangsiapa
yang bersholawat atasku satu kali, maka Allah akan bersholawat atasnya
sepuluh kali” (HR. Muslim no. 384, 408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul
‘Ash dan Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhuma-).
Beliau telah
memerintahkan untuk bersholawat kepadanya setelah adzan, dalam sholat
dan demikian pula ketika nama beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- disebut.
Beliau bersabda:
“Kecelakaan bagi
seseorang yang mendengar namaku disebut di sisinya, lantas dia tidak
bershalawat kepadaku” (Telah berlalu takhrijnya).
“Orang yang
kikir adalah orang yang namaku disebutkan di sisinya, lalu dia tidak
bersholawat atasku” (HR. At-Tirmidzy (3546) dan An-Nasa`iy dalam
Al-Kubro(8100, 9883) dari Al-Husain bin ‘Ali -radhiyallahu ‘anhuma- dan
dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 2878).
(Rujukan:
Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat kedua dan
Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid hal. 18)
3.
As-Suyuthy berkata dalam Al-Hawy (1/196-197), “…lalu saya melihat
Imamul Qurro`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzy berkata dalam kitab
beliau yang berjudul ‘Urfut Ta’rif bil Maulid Asy-Syarif dengan nash
sebagai berikut, [“Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meningalnya di
dalam mimpi. Dikatakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”, dia menjawab,
“Di dalam Neraka, hanya saja diringankan bagiku (siksaan) setiap malam
Senin dan dituangkan di antara dua jariku air sebesar ini -dia
berisyarat dengan ujung jarinya- karena saya memerdekakan Tsuwaibah
ketika dia memberitahu kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan karena dia telah
menyusuinya”]. Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang Al-Qur`an telah turun
mencelanya, diringankan (siksaannya) di Neraka dengan sebab kegembiraan
dia dengan malam kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-, maka bagaimana lagi keadaan seorang muslim yang bertauhid
dari kalangan ummat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh
kemampuannya dalam mencintai beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-?!, saya bersumpah bahwa tidak ada balasannya dari Allah Yang
Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya berkat keutamaan dari-Nya
ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan”.
Kisah
ini juga dipakai berdalil oleh Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliky dalam
risalahnya Haulal Ihtifal bil Maulid, hal. 8 tatkala dia berkata, “Telah
datang dalamShohih Al-Bukhary bahwa diringankan siksaan Abu lahab
setiap hari Senin dengan sebab dia memerdekakan Tsuwaibah ….”.
Bantahan:
Penyandaran
kisah di atas kepada Imam Al-Bukhary adalah suatu kedustaan yang nyata
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh At-Tuwaijiry dalam Ar-Roddul Qowy
hal. 56. Karena tidak ada dalam riwayat Al-Bukhary sesuatupun yang
disebutkan dalam kisah di atas.
Berikut konteks hadits ini dalam
riwayat Imam Al-Bukhary dalamShohihnya no. 4711 secara mursal [Hadits
Mursal adalah perkataan seorang tabi’in, “Rasululullah -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda ….”, atau ia (tabi’in)
menyandarkan sesuatu kepada Nabi -Shollallahu alaihi wasallam-. Hadits
mursaltermasuk dalam bagian hadits lemah menurut pendapat paling kuat di
kalangan para ulama] dari ‘Urwah bin Zubair -rahimahullah-:
“‘Tsuwaibah,
dulunya adalah budak wanita Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu
dia menyusui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Tatkala
Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada sebagian keluarganya (dalam
mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia (keluarganya ini) berkata
kepadanya, “Apa yang engkau dapatkan?”, Abu Lahab menjawab, “Saya tidak
mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum sebanyak ini [Yakni
jumlah yang sangat sedikit] karena saya memerdekakan Tsuwaibah”.
Syubhat ini dibantah dari beberapa sisi:
1. Hadits tentang diringankannya siksa Abu Lahab ini telah dikaji oleh
para ulama dari zaman ke zaman. Akan tetapi tidak ada seorangpun di
antara mereka yang menjadikannya sebagai dalil disyari’atkannya perayaan
maulid.
2. Ini adalah hadits mursal sebagaimana yang dikatakan oleh
Al-Hafizh dalamAl-Fath (9/49) karena ‘Urwah tidak menyebutkan dari
siapa dia mendengar kisah ini. Sedangkan hadits mursal adalah termasuk
golongan hadits-haditsdho’if (lemah) yang tidak bisa dipakai berdalil.
3. Anggaplah hadits ini shohih maushul (bersambung), maka yang tersebut
dalam kisah ini hanyalah mimpi. Sedangkan mimpi -selain mimpinya para
Nabi- bukanlah wahyu yang bisa diterima sebagai hujjah. Bahkan
disebutkan oleh sebagian ahlil ilmi bahwa yang bermimpi di sini adalah
Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththolib dan mimpi ini terjadi sebelum beliau
masuk Islam.
4. Apa yang dinukil oleh As-Suyuthy dari Ibnul Jauzy di
atas bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena memberitakan
kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan karena
dia menyusui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- adalah
menyelisihi apa yang telah tetap di kalangan para ulama siroh (sejarah).
Karena dalam buku-buku siroh ditegaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan
Tsuwaibah jauh setelah Tsuwaibah menyusui NabiShollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam.
Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr -rahimahullah-
berkata dalam Al-Isti’ab (1/12) ketika beliau membawakan biografi Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Setelah menyebutkan kisah
menyusuinya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- kepada
Tsuwaibah, beliau menyatakan, “… dan Abu Lahab memerdekakannya setelah
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- berhijrah ke Madinah”.
Lihat
juga Ath-Thobaqot karya Muhammad bin Sa’ad bin Mani` Az-Zuhry
-rahimahullah- (1/108-109), Al-Fath (9/48), dan Al-Ishobah (4/250).
1. Kandungan kisah ini menyelisihi zhohir Al-Qur`an yang menegaskan
bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan manfaat dari amalan
baiknya sama sekali di akhirat, akan tetapi hanya dibalas di dunia.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menegaskan:
“Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS. Al-Furqon : 23) [Lihat
Fathul Bary(9/49). Kecuali Abu Thalib yang diringankan siksanya karena
membela Nabi, sebagaimana dalam riwayat Muslim]
1. Kegembiraan
yang dirasakan oleh Abu Lahab hanyalah kegembiraan yang sifatnya tabi’at
manusia biasa karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
adalah keponakannya. Sedangkan kegembiraan manusia tidaklah diberikan
pahala kecuali bila kegembiraan tersebut muncul karena Allah -Subhanahu
wa Ta’ala-. Buktinya, setelah Abu Lahab mengetahui kenabian
keponakannya, diapun memusuhinya dan melakukan tindakan-tindakan yang
kasar padanya. Ini bukti yang kuat menunjukkan bahwa Abu Lahab bukan
gembira karena Allah, tapi gembira karena lahirnya seorang keponakan.
Gembira seperti ini ada pada setiap orang.
(Rujukan: Al-Bida’
Al-Hauliyah hal. 165-170, Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil
Maulid syubhat keenam dan Al-Hiwar ma’al Maliky Syubhat pertama)
4.
Mereka (para pendukung maulid) berkata, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
telah memuliakan sebagian tempat yang memiliki hubungan dengan para
Nabi, misalnya maqom (tempat berdiri) Ibrahim -‘alaihis salam-. Karena
itu, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
“Dan jadikanlah sebahagian maqam (tempat berdiri) Ibrahim sebagai tempat shalat”. (QS. Al-Baqarah : 125)
Di
dalam ayat ini terdapat motifasi untuk memperhatikan semua perkara yang
berhubungan dengan para Nabi. Maka di antara bentuk pengamalan ayat ini
adalah dengan memperhatikan hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam-.
Bantahan:
1. Sama dengan jawaban pertama untuk syubhat pertama.
2. Sesungguhnya seluruh ibadah landasannya adalah tauqifiyah (terbatas
pada dalil yang ada) dan ittiba’, bukan berlandaskan pendapat dan
perbuatan bid’ah. Jadi, perkara apapun yang dimuliakan oleh Allah dan
Rasul-Nya -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- berupa waktu
ataupun tempat, maka hanya itu saja yang berhak untuk dimuliakan. Dan
perkara apapun yang tidak dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka
perkara tersebut tak boleh dimuliakan. Betul Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
telah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk menjadikan maqom Ibrahim
[Maqom artinya tempat seseorang berdiri. Dikatakan sebagai maqom Ibrahim
karena di tempat inilah Nabi Ibrahim berdiri ketika membangun Ka’bah.
Karenanya, jangan sampai ada yang salah faham dan menyangkan maqom
Ibrahim adalah kuburan beliau. Lagipula, para ulama telah bersepakat
bahwa semua kuburan para nabi -‘alaihimush sholatu was salam- tidak ada
yang tsabit (kuat) berdasarkan nash maupun berita yang autentik.
Syaikhul Islam menukil dari Imam Malik bin Anas -rahimahullah- beliau
berkata, “Tidak ada seorang nabi pun di dunia ini yang diketahui
kuburnya kecuali kubur Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”.( Lihat
Majmu’ Al-Fatawa 27/444 )] sebagai tempat sholat, akan tetapi Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- tidak pernah memerintahkan mereka untuk menjadikan
hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
sebagai hari raya yang mereka berbuat bid’ah di dalamnya.
[Rujukan:
Ar-Roddul Qowy karya Syaikh At-Tuwaijiry hal. 83 dan Ar-Roddu ‘ala
Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid, syubhat ketiga)
5. Mereka juga berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- tentang puasa ‘Asyuro` :
“Nabi
datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyuro`. Lalu beliau pun bertanya, “Apa ini?”,
mereka (orang-orang Yahudi) menjawab, “Ini adalah hari yang baik, hari
dimana Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka, maka Musa
berpuasa padanya”. Beliau bersabda, “Kalau begitu saya lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian”. Maka beliau pun berpuasa dan
memerintahkan (manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhary no. 1900 dan
Muslim no. 1130)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar -rahimahullah- sebagaimana yang dinukil oleh As-Suyuthy
dalam Al-Hawy lil Fatawa (1/196) berkata setelah beliau menyebutkan
bahwa perayaan maulid tidak pernah dikerjakan oleh tiga generasi pertama
ummat ini. Beliau menyatakan, “Telah nampak bagiku untuk menetapkannya
-yakni perayaan maulid- di atas landasan yang shohih yaitu …” [lalu
beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas di atas].
Kemudian
beliau berkata lagi, “Jadi, dari hadits ini diambil faidah tentang
perbuatan kesyukuran kepada Allah atas nikmat yang Dia berikan pada
suatu hari tertentu berupa terhasilkannya suatu kenikmatan atau
tertolaknya suatu bahaya. Sedang kesyukuran kepada Allah adalah dengan
mengamalkan berbagai jenis ibadah, seperti sujud, berpuasa, sedekah, dan
membaca Al-Qur`an. Maka, nikmat apakah yang lebih besar daripada nikmat
munculnya Nabiyyurrohmah ini -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- pada hari itu. Oleh karena itu, sepantasnya untuk
memperhatikan hari itu (yakni hari maulid) agar bersesuaian dengan kisah
Musa -‘alaihis salam- pada hari ‘Asyuro`”. Selesai berdasarkan
maknanya.
Hadits ini juga
dijadikan dalil oleh Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliky untuk membolehkan
perayaan maulid dalam kitabnya Haulal Ihtifal bil Maulid hal. 11-12.
Jawaban:
1. Lihat jawaban pertama atas syubhat pertama.
2. Sesungguhnya Al-Hafizh -rahimahullah- telah menegaskan di awal
ucapannya bahwa asal perayaan maulid adalah bid’ah, tidak pernah
dikerjakan oleh para ulama salaf. Perkataan beliau tentang hal ini akan
kami sebutkan pada bab ketiga belas.
3. Pemahaman Al-Hafizh tentang
dibolehkannya maulid yang beliau petik dari hadits di atas merupakan
pemahaman yang salah dan tertolak. Karena tidak ada seorangpun dari
kalangan para ulama salaf yang memahami dari hadits tersebut
dibolehkannya perayaan maulid. Lihat kembali pembahasan pada bab pertama
dan juga kitab Al-Muwafaqot (3/41-44) karya Asy-Syathiby
-rahimahullah-.
4. Mengqiaskan (menganologikan) bid’ah maulid dengan
puasa ‘Asyuro` adalah suatu bentuk takalluf (pemaksaan) yang nyata dan
tertolak karena ibadah landasannya adalah syari’at, bukan berdasarkan
pendapat ataupun anggapan baik.
5. Sesungguhnya puasa ‘Asyuro`
adalah perkara yang telah diamalkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam-, bahkan beliau memberi motifasi untuk
mengamalkannya. Berbeda halnya dengan perayaan maulid dan menjadikannya
sebagai hari raya, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- tidak pernah mengerjakannya dan juga tidak pernah memotifasi
untuk mengerjakannya.
[Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 159-161 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat kelima]
6.
Setelah menyebutkan perkataan Al-Hafizh di atas, As-Suyuthy kemudian
membawakan dalil yang lain yaitu hadits Anas bin Malik -radhiyallahu
‘anhu-, beliau berkata :
“Bahwa
sesungguhnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
melakukan aqiqah untuk diri beliau sendiri setelah beliau diangkat
menjadi Nabi”. (HR. Al-Baihaqy(9/300))
Lalu
dia (As-Suyuthy) berkata, “… padahal telah datang (riwayat) bahwa kakek
beliau ‘Abdul Muththolib telah melaksanakan aqiqah untuk beliau pada
hari ketujuh kelahiran beliau, sedangkan aqiqah tidaklah diulangi dua
kali. Maka perbuatan tersebut (yakni aqiqah setelah menjadi Nabi) dibawa
kepada (pemahaman) bahwa yang beliau lakukan itu adalah dalam rangka
menampakkan kesyukuran atas penciptaan Allah terhadap diri beliau
sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sekaligus (perbuatan beliau
tersebut) sebagai syari’at bagi ummatnya sebagaimana beliau -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersholawat untuk diri beliau
sendiri. Oleh karena itulah, disunnahkan juga bagi kita untuk
menampakkan kesyukuran dengan kelahiran beliau …”.
Jawaban:
1. Hadits di atas yang menunjukkan bahwa Nabi -Shollallahu alaihi wa
sallam- mengaqiqahi diri beliau setelah diangkat menjadi nabi adalah
hadits yang lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah, karena di dalamnya
terdapat seorang rowi lemah yang bernama ‘Abdullah bin Muharrar
Al-Jazary.
Al-Baihaqy setelah meriwayatkan hadits di atas, beliau
berkata,“’Abdurrozzaq berkata, [“Tidaklah mereka meninggalkan ‘Abdullah
bin Muharrar kecuali karena keadaan hadits ini, dan juga (hadits ini)
diriwayatkan dari jalan lain dari Anas dan tidak teranggap sama
sekali”]”.
‘Abdullah bin Muharrar ini telah dilemahkan oleh
sekian banyak ulama dengan pelemahan yang sangat keras, di antaranya
adalah: Imam Ahmad, Ad-Daraquthny, Ibnu Hibban, Ibnu Ma’in, Imam
Al-Bukhary, dan juga Al-Hafizh Adz-Dzahaby -rahimahumullahu jami’an-.
Lihat At-Talkhis Al-Habir (4/147) dan Mizanul I’tidal pada biografi ‘Abdullah bin Muharrar ini.
1. Syaikh Abu Bakr Al-Jaza`iry -hafizhohullah- berkata dalam Al-Inshof
fima Qila fil Maulid (61-62), “Apakah tsabit (shohih) bahwa aqiqah itu
dulunya disyari’atkan bagi ahli jahiliyah (musyrik Quraisy) dan (apakah)
mereka mengamalkannya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa ‘Abdul
Muththolib telah mengaqiqahi anak lelaki dari putranya?! Apakah
amalan-amalan ahli jahiliyah diperhitungkan dalam Islam sehingga kita
bisa menyatakan bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
mengaqiqahi diri beliau hanya sekedar sebagai kesyukuran dan bukan dalam
rangka menegakkan sunnah aqiqah, jika dia (kakek beliau) telah
mengaqiqahi beliau?!. Maha Suci Allah, betapa aneh dan asingnya
pendalilan ini.
Apakah jika shohih (benar) bahwa Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- menyembelih satu ekor
kambing sebagai bentuk kesyukuran akan nikmat penciptaan diri beliau,
apakah hal ini mengharuskan (bolehnya) menjadikan hari lahir beliau
sebagai hari raya bagi manusia?!”.
[Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 161-164 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat kedelapan]
7.
Muhammad ‘Alwy Al-Maliky dalam kitabnya Haulal Ihtifal bil Maulid hal.
10 berdalil tentang disyari’atkannya perayaan maulid dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1162 dari hadits Abu Qotadah
Al-Anshory -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam- ditanya tentang puasa pada hari Senin, maka beliau
menjawab :
“Itu adalah hari saya dilahirkan dan hari diturunkannya (wahyu) kepadaku”.
Sisi
pendalilan dari hadits ini -menurutnya- adalah bahwa beliau
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- memuliakan dan mengagungkan
hari lahir beliau dengan cara berpuasa pada hari itu. Ini (berpuasa)
hampir semakna dengan perayaan walaupun bentuknya berbeda. Yang jelas
makna pemuliaan itu ada, apakah dengan berpuasa atau dengan memberi
makan atau dengan berkumpul-kumpul untuk mengingat dan bersholawat
kepada beliau dan lain-lainnya.
Bantahan:
1. Lihat bantahan pertama untuk syubhat pertama.
2. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak berpuasa
pada hari kelahiran beliau, yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awwal [Itupun telah
kita tegaskan bahwa yang benarnya beliau dilahirkan pada tanggal 8
Rabi’ul Awwal], akan tetapi beliau berpuasa pada hari Senin yang setiap
bulan berulang sebanyak empat kali. Beliau juga tidak pernah
mengkhususkan untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu pada tanggal
kelahiran beliau. Maka semua ini adalah bukti yang menunjukkan bahwa
beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidaklah menganggap
tanggal kelahiran beliau lebih afdhol daripada yang lainnya. Lihat
Ar-Roddul Qowy hal. 61-62
3. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari Senin saja akan
tetapi beliau juga berpuasa pada hari Kamis, sebagaimana dalam hadits
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- secara marfu‘:
“Amalan-amalan
disodorkan setiap hari Senin dan kamis, maka saya senang jika amalan
saya disodorkan sedang saya dalam keadaan berpuasa”. (HR. At-Tirmidzyno.
747 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 949)
Jadi,
berdalilkan dengan puasa hari Senin untuk membolehkan perayaan Maulid
adalah puncak takalluf (pemaksaan) dan pendapat yang sangat jauh dari
kebenaran.
1. Jika yang diinginkan dari perayaan maulid adalah
sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah -Ta’ala- atas nikmat kelahiran
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka suatu perkara
yang masuk akal -dan memang inilah yang ditetapkan oleh syari’at- kalau
pelaksanaan kesyukuran tersebut sesuai dengan pelaksanaan kesyukuran
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- atasnya,yakni dengan
berpuasa. Oleh karena itu, hendaknya kita berpuasa sebagaimana beliau
berpuasa [Maksudnya berpuasa pada hari Senin sebagaimana Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- berpuasa hari Senin. Adapun berpuasa
tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal -kalaupun ini kita anggap pendapat
yang paling benar tentang hari lahir beliau-, maka tidak disyari’atkan
karena tak ada dalil yang mengkhususkannya dengan puasa, yang ada
hanyalah berpuasa pada hari Senin. [ed]], bukan malah dengan
menghambur-hamburkan uang untuk makanan dan yang semisalnya.
LihatAl-Inshof fima Qila fil Maulid hal. 64-66 karya Abu Bakr
Al-Jaza`iry.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 171-172 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat keempat)
8. Sabda Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tentang keutamaan hari Jum’at:
“Sebaik-baik
hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at, padanya
diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan, padanya dia dimasukkan ke Surga
dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta tidak akan tegak Hari Kiamat
kecuali pada hari Jum’at”. (HR. Muslim no. 854 dari Abu Hurairah
-radhiyallahu ‘anhu-)
Dalam
kitab Haulal Ihtifal hal. 14, Muhammad ‘Alwy Al-Maliky menyatakan bahwa
jika hari Jum’at memiliki keutamaan karena pada hari itu Nabi Adam
tercipta, maka tentunya hari ketika pimpinan para Nabi -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tercipta itu lebih pantas untuk
mendapatkan keutamaan dan pemuliaan.
Bantahan:
1. Sama dengan bantahan pertama atas syubhat pertama.
2. Syaikh At-Tuwaijiry -rahimahullah- berkata dalam Ar-Roddul Qowy hal.
82,“Sesungguhnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
tidak pernah mengkhususkan hari Jum’at untuk melaksanakan sesuatupun
berupa amalan-amalan sunnah, dan beliau telah melarang untuk
mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa atau mengkhususkan malam
Jum’at untuk sholat lail. Di dalam Shohih Muslim [No. hadits 1144] dari
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
“Jangan kalian
mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam lainnya dengan
mengerjakan sholat malam dan jangan kalian khususkan hari Jum’at di
antara hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali bila (hari Jum’at)
bertepatan dengan hari kebiasaan salah seorang di antara kalian
berpuasa”.
Jika Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
tidak mengkhususkan hari Jum’at dengan sesuatu apapun berupa
amalan-amalan sunnah -padahal Adam ’alaihis salam diciptakan pada hari
itu-, maka apa hubungannya dengan Ibnul ‘Alwy dan selainnya, yang
menyebutkan pendalilan tersebut tentang dibolehkannya perayaan
maulid?!”. Selesai dengan perubahan
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid, syubhat ketujuh]
9.
Hadits Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bercerita ketika beliau
melakukan Isro` dan Mi’roj:
“Lalu
dia (Jibril) berkata, “Turun dan sholatlah!”, maka sayapun turun lalu
mengerjakan sholat. Lalu dia bertanya, “Tahukah engkau di mana engkau
sholat? Engkau sholat di Betlehem, tempat ‘Isa -‘alaihis salam-
dilahirkan””. (HR. An-Nasa`i (1/221-222/450))
Hadits
ini dijadikan dalil oleh Muhammad ‘Alwy Al-Maliky dalam Haulal Ihtifal
hal. 14-15 untuk membolehkan perayaan maulid. Sisi pendalilannya adalah
bahwa beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- diperintahkan
untuk memuliakan tempat kelahiran Nabi ‘Isa dengan cara sholat di
atasnya. Maka hari dan tempat kelahiran Nabi Muhammad -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- lebih pantas lagi untuk dimuliakan
dengan mengadakan perayaan maulid.
Bantahan:
Kisah
tentang sholatnya beliau di Betlehem ini juga datang dari hadits Syaddad
bin ‘Aus -radhiyallahu ‘anhu- riwayat Al-Bazzar dalam Al-Musnad no.
3484 dan Ath-Thobarony (7/282-283/7142) dan juga dari hadits Abu
Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- riwayat Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin
(1/187-188) dalam biografi Bakr bin Ziyad Al-Bahily.
Ketiganya
adalah hadits yang lemah dan mungkar. Berikut kesimpulan bantahan
Al-‘Allamah Al-Anshory -rahimahullah- dalam Al-Qaulul Fashl, hal.
138-145 terhadap kisah di atas:
1. Hadits Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-.
Ibnu
Katsir -rahimahullah- berkata setelah menyebutkan hadits ini dalam
rangkaian hadits-hadits tentang Isro` dan Mi’roj ketika menafsirkan ayat
pertama dari surah Al-Isro‘, “Di dalam kisah ini ada ghorobah [Kata
ghorib ataughorobah jika digunakan oleh At-Tirmidzy dalam Sunannya, Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya dan Az-Zayla’iy dalam Nashbur Royah maka
kebanyakannya bermakna dho’if (lemah)] (keanehan) dan sangat mungkar”.
Beliau
juga berkata dalam Al-Fushul fii Ikhtishori Sirotur Rosul,“Ghorib
(aneh), sangat mungkar, dan sanadnya muqorib. Dalam hadits-hadits yang
shohih, ada perkara yang menunjukkan tentang kemungkarannya, wallahu
A’lam”.
Yakni kisah tentang sholatnya beliau -Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam- di Betlehem ini, tidak ada disebutkan dalam
kisah Isro` dan Mi’roj dalam hadits-hadits lain yang shohih.
2. Hadits Syadad bin Aus -radhiyallahu ‘anhu-.
Di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Ishaq bin Ibrahim ibnul ‘Ala` Adh-Dhohhak Az-Zubaidy Ibnu Zibriq Al-Himshy.
Al-Hafizh
berkata dalam Al-Fath, “(Orangnya) Jujur, tapi banyak bersalah (dalam
periwayatan). Muhammad bin ‘Auf mengungkapkan bahwa dia berdusta”.
Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan, “An-Nasa`iy berkata : “(Orangnya) tidak tsiqoh”.
Abu
Daud berkata, “Tidak ada apa-apanya (baca: tidak ada nilainya) dan dia
dianggap pendusta oleh Muhammad bin ‘Auf Ath-Tho`iy, seorang ahli hadits
negeri Himsh””.
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata dalam
Tafsirnya setelah menyebutkan jalan-jalan periwayatan hadits Syaddad
ini, “Tidak ada keraguan, hadits ini -yang saya maksudkan adalah yang
diriwayatkan dari Syaddad bin Aus- mengandung beberapa perkara, di
antaranya ada yang shohih -sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqy-,
dan di antaranya ada yang mungkar, seperti (kisah) sholat (Nabi
–Shollallahu alaihi wa sallam-) di Betlehem dan (kisah) pertanyaan (Abu
Bakar) Ash-Shiddiq tentang sifat Baitul Maqdis dan selainnya, wallahu
A’lam”.
3. Hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-.
Di
dalam sanadnya terdapat Bakr bin Ziyad Al-Bahily. Ibnu Hibban berkata,
“Syaikh pendusta, membuat hadits palsu dari para tsiqot (rowi-rowi
terpercaya), tidak halal menyebut namanya dalam kitab-kitab kecuali
untuk dicela”.
Beliau juga berkata mengomentari hadits Abu
Hurairah di atas, “Ini adalah sesuatu yang orang awamnya ahli hadits
tidak akan ragu lagi bahwa ini adalah palsu, terlebih lagi pakar dalam
bidang ini”. [Perkataan beliau ini dinukil oleh Ibnul Jauzy dalam
Al-Maudhu’at (1/113-114), Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan(1/345) dan
Asy-Syaukany dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah hal.
441]
Ibnu Katsir berkata berkata dalam Al-Fushul fii Ikhtishori
Sirotur Rosul, hal. 22 dalam mengomentari hadits Abu Hurairah ini, “Juga
tidak shohih karena keadaan Bakr bin Ziyad yang telah berlalu”. Yakni
beliau menghukuminya sebagai rowi yang matruk (ditinggalkan haditsnya).
Sebagai
kesimpulan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam
tafsir surah Al-Ikhlash hal. 169, “Apa yang diriwayatkan oleh sebagian
mereka tentang hadits Isro` bahwa dikatakan kepada Nabi -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, [“Ini adalah baik, turun dan
sholatlah”, maka beliau turun lalu sholat, “Ini adalah tempat bapakmu,
turun dan sholatlah”],merupakan (riwayat) dusta dan palsu. Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah sholat pada
malam itu kecuali di Masjid Al-Aqshosebagaimana dalam Ash-Shohih dan
beliau tidak pernah turun kecuali padanya”.
Ibnul Qoyyim
-rahimahullah- dalam Zadul Ma’ad berkata, “Konon kabarnya, beliau turun
di Betlehem dan sholat padanya. Hal itu tidak benar dari beliau
selama-lamanya”. -Selesai dari Al-Qaulul Fashl-
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat kesembilan]
10.
Sesungguhnya para penya’ir dari kalangan sahabat, seperti Ka’ab bin
Zuhair, Hassan bin Tsabit, dan yang lainnya -radhiyallahu ‘anhum-,
mereka membacakan sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan beliau ridho dengan perbuatan mereka
serta membalas mereka dengan membacakan sholawat dan mendo’akan
kebaikan kepada mereka.
Ini dijadikan dalil oleh Hasyim Ar-Rifa’iy sebagaimana dalam Ar-Roddul Qowy hal. 78.
Bantahan:
Al-‘Allamah
At-Tuwaijiry -rahimahullah- berkata dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 79,
“Tidak pernah disebutkan dari seorangpun dari para penya’ir sahabat
-radhiyallahu ‘anhum- bahwa mereka mengungkapkan kecintaan mereka kepada
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dengan melantunkan
qoshidah-qoshidah (sya’ir-sya’ir) pada malam kelahiran beliau, akan
tetapi kebanyakannya mereka melantunkannya ketika terjadinya penaklukan
suatu negeri dan ketika mengalahkan musuh-musuh. Di bangun di atas dasar
ini, berarti pelantunan (sya’ir) di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam- bukanlah sesuatu yang pernah dilakukan oleh Ka’ab
bin Zuhair, Hassan bin Tsabit, dan selain keduanya dari kalangan para
penya’ir sahabat, (bukanlah) merupakan perkara yang bisa dipegang oleh
Ar-Rifa’iy dan selainnya dalam menguatkan bid’ah maulid”. -Selesai
dengan sedikit meringkas-.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat kesepuluh]
11.
Sesungguhnya perayaan maulid adalah perkumpulan dzikir, sedekah, dan
pengagungan terhadap sisi kenabian. Dan semua perkara ini tentunya
merupakan perkara yang dituntut dan dipuji dalam syari’at Islam.
Jawaban:
Tidak
diragukan bahwa semua yang disebutkan di atas berupa dzikir, sedekah,
dan mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
merupakan ibadah, bahkan termasuk di antara ibadah yang memiliki
kedudukan yang besar dalam Islam. Akan tetapi perlu diketahui bahwa
ibadah nantilah diterima setelah terpenuhi dua syarat, ikhlas dan sesuai
dengan petunjuk Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
[Lihat kembali bab Syarat Diterimanya Amalan]. Kemudian, di antara
kaidah yang masyhur di tengah para ulama dan para penuntut ilmu bahwa
suatu ibadah bila perintah pelaksanaannya datang dalam bentuk umum
-yakni tidak terikat dengan suatu waktu maupun tempat-, maka ibadah
tersebut juga harus dilaksanakan secara mutlak tanpa mengkhususkan waktu
dan tempat tertentu, kapan dikhususkan tanpa adanya dalil maka
perbuatan tersebut dhukumi sebagai bid’ah [Kaidah ini disebutkan oleh
Syaikh Nashirudin Al-Albany dalam Ahkamul Jana`iz hal. 306]. Oleh karena
itulah, termasuk bid’ah tatkala mengkhususkan pelaksanaan ibadah
dzikir, sedekah, dan mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- hanya pada tanggal kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam-.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat ke sebelas]
12.
Sesungguhnya perayaan maulid adalah perkara yang dianggap baik oleh
banyak ulama dan telah diterima, bahkan dilangsungkan secara turun
temurun oleh kebanyakan kaum muslimin di kebanyakan negeri-negeri kaum
muslimin. Maka tentunya hal itu adalah kebaikan karena kaidah yang
diambil dari hadits Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- menyatakan bahwa,
[“Apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu juga baik di
sisi Allah”].
Ini adalah termasuk dalil yang disebutkan oleh Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliky dalam Haulal Ihtiffal hal. 15.
Bantahan:
1. Telah berlalu jawaban atas hadits Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- pada bab ketiga.
2. Siapa yang dimaksudkan sebagai ulama oleh Al-Maliky di sini??! Kalau
yang dia maksudkan adalah para sahabat serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, maka ini adalah kedustaan atas nama mereka. Kalau
yang dia maksudkan adalah selain mereka dari kalangan Al-Qoromithoh,
Al-Bathiniyah, dan Shufiah, maka Al-Maliky benar karena memang perayaan
maulid ini tidaklah muncul kecuali atas prakarsa mereka, sebagian mereka
-yakni Al-Bathiniyyah- telah dikafirkan oleh para ulama. Lihat bab
kesembilan dari buku ini.
3. Syaikh Sholih Al-Fauzan -hafizhohullah-
berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikril Maulid
An-Nabawy, “Yang menjadi hujjah adalah sesuatu yang tsabit (shohih) dari
Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Sedang yang tsabit
dari Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- adalah larangan
berbuat bid’ah secara umum, dan ini -yakni perayaan maulid- di antara
bentuknya.
Amalan manusia, jika menyelisihi dalil maka bukanlah hujjah walaupun jumlah mereka banyak.
“Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (QS. Al-An’am :
116)
Itupun akan terus menerus ada -berkat nikmat Allah- pada
setiap zaman orang-orang yang mengingkari bid’ah ini dan menjelaskan
kebatilannya. Jadi, tidak ada hujjah pada amalan orang yang terus
menghidupkan (bid’ah ini) setelah jelas baginya kebenaran”.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat kedua belas]
13.
Sebagian mereka berdalih bahwa sebagian ulama sunnah ada yang
memperbolehkan perayaan maulid, seperti Imam As-Suyuthy -rahimahullah-
dan yang lainnya. Maka kami hanya mengikuti mereka karena mereka adalah
orang yang berilmu.
Bantahan:
Tidak diragukan bahwa
ucapan ini adalah ucapan yang penuh dengan fanatisme, taqlid, dan
kesombongan yang telah diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya pada bab kelima dari buku
ini.
Kemudian, perselisihan para ulama dalam masalah ini -yakni
bid’ahnya maulid- adalah perselisihan yang sifatnya tadhodh (saling
berlawanan dan menafikan), yang salah satunya adalah kebenaran dan yang
lainnya adalah kebatilan, bukan perselisihan tanawwu’ (cabang) yang
sifatnya masih menerima toleransi dan kompromi.
Sebagai seorang
muslim, hendaknya mengembalikan semua perselisihan hanya kepada Allah
dan Rasul-Nya, sebagaimana yang telah kami tegaskan pada bab pertama.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat ketiga belas]
14.
Pengakuan dari seseorang yang bernama Muhammad ‘Utsman Al-Mirghony
dalam muqaddimah kitabnya yang berjudul Al-Asror Ar-Robbaniyah, hal. 7.
Dia nyatakan bahwa dia menerima syari’at perayaan maulid ini langsung
dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam mimpinya.
Bantahan:
Al-‘Allamah
Isma’il Al-Anshory -rahimahullah- berkata dalam Al-Qaulul Fashl,
“Sesungguhnya bersandar di atas pengakuan bahwa seseorang menerima
perintah-perintah Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) dalam mimpi untuk
merayakan maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) tidaklah
teranggap, karena mimpi dalam tidur tidak bisa menetapkan sunnah yang
tidak ada dan tidak bisa membatalkan sunnah yang sudah ada sebagaimana
yang dijelaskan oleh para ulama”.
Imam Abu Zakaria An-Nawawy
-rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Imam Muslim
-rahimahullah- tentang “Menyingkap aib-aib para perawi hadits” dalam
Shohihnya (1/115), “Tidak boleh menetapkan hukum syar’i dengannya -yaitu
dengan mimpi-, karena keadaan tidur bukanlah keadaan menghafal dan
yakin terhadap apa yang didengar oleh yang bermimpi tersebut. Mereka
telah bersepakat bahwa termasuk syarat orang yang diterima riwayat dan
persaksiannya adalah orang yang terjaga, bukan orang yang lalai, bukan
orang yang jelek hafalannya, dan tidak banyak salah (dalam hafalan), …”.
Inilah
hukum semua mimpi selain mimpinya para Nabi yakni tidak bisa menetapkan
syari’at yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam- dan sebaliknya mimpi tidak bisa menghapuskan
sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam- dalam hidup beliau, walaupun yang dia lihat di dalam
mimpinya adalah betul Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
[Akan tetapi hal ini tentunya tidak mungkin. Yang dia lihat di dalam
mimpnya pasti adalah setan yang mengaku sebagai Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam-, karena tidak mungkin beliau memerintahkan seseuatu
yang telah beliau larang ketika beliau masih hidup].
Imam
Asy-Syathiby -rahimahullah- berkata dalam Al-I’tishom (1/209), “Mimpi
selain para Nabi tidak bisa menghukumi syari’at, bagaimanapun keadaannya
kecuali harus diperhadapkan kepada sesuatu yang ada di depan kita
berupa hukum-hukum syari’at (Al-Kitab dan As-Sunnah). Jika hukum-hukum
syari’at ini membolehkannya, maka kita amalkan berdasarkan hukum-hukum
itu. Jika tidak, maka wajib untuk ditinggalkan dan berpaling darinya.
Faidahnya tidak lain sekedar sebagai kabar gembira (bila mimpinya baik)
atau peringatan (jika mimpinya buruk). Adapun mengambil petikan-petikan
hukum darinya, maka tidak!”.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat keempat belas]
15.
As-Sakhowy [Beliau adalah salah seorang murid senior dari Al-Hafizh
Ibnu Hajar -rahimahullah-] -rahimahullah- berkata, “Jika penganut salib
(Nashoro) menjadikan malam kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya
besar, maka penganut Islam lebih pantas dan lebih harus untuk memuliakan
(Nabi mereka)”.
Ini
disebutkan oleh Hasyim Ar-Rifa’iy dan dia berdalil dengannya dalam
membolehkan maulid sebagaimana dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 25 karya
Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiry -rahimahullah-.
Jawaban:
Tidak
ada keraguan bahwa merayakan maulid dan menjadikannya sebagai hari raya
adalah di bangun atas tasyabbuh (penyerupaan) kepada Nashara, sedangkan
tasyabbuh kepada orang-orang kafir adalah perkara yang diharamkan dan
terlarang berdasarkan sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu
‘anhuma- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (1/676) dan
Al-Irwa` no. 2384)
Lihat kembali pada bab keenam dari buku ini.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat kelima belas]
16.
Sesungguhnya perayaan maulid adalah amalan yang bisa menghidupkan
semangat kita untuk mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-, dan ini adalah perkara yang disyari’atkan.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliky dalam Haulal Ihtifal hal. 20.
Bantahan:
1. Cara mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
bukanlah dengan berbuat bid’ah yang telah beliau larang, akan tetapi
dengan cara meninggalkan semua jenis bid’ah -termasuk di dalamnya
perayaan maulid- dan semua perkara yang beliau larang. [Lihat bab
Hakikat Kecintaan Kepada Nabi -Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-]
2.
Mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, -kalau
sekedar itu yang diinginkan-, maka tidak perlu dengan merayakan maulid.
Karena mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bisa
dilakukan dengan bersholawat kepada beliau, berdo’a setelah mendengar
adzan, bersholawat kepada beliau ketika mendengar nama beliau disebut,
berdo’a setelah berwudhu, dan amalan-amalan ibadah lainnya. Semua amalan
ini adalah amalan yang sifatnya dilaksanakan secara kontinyu
(terus-menerus) siang dan malam, bukan hanya sekali setahun. [Di antara
sarana yang mengingatkan kita kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
adalah dengan membaca dan mengkaji hadits-hadits beliau -Shollallahu
‘alaihi wasallam- agar bisa diamalkan. Sehingga orang yang mempelajari
hadits-hadits beliau akan tahu dan paham tentang aqidah, syari’at,
ibadah, akhlak, dan perjuangan beliau dalam menegakkan Islam. Semua ini
akan mendorong dirinya dan orang lain untuk mengamalkan sunnah dan
mengingat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan seorang yang
mengamalkan sunnah akan mengingatkan kita tentang sosok Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-, seakan-akan beliau ada di depan kita.
Adapun orang yang meramaikan bid’ah maulid, maka mereka tidaklah
mengingatkan kita tentang sosok beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
akan tetapi justru mengingatkan kita tentang natal, mengingatkan kita
tentang orang-orang bathiniyyah danshufiyyah karena merekalah yang
pertama kali melakukan maulid menurut para ahli tarikh. [ed]]
[Rujukan:
Hukmul Ihtifal bil Maulidin Nabawy war Roddu ‘ala man Ajazahuhal. 29-30
karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh]
17.
Mereka mengatakan, “Perayaan maulid ini hanyalah sekedar adat istiadat
yang tidak ada kaitannya dengan agama sehingga tidak bisa dianggap
bid’ah”.
Bantahan:
Perkataan ini adalah tempat
pelarian terakhir bagi orang-orang yang membolehkan perayaan maulid
setelah seluruh dalil-dalil mereka dirontokkan. Itupun alasan yang
mereka katakan ini adalah alasan yang tidak bisa diterima karena para
pendahulu mereka yang membolehkan maulid baik dari kalangan ulama maupun
yang bukan ulama telah menetapkan bahwa perayaan maulid adalah ibadah
di sisi mereka, dan seseorang akan mendapatkan pahala dengannya. [Lihat
bab Orang-Orang yang Merayakan Maulid Menganggapnya Bagian dari Agama]
18. Mereka juga berkata, “Perayaan maulid ini memang adalah bid’ah, tapi dia adalah bid’ah hasanah (yang baik)”.
Bantahan:
Bantahan atas syubhat ini telah kami paparkan panjang lebar pada bab ketiga dari buku ini.
19.
Perayaan maulid ini, walaupun dia adalah bid’ah akan tetapi telah
diterima dan diamalkan oleh ummat Islam sejak ratusan tahun yang lalu.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad Mushthofa Asy-Syinqithy.
Bantahan:
Berikut
kami bawakan secara ringkas bantahan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh -rahimahullah- terhadap syubhat ini dari risalah beliauHukmul
Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu. Beliau berkata, “Ada
beberapa perkara yang menunjukkan bodohnya orang ini:
Pertama:
Bahwasanya ummat ini ma’shumah (terpelihara) untuk bersepakat di atas
kesesatan sedangkan bid’ah dalam agama adalah kesesatan berdasarkan nash
dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Jadi perkataan
dia ini, mengharuskan bahwa ummat ini telah bersepakat (untuk
membenarkan) perayaan maulid yang dia sendiri telah mengakuinya sebagai
bid’ah.
Kedua: Sesungguhnya berhujjah dengan pengakuan seperti
ini untuk menganggap baik suatu bid’ah, bukanlah warisan para ulama yang
hidup di ketiga zaman keutamaan dan tidak pula orang-orang yang
mencontoh mereka, sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Imam
Asy-Syathiby -rahimahullah- dalam kitab beliau Al-I’tishom.
Beliau
(Asy-syathiby) berkata, [“Tatkala berbagai bid’ah dan penyimpangan
telah disepakati oleh manusia atasnya (baca : membenarkannya), maka
jadilah orang yang jahil berkata, “Seandainya ini adalah kemungkaran
maka tentu tidak akan dikerjakan oleh manusia””]”.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Iqhtidho`, “Barangsiapa yang
berkeyakinan bahwa kebanyakan adat-adat yang menyelisihi sunnah ini
adalah perkara yang disepakati (akan kebolehannya) dengan berlandaskan
bahwa ummat ini telah menyetujuinya dan mereka tidak mengingkarinya,
maka dia telah salah dalam keyakinannya itu. Sesungguhnya akan
terus-menerus ada orang-orang yang melarang dari seluruh adat-adat yang
dimunculkan, yang menyelisihi sunnah”.
Ketiga: Sesuatu (berupa
keterangan) yang akan kami sebutkan dari para ulama kaum muslimin berupa
dipenuhinya perayaan maulid tersebut dengan perkara-perkara yang
diharamkan, serta penjelasan bahwa perayaan maulid yang tidak mengandung
perkara-perkara yang diharamkan maka dia tetap merupakan bid’ah” [Lihat
bab Kemungkaran-Kemungkaran dalam Perayaan Maulid].
20.
Mereka juga berdalil dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
yang -katanya- beliau membolehkan perayaan maulid. Beliau berkata,
“Demikian pula apa yang dimunculkan oleh sebagian manusia, -apakah dalam
rangka menandingi Nashara dalam perayaan maulid ‘Isa -‘alaihis salam-
atau karena kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan
mengagungkan beliau-. Allah kadang memberikan pahala kepada mereka atas
kecintaan dan ijithad ini, bukan atas bid’ah-bid’ah berupa menjadikan
Maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagai ‘ied …”. Lihat
Al-Iqtidho`hal. 294
Di
antara orang yang berdalilkan dengannya adalah Muhammad
MusthofaAl-’Alwy. Dia berkata, “Maka perkataan Syaikhul Islam ini jelas
menunjukkan bolehnya amalan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
yang bersih dari kemungkaran-kemungkaran yang bercampur dengannya”.
Bantahan:
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh menyatakan [Lihat Mulhaqdari
risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh yang berjudulHukmul
Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu], “Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam kitabnya Al-Istighotsah, [“Suatu
kesalahan, jika timbul dari jeleknya pemahaman orang yang mendengar,
bukan karena kelalaian pembicara, maka tidak ada apa-apa (baca : dosa)
atas pembicara. Tidak dipersyaratkan pada seorang alim jika dia
berbicara harus menjaga jangan sampai ada pendengar yang salah faham”].
Lagi
pula beliau sendiri telah menegaskan dalam lanjutan ucapan beliau -yang
akan kami nukilkan pada bab ketiga belas- bahwa perayaan maulid Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- adalah bid’ah yang mungkar.
Adapun
mu’alliq (komentator) Al-Iqthidho`, dia berkata, “Bagaimana mungkin
mereka memiliki pahala atas hal ini padahal mereka telah menyelisihi
petunjuk Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan petunjuk para
sahabat beliau”.
21. Mereka
berkata, “Perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memang
tidak pernah dilakukan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, akan
tetapi dia merupakan syi’ar agama Islam, bukan merupakan bid’ah”.
Bantahan:
Ini
menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya terhadap syari’at
Islam, maka apakah orang yang seperti ini pantas untuk berkomentar dalam
agama Allah?! Orang ini telah membedakan antara agama dan syi’ar agama
padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah berfirman:
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. “. (QS. Al-Hajj: 32)
Dalam
ayat ini, Allah -‘Azza wa Jalla- menjadikan syi’ar agama sebagai
lambang dari kataqwaan hati yang merupakan kewajiban. Maka apakah
setelah ini, masih ada orang yang mengaku paham agama yang mengatakan
bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sengaja meninggalkan syi’ar
agama -menurut sangkaan mereka- yang satu ini (maulid)?! Karena ucapan
ini mengharuskan bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sengaja
meninggalkan sebuah ketaatan yang merupakan kewajiban [Dan meninggalkan
ketaatan yang merupakan kewajiban dengan sengaja adalah dosa besar],
padahal para ulama telah bersepakat bahwa para Nabi terjaga (ma’shum)
dari dosa besar. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam
Fathul Bary (8/69), “Para nabi ma’shum dari dosa-dosa besar berdasarkan
ijma’ ” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah
(1/472) karya Ibnu Taimiyah).
22.
Di antara dalil mereka adalah bahwa tidak ada satupun dalil yang tegas
dan jelas melarang mengadakan perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Bantahan:
Sebenarnya dalil semacam ini
tidak pantas kami sebutkan, karena dalil ini hakikatnya sudah lebih
dahulu patah sebelum dipatahkan. Akan tetapi yang sangat disayangkan,
dalil ini masih juga diucapkan oleh sebagian orang yang mengaku berilmu
yang dengannya dia menyesatkan manusia dari jalan Allah.
Kami tidak akan menjawab dalil ini sampai mereka menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas dan jelas yang melarang dari narkoba dengan semua jenisnya!.
2. Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas dan jelas yang
mengharamkan praktek-praktek perjudian kontemporer, semacam undian
berhadiah melalui telepon, SMS, dan selainnya!
3. Tunjukkan pada
kami satu dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan haramnya kaum
muslimin menghadiri natal dan perayaan kekafiran lainnya!
Mereka
tidak akan mendapatkan satu pun dalil tentangnya -walaupun mereka
bersatu untuk mencarinya- kecuali dalil-dalil umum yang melarang dari
semua amalan di atas dan yang semacamnya. Dan ketiga perkara di atas,
hanya orang yang bodoh tentang agama yang menyatakan halal dan bolehnya.
Maka
demikian halnya perayaan maulid. Betul, tidak ada dalil yang tegas dan
jelas yang melarangnya, akan tetapi dia tetap merupakan bid’ah dan
keharaman berdasarkan dalil-dalil umum yang sangat banyak berkenaan
larangan berbuat bid’ah dalam agama, berkenaan dengan larangan
menyerupai dan mengikuti orang-orang kafir, berkenaan dengan …,
berkenaan dengan …, dan seterusnya dari perkara-perkara haram yang
terjadi sepanjang pelaksanaan maulid. Wallahul Musta’an.
Diambil
dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah
al-Atsariyyah 2007.
SUMBER :
http://alfirqatunnajiyyah.blogspot.com/2010/02/paling-lengkap-inilah-22-argumen-orang.html
No Response to " PALING LENGKAP : Inilah 22 Argumen Orang-Orang yang Membolehkan Perayaan Maulid Beserta Bantahannya "
Posting Komentar